• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • 3 Comments

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Wit ing trisno, jalaran sako kulino.

Demikian bunyi pepatah Jawa yang seringkali saya dengar. Secara bebas, ia dapat diterjemahkan dengan: pohon cinta tumbuh karena terbiasa. Umumnya, pepatah ini muncul untuk mengomentari pasangan suami-istri yang menikah setelah menjadi teman cukup lama (misalnya, teman sekantor, satu sekolah, dll). Karena sering bertemu dan berbagi cerita, pasangan-pasangan ini pun rupanya juga berbagi rasa, yang berujung pada pernikahan.

Saya ingat betul pepatah ini, karena saya pun mengalami hal yang sama. Pertama kali mengenal istri saya, saya belum menunjukkan ketertarikan untuk menjadikannya sebagai pasangan hidup. Begitu pula sebaliknya. Namun seiring waktu berjalan, persahabatan yang kami bina akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta yang entah kapan kami tebar.

Entah mengapa beberapa waktu belakangan pepatah Jawa yang satu ini mencuat kembali dalam benak saya. Bedanya, saya menyadari makna yang berbeda. Ia bukan lagi sekedar menjelaskan tentang romantika cinta sahabat yang menjadi kekasih, namun lebih jauh dari itu. Ia justru merupakan sebuah nasihat yang teramat dalam bagi para pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah, untuk terus menyemai cinta sampai akhir hayat.

Kok?

Ya. Pohon cinta tumbuh karena terbiasa. Dimulai dari menanam bibit, memupuk, menyirami, hingga menjaganya dari serangan hama, proses menumbuhkan dan memelihara pohon persis seperti proses menumbuhkan dan memelihara cinta. Jika kita ingin sebuah pohon tetap berbuah, maka tiada lain yang bisa dilakukan selain terus melanjutkan proses pemeliharaan sepanjang hayat.

Maka pepatah ini menjadi sangat relevan bagi para pasangan yang sudah menikah beberapa tahun (atau bertahun-tahun) dan merasakan kehampaan, flat, bahkan kebosanan. Yang muncul seringkali adalah kalimat:

Cinta kami sudah mulai pudar. Saya merasa kehilangan rasa cinta. Tidak seperti dulu lagi. Saya tidak mencintainya lagi.

Dan seterusnya.

Well, maaf jika saya mengecewakan Anda yang barangkali mengatakan kalimat-kalimat seperti itu. Tapi saya katakan, “Bukan cinta yang hilang. Bukan cinta yang mati. Tapi cinta yang sudah tidak Anda pupuk sejak lama, hingga ia perlahan-lahan kering layaknya pohon, berhenti berbuah, dan berakhir pada kematian.”

Ya. Mereka yang merasa kehilangan rasa cinta sejatinya tidak lah kehilangan rasa cinta. Melainkan membiarkan cinta itu tak terpelihara, sehingga ia menguap dan mati.

“Love is a verb,” nasihat dari salah seorang guru saya. Belakangan, saya menemukan kalimat ini begitu popular, bahkan menjadi salah satu judul buku penulis kondang sekaligus konselor perkawinan, Gary Chapman. Siapapun yang pertama kali meneluarkan kalimat indah ini, saya sepakat. Seribu persen sepakat!

Kok?

Ya. Seperti yang saya tulis di artikel soal cinta sebelumnya, “Everyday I Love You”, cinta memang sebuah nominalisasi. Sebuah kata kerja atau kata proses yang dibendakan, sehingga seolah ia adalah benda mati yang tak bisa berubah. Padahal, jelas tidak ada benda bernama cinta, yang bisa datang dan pergi, hilang dan kembali. Yang ada adalah cinta yang ditumbuhkan, dipelihara. Ketika dibiarkan, jangan heran jika ia redup dan mati. Maka memahami cinta seperti ini membuat saya yakin betul bahwa cinta memang tak lain sebuah proses mencintai.

Ah, cukup ah teorinya. Praktiknya gimana donk? Biar kita bisa menumbuhkan dan memelihara cinta setiap saat? Biar cinta kita tidak gersang dan mati?

Yuuuk…mari…

Latihan berikut ini bisa Anda lakukan sendiri, atau dibantu oleh orang lain.

Ambil posisi duduk yang rileeeeeks dan santaaaai. Duduk yang nyaman. Boleh sambil buka atau tutup mata, yang mana yang membuat lebih mudah berkonsentrasi.

