• Teddi Prasetya
  • NLP Basic
  • 1 Comment

Seorang agen asuransi sedang menjelaskan mengenai keuntungan produknya kepada seorang calon pembeli. Dengan segenap teknik dan pengetahuan produk yang ia miliki, sekuat tenaga ia berusaha mempengaruhi sang calon nasabah untuk membeli produknya. Merasa memahami bahwa sang calon pembeli adalah seorang manajer yang mestinya berorientasi bisnis, ia fokuskan persuasinya pada keuntungan jangka panjang yang bisa didapat sang manajer.

Sepuluh menit berlalu, sang manajer hanya senyum-senyum mendengar penjelasan dari si agen. Lima menit kemudian, ia melirik jam tangannya dan seketika memotong pembicaraan, ”OK, waktu saya habis. Saya harus kembali bekerja. Terima kasih atas penjelasannya, namun saya belum tertarik untuk membelinya sekarang.”

Dan bisa ditebak reaksi si agen, bukan? Wajah penuh kekecewaan, senyum pahit dan putus asa pun tampak di wajahnya. Sambil berusaha tersenyum, ia pun pamit dan menyalami sang manajer.

Namun, secara tak sengaja, ia melihat sebuah foto berbingkai indah di meja calon kliennya ini. Sebuah foto keluarga yang harmonis, sang manajer didampingi oleh istri dan 2 orang anaknya yang masih kecil.

Sembari tetap mempertahankan senyum pahitnya, ia pun berkata kepada foto tersebut, ”Maaf ya Dik, aku tidak bisa membantumu.”

”Apa maksud Anda?” tanya sang manajer keheranan.

”Ya. Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk membantu memberikan kepastian masa depan mereka, hidup mereka, pendidikan mereka, melalui produk yang saya tawarkan. Namun pada akhirnya, keputusan Anda lah yang menentukan masa depan mereka akan seperti apa,” kata si agen dengan senyum getirnya, kemudian berbalik ke arah pintu.

Serta merta sang manajer pun memanggilnya kembali, ”Tunggu! Tolong terangkan kembali kepada saya produk Anda yang bisa memastikan pendidikan dan hidup anak-anak saya. Saya masih punya waktu 10 menit lagi.”

Dan hari itu, si agen asuransi menutup harinya dengan sebuah closing dengan jumlah yang amat mengesankan.

Kisah di atas adalah adegan dalam sebuah film Hong Kong yang saya tonton beberapa tahun lalu. Saya tidak ingat persis baik judul maupun pemain filmnya, namun entah mengapa adegan tersebut terpatri begitu hebat dalam ingatan saya. Mempelajari NLP, saya baru memahami alasan unconcsious saya menganggap penting adegan tersebut dan merekamnya dengan cukup baik.

Saya pernah juga seperti Anda, percaya betul bahwa orang akan amat mudah termotivasi dengan keuntungan. Sayangnya, asumsi tersebut runtuh begitu saya mempelajari ilmu yang bernama meta program.

Ya, orang memang sangat mudah termotivasi oleh keuntungan, pada konteks tertentu. Dan, ia bisa saja termotivasi oleh ketakutan, pada konteks yang lain. Masih ingat salah satu asumsi NLP? We evaluate behavior and change in terms of context and ecology, kita harus memahami dan mengubah perilaku berdasarkan konteksnya.

Omong-omong, Anda sudah pernah dengar tentang meta program? Nah, jika belum, silakan lanjutkan membaca karena Anda akan segera memahaminya. Dan jika sudah, silakan lanjutkan membaca sebab Anda akan menemukan pemahaman baru setelahnya J.

Apa sih Meta Program itu?

Anda pasti sering menggunakan komputer kan? Nah, program apa yang akan Anda gunakan jika Anda ingin membuat presentasi dengan efek visual yang menarik? Apa pula yang Anda pakai jika Anda akan menyusun sebuah laporan keuangan dalam bentuk tabel-tabel? Apa juga yang Anda pakai jika Anda ingin menulis artikel seperti yang saya lakukan sekarang? Kalau Anda ingin membuat time line proyek? Bagaimana dengan menyusun diagram alur?

