• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

“Dari tadi aku liat-liat, 2 orang ini nggak masuk-masuk, cuma di depan aja pake ID card ‘Tamu’, eh rupanya nggak mbayar toh. La wong aku aja mesti jual motor dulu buat ikut,” demikian seloroh yang saya dengar dari ‘Suhu’ Widyarto di Sabtu pagi minggu lalu. Saya dan Kang Asep Haerul Gani pun tertawa dan merespon dengan berkata, “Ya makanya kita di luar. Namanya juga pengintip. Ya biarin yang mau diintip buka baju dulu dong.”

Demikianlah, awal hari itu begitu menyenangkan. Menyenangkan karena saya diberi izin oleh salah seorang guru NLP mumpuni, Kiai Ronny Furqoni, yang akrab disapa sebagai Mas Ronny F. Ronodirjo. Saya tergerak untuk menyebut guru NLP pertama saya ini sebagai ’Kiai’ sebab setidaknya selama saya mengintip kelasnya, saya benar-benar menemukan perpaduan yang magic antara NLP, spiritual, dan mistis.

Loh, memangnya ada pelajaran tentang santet dan pelet di Licensed NLP Practitioner?

Ups, bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin mengatakan kalau Kiai Ronny banyak bercerita tentang perjalanannya mencari jati diri dulu, yang sempat belajar ilmu-ilmu yang katanya mistis. Apalagi nama Furqoni dan asal Kauman Jogjakarta. Wah, semakin pas dengan sebutan Kiai.

Kok, katanya mistis? Bukankah ilmu-ilmu dukun itu memang mistis?

Ya, bisa ya, bisa juga tidak. La wong saya belum pernah belajar. Dulu, ilmu físika juga saya anggap mistis, karena nilai-nilai saya tidak beranjak naik juga dari angka 6.

Lalu, apa yang saya dapatkan dari 2 kali setengah hari itu?

Banyak! Kalau tidak bisa dikatakan buuuuuaaaaaanyaaaak! Bukan materi baru, memang, melainkan sudut pandang baru yang mempesona saya. Dan bukankah yang menarik dari NLP adalah sudut pandang tentang manusianya itu?

Semisal, ketika membahas soal consciousness. Daripada ribut soal mana yang benar antara subconscious dan unconscious, Kiai Ronny mengajak kita untuk berpikir out of the box. ”Jangan-jangan, yang sebenarnya ada itu bukan alam sadar dan bawah sadar. Tapi justru alam sadar, alam samping sadar, alam depan sadar, atau alam belakang sadar,” ujarnya yang serta merta memicu tawa peserta.

Demikian juga ketika saya baru ’ngeh’ ketika materi tentang predikat dalam sistem representational. Meskipun sudah seringkali menggunakan, saya baru menemukan bahwa yang dimaksud oleh predikat dalam NLP bukan semata-mata predikat saja, melainkan juga bisa berarti kata sifat dan kata keterangan. Contohnya, kata-kata seperti indah, cantik, manis jelas merupakan kata keterangan, tapi ia juga bisa sebagai indikator ketika seseorang sedang menggunakan program visual dalam dirinya.

Belum lagi kepiawaian Kiai Ronny berlinguistik ria yang sangat ciamik, bermain presuposisi, dan utilisasi kondisi yang terjadi di kelas. Wuih, benar-benar semakin meyakinkan saya bahwa NLP tidak bisa dikuasai dalam waktu 7 hari!

Loh, kok?

Ya, karena saya yakin Kiai Ronny membutuhkan waktu 10 tahun sejak pertama kali mengenal dan mempelajari NLP untuk dapat mengakuisisi keterampilan tersebut secara unconscious competence. Setidaknya sampai sekarang, saya belum pernah ketemu dengan seorang lulusan pelatihan NLP 7 hari yang bisa melakukan keterampilan secantik itu.

Begitu juga ketika saya sempat berdiskusi soal modul standar dari The Society of NLP yang ternyata 90 % isinya sama, apapun judul pelatihannya!

Kok bisa?

Ya, sebab rupa-rupanya, memang yang namanya NLP itu ya hanya NLP Model itu. Sementara NLP Pattern yang jumlahnya bejibun itu, bukanlah NLP murni. Ia hanyalah hasil dari sebuah sikap mental dan metodologi yang dikuakkan dari sebuah teknik. Persis seperti kata-kata Richard Bandler soal definisi NLP, ”NLP is an attitude and methodology that lies behind trails of technique”. Jelas lah bagi saya, mana yang NLP dan mana yang bukan. Begitu juga, menjawab pertanyaan saya dulu tentang mengapa NLP kokoh sebagai disiplin ilmu sendiri, padahal ia memiliki banyak keterkaitan dengan ilmu-ilmu lain.

Namun, di atas itu semua, ada satu hal yang luar biasa terjadi di kelas Kiai Ronny. Percaya atau tidak, peserta dalam kelas tersebut bukanlah anak-anak kemarin sore dalam dunia pengembangan diri. Ah, saya tadi sempat menyebut Pak Widyarto ya? Saya tentu belum mengatakan kalau di sana ada Master Trainer EDAN, Founder Trainers Club Indonesia, stage hypnotist, pemilik perusahaan, dll. Apa yang membuat saya kagum adalah kerendahan hati mereka untuk duduk di kursi, mendengarkan dengan seksama, mendongakkan kepala 45 derajat, dan berlatih serta bertanya secara antusias.

Tidak ada pandangan sombong, tidak ada kata-kata miring, tidak ada keangkuhan. Hanya ada kesejukan, harmoni, kebesaran jiwa, dan passion yang tinggi untuk menyelami ranah ilmu yang bisa jadi sudah pernah mereka alami sebelumnya.

”Saya ingin memiliki kerendahan dan kebesaran hati itu,” demikian yang saya teguhkan setelah ngintip kelas Kiai Ronny, jauh di atas ilmu NLP dan ilmu lain yang ingin saya kuasai.

”Evolusi baru saja dimulai,” ucap sebuah tulisan di pin yang terdapat di topi Kiai Ronny dari Orlando yang ditunjukkan pada saya. NLP masih jauh dari sempurna, dan bahkan tidak akan pernah sempurna. Apa yang saya tahu sekarang hanyalah peta versi tahun 2008, yang bisa jadi sudah jadul di tahun depan. La wong peta Jakarta yang paling lengkap saya direvisi tiap tahun.

Nah, bersama Indonesia NLP Society, yuk, kita kembangkan NLP dari ranah negeri kita sendiri!

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply