• Teddi Prasetya
  • Coaching, NLP Practice
  • 1 Comment

Dalam artikel yang lalu, saya telah membahas tentang sejarah NLP dan kaitannya dengan coaching. Saya bahkan ingin sekali mengatakan kalau NLP itu coaching banget. Dan coaching itu NLP banget. Hehe..

Dan sebuah artikel dari Coach Tjia rupanya menggelitik saya, judulnya “Coaching is Not Enough”. Menggelitik, sebab ia membahas coaching sebagai sebuah tren, yang kemunculannya belakangan mirip seperti tren beragam pelatihan-pelatihan motivasi beberapa tahun lalu. Saking gandrungnya orang pada pelatihan motivasi, hingga seolah-olah semua masalah dapat selesai dengannya. Pelatihan motivasi adalah obat bagi segala masalah (mirip dengan Habbatussauda, hehe).

Tak heran jika kemudian ada kekhawatiran pula pada tren coaching ini, bahwa ia bisa jadi hanya kegemaran sesaat. Atau, ia bisa disalah gunakan, atau digunakan dalam konteks yang tak tepat. Maka artikel kali ini adalah untuk menjawab pertanyaan pada judul: kapan coaching digunakan? Atau, kapan saya memerlukan coaching, dan bukan yang lain? Lebih lanjut, jika saya coach, pada siapa saya menawarkan keahlian saya?

Sempat saya menulis dalam artikel “Tentang Coaching”, bahwa coaching bukanlah terapi/konseling, training, maupun mentoring. Nah, dalam kelas-kelas coaching, saya sering menyajikan gambar berikut ini.

 

Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Konseling/terapi adalah proses untuk membantu seseorang berubah dari kondisi klinis (titik minus) ke kondisi normal.

Training dan mentoring, berakar pada keahlian pengajaran, adalah untuk membantu seseorang berubah dari titik normal menuju titik tertentu. Bedanya, kalau training biasanya mengajarkan materi yang bersifat generik, mentoring mengajarkan materi yang sifatnya sangat spesifik berasal dari pengalaman mentor. Hanya orang yang tidak mengalami permasalahan klinis yang kemudian bisa belajar dengan baik dalam training/mentoring. Sebagaimana hanya orang yang telah sembuh dari sakit yang sanggup berolahraga.

Nah, training/mentoring, karena akarnya adalah pengajaran, maka ia memiliki batasan dalam mengembangkan potensi seseorang. Yakni, seseorang hanya mendapatkan sebuah ilmu sebatas yang diajarkan semata. Padahal, selayaknya sebuah ilmu, ia memerlukan proses kontekstualisasi yang intensif sebelum ia berubah menjadi performa. Ilmu perlu diolah dalam praktik sebelum menelurkan hasil. Dan pada titik ini, titik ketika seseorang telah tahu nan paham, training dan mentoring acapkali tak lagi banyak membantu. Ilmu telah cukup, layaknya bahan-bahan mentah yang tersedia lengkap. Saatnya ia dimasak dalam kenyataan.

Pada titik inilah kita memerlukan sebuah pendekatan intervensi yang berbeda. Jika dirasa-rasa, ketiga pendekatan di atas memiliki sebuah benang merah yang sama. Yakni adanya hubungan yang tak sejajar antara terapis/trainer/mentor dengan kliennya. Wajar, sebab terapis/trainer/mentor memang dianggap lebih tahu daripada klien. Sebab klien memang mengharapkan sesuatu yang belum ia ketahui.

Lalu bagaimana kala ia telah tahu apa yang perlu dilakukan, namun belum jua melakukannya?

Ia memerlukan seseorang yang sejajar. Yang menjadi mitra dalam perubahan. Bukan seseorang yang mengajari, melainkan rekan yang menjadi cermin bagi lelakunya. Persis seperti seorang penari yang telah paham segala teori dan gerakan dasar. Ia perlu berlatih sendiri di sebuah ruangan bercermin, untuk menyempurnakan gerakannya. Tanpa cermin, ia akan kesulitan, sebab tak bisa melihat sendiri celah perbaikannya.