Aha, Anda tentu bisa menjawab dengan cepat ya. Pertanyaan saya, kalau Anda ingin membuat presentasi dengan efek visual yang menarik, dan menggunakan program untuk membuat laporan dalam tabel, akan mudahkah Anda mengerjakannya? Bagaimana dengan menulis artikel? Praktiskah jika Anda kerjakan pada program untuk menyusun diagram alur?

Nah, apa insight-nya?

Nah, kira-kira demikian lah gambaran meta program. Disebut ’meta’ karena ia adalah program yang menaungi program-program lain yang ada dalam diri kita. Jika kita punya program untuk bangun pagi, misalnya, maka ia bisa dinaungi oleh program ’mencari uang’ ataupun program ’menghindari jatuh miskin’. Bisa juga ia dinaungi oleh program ’bangun sendiri’ atau ’dibangunkan oleh orang lain’.

Pada titik tertentu, meta program memiliki kemiripan dengan berbagai metode untuk melakukan profiling dalam psikologi, karena ia berusaha untuk ’membaca’ manusia dan ’mengelompokkan’ ke dalam beberapa ’tipe’. Bedanya, pengelompokkan dan tipe dalam meta program tidak dilakukan secara geblokan bahwa seseorang adalah introvert/ekstrovert dll, melainkan dalam konteks ia berada. Seseorang bisa saja sangat proaktif dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan keluarga, tapi amat reaktif dalam keputusan yang berhubungan dengan pekerjaannya di kantor. Karenanya, proses profiling pun harus lebih spesifik menyasar konteks yang ingin dipahami: karir, pekerjaan, rumah tangga, hubungan sosial, dll.

Kembali pada kisah di awal artikel ini, sang manajer bisa jadi memiliki tombol motivasi mengejar keuntungan jika bicara bisnis, namun dalam urusan masa depan anak-anaknya, ia lebih tergerak oleh keinginan untuk menghindari resiko ketidakpastian. Dalam pembahasan kita nanti, meta program ini disebut dengan mendekati-menjauhi atau toward-away.

Dengan cara dan pandangan seperti ini, meta program mengajak kita untuk ’membaca’ sekaligus secara fleksibel berkomunikasi dengan manusia. Tidak ada benar salah, yang ada hanyalah di konteks mana sebuah meta program tepat, dan di konteks mana yang ia kurang efektif.

Loh, apa hubungannya dengan fleksibilitas?

Jelas banyak. Bahkan, 4 pilar NLP itu pun dapat dijalani dengan mudah jika kita memahami meta program. Misalnya, outcome. Jika Anda penggemar Pak Tung, tentu sudah sering mendengar kata-kata, ”Manusia itu cuma cari nikmat menjauhi sengsara”. Karena itu, Pak Tung selalu mengajarkan untuk merumuskan goal dengan membuat representasi mengenai kenikmatan yang akan kita dapat kalau tercapai sekaligus juga kesengsaraan yang akan kita alami kita tidak tercapai.

Begitu pula dalam soal rapport. Memahami meta program memungkinkan kita untuk berkomunikasi menggunakan ’bahasa’ orang yang kita ajak bicara. Dan dibangun dengan apa kah rapport jika tidak dengan pacing?

Bagaimana dengan sensory acuity? Kalibrasi akan berjalan lebih mudah dan sistematis dengan memahami meta program.

Lalu fleksibilitas? Alih-alih menetapkan target dengan menggunakan meta program Anda, cobalah untuk memahami meta program orang lain, dan mengkomunikasikan target Anda dengan menggukana meta program mereka. Jika Anda berkomunikasi dengan banyak orang, gunakanlah kalimat yang mencakup kesemuanya. Inilah sebabnya meta program seringkali disebut sebagai the language of influence.

So, sudah tidak sabar untuk melakukan profiling?

Sabar, tunggu artikel berikutnya ya J.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment

  • dedi

    Wah… pencerahan ilmu buat saya nih pak
    Sangat bermanfaat.

    Artikel2 berikutnya siap saya santap..
    (GPL Gak Pake Lamaaaaaa…)
    Ma Kasih.

    Salam
    DEDI