• Teddi Prasetya
  • Coaching
  • No Comments

Saya akan mulai menulis tentang coaching. Apa itu coaching? Mengapa coaching? Apa kaitannya dengan NLP? Bagaimana coaching berkembang? Apa bedanya dengan training, mentoring, counseling? Dan serangkaian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lain. Insya Allah, semua bahasan ini akan jadi buku. Ya, tujuan akhir saya adalah sebuah coaching handbook. All you need to know about coaching and how to do it. Mohon doanya agar dimudahkan ya.

 

Apa itu coaching?

Mari kita mulai dari sini. Dari sebuah pertanyaan yang pasti akan ditanyakan oleh orang awam. Dan kala kita tanya kembali, “Apa yang pernah Anda dengar tentang coaching?” jawaban yang mungkin muncul adalah: olah raga.

Ya, istilah coach dan coaching memang amat erat dengan dunia olah raga. Tak salah memang, sebab coaching yang kita maksud dalam artikel ini memang sedikit banyak ada kaitannya dengan yang ada di dunia olah raga. Ada kaitannya, tentu ada pula bedanya.

Jamak kita dapat bahwa dalam olah raga, coach bukanlah pemain. Coach pun bahkan bukan mantan pemain. Ada coach yang kalaupun pernah bermain, tidak pernah cemerlang. Ia cemerlang kala menjadi coach. Sebaliknya, mudah pula kita temukan mantan pemain cemerlang serupa Michael Jordan yang tak kinclong kala menjadi coach. Maka mudah kita simpulkan, menjadi coach memerlukan keahlian tersendiri. Coaching adalah sebuah ilmu khusus, yang kala tak dikuasai mantan pemain yang ingin menjadi coach, ia takkan sukses. Sisi lain, bukan pemain namun menguasai ilmu coaching, bisa jadi sukses sebagai coach.

Apa yang dilakukan seorang coach kalau demikian?

Nah, ini bedanya. Seorang coach dalam olah raga, umumnya memiliki kapasitas untuk mengajari. Dan sangat sering kita melihat mereka memberi instruksi. Namun coaching yang kita maksudkan di sini bukan yang serupa itu.

Adalah Timothy Gallwey, seorang pelatih tenis yang disebut-sebut mempopulerkan paradigma baru tentang coaching. Dulu, ia melatih dengan mengajari. Namun ia kemudian menemukan bahwa seorang atlet bukan tidak mampu menunjukkan performa karena tidak tahu caranya, melainkan karena ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya yang menghambat. Maka ia pun mengubah gaya coaching-nya, tidak lagi mengajari, menjadi memfasilitasi. Ia lebih banyak mengajukan pertanyaan, yang kemudian mengajak para atlet menemukan jawabannya sendiri. Singkat cerita, jadilah pendekatan ini sebuah buku bertajuk “The Inner Game of Tennis”. Saya sangat merekomendasikan para pembelajar coaching untuk menyelami buku ini.

Menariknya, ia kemudian menyadari bahwa pendekatan ini tidak hanya bisa diaplikasikan dalam dunia olah raga. Ia bisa menggunakannya bahkan untuk melakukan coaching terhadap—salah satunya—para musisi. Musik bukanlah keahliannya. Namun serangkaian pertanyaan yang ia ajukan rupanya membantu para musisi menemukan jawaban atas kondisi mereka. Jadilah ia menulis serangkaian buku-buku lain dengan tajuk depan “The Inner Game of”.

Segeralah pendekatan coaching serupa ini menjadi bahan kajian yang massif di era 90-an. Lalu terbentuklah salah satu asosiasi coaching yang kini masih terbesar di dunia, International Coach Federation (ICF).

Sampai di sini, coaching yang kita maksud bukanlah cara untuk mengajari. Maka coaching, bukanlah training. Jika bukan training yang umumnya berbentuk kelas, coaching pun bukan mentoring yang masih serumpun dalam soal pengajaran meski bentuknya adalah satu lawan satu.

Jika coaching bukan training dan mentoring, lalu apa?

Banyak orang kemudian terbingungkan membedakan coaching dengan terapi atau konseling. Apa pasal? Ya karena keduanya tampak seperti percakapan yang sama. Yang membedakan, dan ini sungguh jauh, adalah apa yang terjadi dalam percakapan itu. Terapi atau konseling, umumnya adalah percakapan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan psikologis. Dalam bahasa mudahnya, terapi atau konseling membantu klien untuk berpindah dari kondisi minus (memiliki masalah) ke kondisi netral (nol, tidak mengalami masalah).