Inilah peran seorang coach. Meski ia dijalankan oleh seorang guru, ia tak sedang berperan sebagai guru. Ia mengubah cara berpikir dan berkomunikasinya, hingga tak mengajari, melainkan memfasilitasi. Dalam memfasilitasi, ia menstimulasi, tanpa niat untuk mengarahkan. Ia sama seperti kliennya, sama-sama memiliki keingintahuan dan rasa penasaran yang tinggi akan hasil yang mampu diraih. Dalam sikap mental serupa inilah, coaching menjadi jalan untuk pertumbuhan, aktualisasi diri. Sebab aktulisasi diri, tak bisa dibatasi dengan apa yang telah lalu (ada dalam training dan mentoring). Ia adalah perjalanan menjelajahi dunia baru yang belum pernah dijamah. Maka coach harus membersihkan pikir dan rasanya dari keinginan untuk ‘membentuk’. Ia mesti memasang sikap untuk menemukan bentuk.

Itu teorinya. Sebuah kondisi yang disebut sebagai coachability. Kesiapan seseorang untuk menjalani proses coaching. Lalu bagaimana persisnya kita tahu hal ini? Bagaimana cara kita memahami bahwa seseorang telah siap, sedang yang lain belum? Sebab proses coaching bukanlah sesuatu yang selalu indah. Klien kadang akan mengalami ketidaknyamanan, kegerahan, kegelisahan, selayaknya seseorang yang berpetualang. Tak disebut petualangan kala ia adem ayem saja. Inilah sebab coachability mutlak dikenali. Sebab mereka yang belum siap malah bisa mengalami kondisi yang membahayakan secara psikologis.

Beruntung, beberapa bulan lalu saya menemukan sebuah buku bertajuk “Adaptive Coaching” karya Terry R. Bacon dan Laurie Voss. Keduanya menjelaskan dengan amat baik tentang bagaimana kita bisa mengenali kesiapan psikologis dari seorang klien untuk menjalani coaching. Mereka menyebut coachability sebagai kematangan.

Kematangan, didefinisikan sebagai penerimaan diri seseorang terhadap dirinya (self acceptance), kemauan untuk menerima kesalahan, dan keterbukannya pada masukan (openness to feedback). Seseorang yang belum matang seringkali rentan dan cenderung melakukan mekanisme pertahanan diri. Sulit bagi mereka untuk mengakui dan menerima kesalahan. Sedang seseorang yang matang, mampu melihat dirinya secara realistik, dan menerima kelemahan diri sebagai bagian dari keutuhan dirinya. Mudah bagi mereka untuk ikhlas dan memaafkan, dirinya dan orang lain. Klien yang matang, seketika akan terbuka sebab merasa tak perlu menjadi sempurna. Mereka meyakini bahwa hidup memang ada untuk selalu melakukan perbaikan.

Aspek lain dari kematangan, ungkap Bacon dan Voss, adalah resiliensi. Kemampuan untuk bangkit kembali (re-bound), bangun dan berdiri, kala terjatuh, mendapat kritik pedas, gagal mencapai target, dsb. Ciri-ciri mereka adalah kemampuan untuk menghadapi kenyataan sebagaimana adanya, keyakinan diri yang kokoh bahwa hidup selalu penuh makna, dan kapasitas untuk berimprovisasi secara kreatif dalam berbagai keadaan. Resiliensi ini penting, sebab proses coaching acapkali menghendaki klien untuk menatap diri sendiri dan mengenali hal-hal yang mungkin tak mereka sukai.