Sambil menikmati nafas yang masuuuuk, keluaaar, masuuuuk, dan keluaaaar, silakan mengingat kembali saat Anda merasakan perasaan cinta yang begitu mendalam.

Setiap orang tentu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Dan saya menemukan beberapa cirinya adalah perasaan tenang, ikhlas, lega, dikarenakan telah memberikan apa yang Anda berikan pada orang yang Anda cintai, sepenuhnya. Ya, cinta adalah hasil dari proses memberi secara tulus. Sehingga ia tidak memiliki kaitan dengan apapun yang akan Anda terima setelahnya.

Cinta juga tidak ada hubungannya dengan nafsu. Nafsu memiliki, apalagi nafsu seksual. Cinta adalah sebuah perasaan yang murni, nyaman, dan berdiri sendiri. Tidak tergantung pada syarat apapun. Cinta adalah perasaan yang sederhana.

Aha, Anda sudah mulai merasakannya? Bagus sekali. Bagaimana rasanya di pikiran Anda? Di tubuh?

Di bagian mana saja tepatnya Anda merasakannya? Tentu setiap orang unik. Saya sendiri merasakan sebuah perasaan yang mengalir, nyaman, dari diri saya kepada orang yang saya cintai. Anehnya, semakin saya memasrahkan untuk memberi rasa cinta ini, semakin kuat gelombang yang kembali kepada diri saya.

Maka yang kemudian saya rasakan biasanya adalah perasaan tersambung. Koneksi perasaan yang kuat antara saya dan dia. Sehingga apapun yang saya alami ketika bersamanya, pahit ataupun manis, selalu menghadirkan perasaan cinta baru.

Seorang sahabat pernah mengajarkan, “Setiap konflik dalam percintaan adalah jalan untuk memperbarui cinta. Cinta yang lebih kokoh dari sebelumnya.”

Maka saya penasaran, bagaimana Anda merasakan semuanya dalam pikiran dan tubuh Anda. Bagaimana perilaku Anda berubah karenanya? Seberapa tenang Anda menjalani kehidupan Anda berbekal dengannya?

Nah, sementara Anda terus menikmati apa yang Anda rasakan sekarang, bukankah Anda ingin menyimpannya di dalam diri Anda? Menyimpan perasaan ini di suatu tempat di dalam diri, yang dapat dengan mudah Anda akses, kapan pun Anda membutuhkannya. Sehingga bahkan tanpa perlu Anda sadari, ia dapat muncul dengan sendirinya.

Lanjutkan proses ini hingga Anda selesai. Dan Anda boleh membuka mata lalu kembali ke ruangan ini sekarang.

Nah, bukankah ia begitu indah sampai-sampai Anda tak ingin membuka mata?

Ya, demikianlah yang saya rasakan, setiap kali saya melakukannya, setiap minggu.

Setiap minggu?

Ya iya lah. Memelihara pohon saja harus disirami setiap hari. Apalagi cinta? Yang efeknya jauh lebih besar untuk hidup kita?

Anda bisa melakukannya satu demi satu untuk setiap orang yang Anda cintai, ataupun sekaligus, misalnya sekalian untuk satu keluarga.

Nah, ini yang anehnya nih. Meskipun saya hanya melakukannya untuk beberapa orang saja, saya jadi lebih mudah memunculkan rasa cinta ini untuk hal-hal lain. Misalnya, mencintai pekerjaan. Meskipun dengan kadar yang tentunya berbeda. Buktikan sendiri deh.

Dan, seiring dengan proses latihan yang Anda lakukan terus-menerus setelah ini, Anda bisa jadi tidak memerlukan langkah-langkah formal seperti yang Anda jalani sebelumnya. Karena ia bisa muncul hanya dengan Anda cukup memikirkannya saja.

Tips nih. Setiap kali muncul perbedaan pendapat, pertengkaran, dan lain sebagainya, aksesnya perasaan ini sebelum Anda melanjutkan proses perdebatan itu. Sehingga alih-alih menjadi ‘pembunuh’ cinta, proses tersebut malah akan semakin menguatkan cinta Anda. Sebab bukan cinta sejati jika baru dirasakan saat kondisi senang saja. Baru disebut cinta sejati jika ia dapat dirasakan dalam kondisi apapun, susah dan senang.

Selamat mencinta!

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

3 Comments