• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • 2 Comments

”Saya tuh sensitif sekali Pak. Kalau ada orang yang mengkritik saya, saya bisa kepikiran sampai berhari-hari, bahkan sampai sakit,” ujar salah seorang peserta seusai seminar 3 jam yang saya berikan kepada 130 orang Insurance Administrator. Kebetulan di sesi tersebut saya baru saja membagikan ilmu dasar melakukan proses mengedit submodalitas, maka saya pun memintanya untuk melakukannya sambil saya bimbing.

”Nah, merem sekarang. Coba pikirkan kritik yang masih diingat dan masih berasa sampai sekarang,” ujar saya kepadanya.

”Oh, minggu lalu Pak. Oleh Om saya,” jawabnya.

”Bagus. Nah, sembari diingat, apa yang muncul?”

”Ada kata-katanya Pak, kedengeran.”

”OK, mendengar kata-kata itu, apa yang Anda rasakan?”

”Tidak nyaman Pak. Campur aduk. Ya kesal, sedih, marah.”

”Dimana di tubuh Anda perasaan itu dirasakan?”

”Dari dada Pak. Kemudian menyebar ke perut. Perut jadi nggak enak rasanya.”

”Nah, sekarang buka mata. Sudah punya pacar belum?”

”Wah, boro-boro Pak. Kerjaan numpuk nggak sempat pacaran.”

”Ya bagus lah. Nggak sudah pacaran. Yang penting kalau mau nikah ada jodohnya. Ya nggak?”

“Wah, betul juga tuh Pak. Hehehe…”

“OK, Anda punya seseorang yang apapun yang ia katakan, semuanya bisa Anda maklumi, bahkan Anda ambil hikmahnya?”

”Wah, ada Pak. Itu Ibu saya.”

”Nah, coba pikirkan satu pengalaman ketika Ibu Anda berkata sesuatu yang merupakan sebuah kritik, dan Anda tidak merasa kesal tapi justru berterima kasih.”

”Hmm…”

”Apa yang muncul?”

”Suara Ibu saya Pak. Lembut terdengarnya.”
”Apa yang Anda rasakan mendengar itu?”

”Tenang Pak. Sejuk.”

”Bagus. Buka mata sekarang. Jadi, kapan rencana mau nikahnya?”

”Wah, nabung dulu Pak!”

”Lah, ditanya mau kapan kok malah jawabnya nggak nyambung.”

”Hehe…maunya sih tahun depan Pak. Tapi duit dan jodohnya belum ada.”

“OK, sekarang, antara suara Ibu Anda dan suara Om Anda, apa yang membedakan?”

”Ya beda toh Pak. Yang satu sinis begitu, yang satu lembut.”

”Berarti bedanya di apanya?”

”Mmm…suaranya, kencangnya, nadanya. Yang Om dari depan, keras sekali. Yang Ibu dari samping, lembut.”

”Bagus. Sekarang, pikirkan kembali suara Om.”

”OK Pak. Wah, terasa lagi nggak enak di perut.”

”Bagus. Sekarang, ubah suara Om jadi seperti suara Ibu. Arahnya jadi dari samping, volumenya dikurangi—seperti mengecilkan volume radio juga bisa, pokoknya dibuat sama persis seperti suara Ibu. Sudah?”

”Mmm…sebentar Pak.”

”Kalau sulit pelan-pelan, langsung saja diganti seperti mengganti volume radio digital itu lho.”

“Ah, sudah Pak.”
“Dibuat sama persis ya. Isinya tetap kata-kata Om, tapi cara mengucapkannya cara Ibu.”

”OK Pak. Sudah.”

”Bagus, sekarang, apa rasanya?”

(Wajah terkejut) ”Loh, kok aneh ya?” (Membuka mata)

”Apanya yang aneh?”

”Rasanya itu lho. Tiba-tiba perut saya jadi jauh lebih enak.”

”Ah, masak. Coba pikirkan lagi!”

”OK Pak. Sudah. Loh, kok suara Om jadi berbeda?”

”Terus?”

”Rasa nggak enak di perut sudah hilang sama sekali!”

”Ah, yang benar? Masak semudah itu? Ayo coba diingat lebih keras lagi?”

”Mmmmh…sudah Pak. Nggak bisa. Sudah hilang sekarang?”

”Oh, begitu. Jadi, sekarang tetap mau nikah tahun depan?”

”Ya mau lah Pak. Tapi, ini beneran sudah hilang ya Pak?”

”Ya, kalau Anda mau bisa kita balikin lagi sih.”

”Wah, jangan donk Pak. Makasih ya.”

Demikianlah, saya memilih untuk mencari struktur seseorang yang ia tidak merasa dikritik daripada cara lain, dengan tujuan agar ia bisa mengambil maksud baik dari kritik tersebut. Sebab, bukankah selalu ada maksud baik di setiap perilaku?

Namun demikian, cara lain yang bisa digunakan jika kritik tersebut sama sekali tidak membangun (semisal, celaan yang tidak mengandung kata-kata positif) maka saya biasa menganjurkan untuk menggunakan struktur seseorang yang tidak ia percayai, yang kata-katanya ia anggap sebagai sebuah kebohongan yang tidak perlu direspon.

Selamat mencoba!

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

2 Comments