Kalau Anda merasa familiar dengan penjelasan ini, sebab memang ia lah yang telah bertahun-tahun sebelumnya diurakan oleh Daniel Goleman dalam karya epiknya, “Emotional Intelligence”. Orang yang cerdas emosi, jelas Goleman, adalah mereka yang mampu menyadari emosi diri dan mengelolanya, lalu mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan baik. Inilah kecerdasan yang membedakan orang-orang yang sukses di dunia nyata dengan yang biasa-biasa saja. Seseorang diangkat menjadi pimpinan, biasanya karena kecerdasan ini.

Jika kondisi-kondisi di atas belum terpenuhi, maka kita perlu menengok ke terapi. Sebab bisa jadi klien kita memerlukannya lebih dulu sebelum menjalani coaching.

OK, klien kita ‘aman’, tidak berada dalam kondisi klinis. Sudahkah ia siap di-coach?

Belum tentu.

Kok?

Ya, karena bisa jadi ia memerlukan training atau mentoring.

Apa ciri-cirinya?

Coaching, paling bermanfaat ketika seseorang telah memiliki pemahaman yang memadai tentang apa yang perlu dilakukan. Memadai, tak mesti ahli. Dalam sales coaching, misalnya, seorang klien jelas perlu tahu langkah dan proses menjual, juga produknya. Tanpa itu, percuma menjalankan coaching, sebab tak ada informasi yang bisa diolah sendiri. Padahal, pengolahan sendiri inilah, hingga menghasilkan makna baru, inti dari coaching.

Nah, ketika informasi dasar nan memadai untuk menjual telah dimiliki, namun klien masih belum optimal hasilkan kinerja, coaching memainkan peranannya. Apakah yang diperlukan klien? Adakah ia masih ragu?

Adakah ia takut ditolak? Jika ya, apa keyakinan yang memicu ketakutan itu?

Adakah ia tak semangat? Jika ya, bagaimana ia memandang pekerjaannya hingga tak mampu memicu semangat?

Inilah ranah coaching.

Training dan mentoring bisa melengkapi informasi baru yang memang diperlukan. Namun dalam banyak kali, klien sejatinya sudah bisa merangkai sendiri informasi baru yang ia perlukan kala kondisi psikologisnya siap. Ya, sebab durasi training dan mentoring yang acapkali singkat nan padat, menjadikan tak semua informasi berharga bisa terserap seketika. Dalam praktik lapangan lah, kala klien berada dalam kondisi psikologis yang siap, informasi-informasi itu baru menemukan tempatnya.

Maka para coach yang sekaligus trainer dan mentor, memang bisa ‘menari’ dalam kontraknya dengan klien. Kala didapati klien belum punya informasi umum, ia gunakan topi trainer. Klien siap, ia ganti dengan topi coach. Klien membutuhkan informasi spesifik, ia ganti topi mentor. Klien siap, ia lanjut lagi dengan coaching. Demikian seterusnya. Yang penting, pergantian topi ini harus jelas, dan dijelaskan pada klien. “OK, sepertinya Anda belum punya informasi yang cukup. Apakah Anda nyaman jika kita hentikan sejenak coaching, dan saya bagikan beberapa informasi dari pengalaman saya?”

Ini penting, agar klien tidak mengaburkan coaching dengan proses lain.

Bagaimana dengan coach yang tidak nyambi dengan profesi lain?

Ia bisa memfasilitasi klien untuk menjadikan training atau mentoring sebagai salah satu tindakan atau tugas. Sebab salah satu proses dalam coaching memang adalah pemberian tugas untuk dijalankan oleh klien dalam rangka pertumbuhannya (tasking). Setelah klien belajar pada ahlinya, coach bisa memfasilitasi kembali agar klien bisa mengaplikasikan ilmu barunya dengan baik.

 

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment

  • awin

    Dalam konteks diperusahaan, kapan coaching diperlukan? dan bagaimana membangun hubungan efektif coache dengan coach, karena coache yang nota bene anak buahnya suka tidak bisa bedakan mana jaban sebagai coachee dan jawabn sebagai anak buah atau staff