Nah, sebuah situasi baru kemudian muncul. Setelah seseorang tidak memiliki masalah psikologis, apakah lalu ia sehat?

Di titik inilah kemudian coaching menunjukkan peranannya. Orang yang sehat, rupanya memiliki kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, untuk berekspresi, untuk berkontribusi melalui performanya. Inilah kebutuhan yang disebut Abraham Maslow sebagai aktualisasi diri. Bedanya dengan orang yang perlu terapi, kebutuhan model ini tidak pernah terpuaskan. Maka menggunakan psikoterapi atau konseling untuk membantu orang yang ingin mencapai tujuan yang besar sungguh sebuah kekeliruan, karena terapi dan konseling didasarkan pada teori-teori yang lahir dari riset terhadap klien klinis. Sedang, klien yang sehat, dan ingin maju keluar dari zona nyamannya, memerlukan metode yang didasarkan pada riset terhadap orang-orang sehat, orang-orang yang telah mengaktualisasikan dirinya.

Dalam bahasa mudahnya, kalau terapi membantu klien kembali ke titik normal, maka coaching membantu klien berpindah dari titik normal ke titik yang ia ingin tuju.

Ah, bukankah training dan mentoring pun demikian?

Betul. Hanya saja, karena training dan mentoring merupakan proses pengajaran, maka titik paling tinggi yang mungkin dicapai oleh klien adalah titik yang ada dalam materi training itu, atau titik yang menjadi puncak pengalaman sang mentor. Padahal, bisa jadi klien memiliki tujuan lain, atau berpotensi mencapai lebih dari itu. Maka dalam coaching, proses yang terjadi adalah fasilitasi, sehingga klien kemudian akan menemukan sendiri bahwa ia mampu mencapai apa yang menjadi tujuannya.

Inilah sebab mengapa 2 keterampilan utama dalam coaching adalah mendengar dan bertanya. Mendengar untuk memahami klien, bertanya untuk memfasilitasinya dalam melebarkan dan mendalamkan pemahaman, sehingga memungkinkannya melakukan hal-hal yang berbeda, dan ujungnya mencapai hasil yang berbeda pula.

Apakah artinya orang bisa mengalami coaching hanya jika ia berada dalam kondisi ‘sehat’ dan memiliki pengetahuan dasar yang memadai?

Ya. Inilah yang disebut dengan coachability. Kesiapan klien untuk keluar dari zona nyamannya, ditantang, bergerak, berinisiatif, melakukan hal-hal yang berbeda. Orang yang sedang ‘sakit’ tentu belum siap untuk menjalani proses ini. Begitu pun orang yang belum memiliki pengetahuan dasar yang diperlukan.

 

Mengapa coaching?

Alasan sederhana dan paling mudah adalah ini. Menurut Anda, mana kah yang lebih besar populasinya, orang yang sedang sakit atau sehat?

Meskipun memang orang yang sakit tak bisa dibilang sedikit, namun secara perkiraan jumlahnya tetap lebih sedikit daripada orang sehat. Kalau tidak, lalu siapa yang menjalankan dunia sekarang? Hehe..

Lagi. Di organisasi, mana yang jumlahnya lebih banyak: orang yang mengalami masalah psikologis sehingga terhambat dalam bekerja, atau orang sehat yang perlu dibantu untuk mencapai target-targetnya?

Tentu pula yang kedua.

Artinya, coaching jauh lebih banyak diperlukan dibanding terapi, konseling, training, dan mentoring. Eit, jangan salah kira. Bukan yang lain tak penting. Hanya kebutuhannya—sebenarnya—tidak sebanyak coaching.

Sungguh pengalaman kami dalam berbagai organisasi menunjukkan jauh lebih banyak orang yang sudah tahu apa yang dilakukan, tapi belum juga bergerak, daripada orang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka coaching, jauh lebih banyak dibutuhkan kini, ketika kita mengharapkan produktivitas yang lebih tinggi, kepuasan dan keseimbangan hidup yang lebih baik, karakter yang lebih kokoh, pemimpin yang berintegritas tinggi.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply