• Teddi Prasetya
  • NLP Basic
  • No Comments

Seri Kenalan dengan NLP #1

Nama panjangnya Neuro-Linguistic Programming. Saya sering menyebutnya psikologi praktis. Mengapa? Ya karena ini lah jawaban atas pertanyaan saya di sekitaran tahun 2004, di akhir masa kuliah. Kerap saya diminta oleh kawan-kawan, “Ajarin dong ilmu komunikasi,” atau, “Ngisi pelatihan dong tentang cara mengelola diri.” Saya pun dibuat pusing oleh permintaan seperti ini, sebab bingung bagaimana harus membawakan dalam waktu beberapa hari atau jam, sesuatu yang saya pelajari bersemester-semester.

Di titik ini lah saya berpikir, seandainya saja ada cara untuk menjadikan ilmu psikologi ini sesuatu yang mudah dipahami dan dipraktikkan oleh orang awam. Bukan apa-apa. Sebab saya merasa psikologi ini ilmu yang unik. Ya, unik karena ia akan selalu diperlukan oleh setiap orang, di mana pun, kapan pun. Ilmu fisika, misalnya, tak semua orang perlu. Begitu pun ilmu biologi, mungkin hanya yang profesinya terkait saja yang perlu setiap saat. Tapi psikologi? Siapa yang tak butuh dengan keterampilan untuk mengelola emosi, mengendalikan pikiran, membangun hubungan, memengaruhi orang lain, menggerakkan massa, memimpin tim? Apapun profesi dan keahlian yang kita miliki, kita selalu memerlukan semua keahlian tadi.

Nah, di tahun 2004 itu lah saya bertemu dengan NLP, yang tadi saya sebut sebagai psikologi praktis. Lucas Derks, pakar psikologi yang juga NLPer pernah mengatakan bahwa NLP adalah sebagaimana seharusnya psikologi. Maksudnya, mengembangkan ilmu psikologi sejatinya memang harus sampai pada tahapan model dan teknik seperti dalam NLP, sehingga teori yang telah diriset bertahun-tahun dan amat kaya itu demikian praktis dan bermanfaat bagi orang banyak.

Neuro, salah satunya bermakna saraf. Saya suka bercanda begini. Jika ada seseorang berkata, “Eh, kawan kita itu, sarap deh.” Biasanya, apa yang dimaksud oleh sang pembicara dengan sarap?

Jika Anda sama dengan saya, maka yang dimaksud adalah sakit jiwa. Tentu ini sebuah lelucon. Tapi bisa jadi merupakan cara paling mudah memahami makna neuro dalam NLP.  Ya, neuro alias saraf, memang merupakan hardware nya jiwa kita. Kita tidak bisa melihat jiwa kita, namun kita tahu gejolak dan dinamikanya dengan mengenali apa yang terjadi pada susunan saraf.

Pikirkan sebuah pengalaman yang amat menyenangkan yang Anda alami seminggu terakhir!

Sudah?

Bagus. Nah, saraf mana saja di tubuh Anda yang bereaksi? Mungkin di dada, perut, kepala, atau yang lainnya?

Pikirkan sebuah permasalahan di tempat kerja yang belum terpecahkan sampai sekarang!

Sudah?

Bagus. Nah, sekarang, saraf mana saja yang bereaksi? Seperti apa rasanya?

Anda boleh kembali memikirkan hal yang menyenangkan tadi, sekarang.

Menarik, bukan?

Ada yang jauh lebih menarik. Ya, dua pengalaman eksperimen kecil di atas terjadi, hanya disebabkan Anda membaca tulisan di buku ini, lho. Anda membaca, mengulangi apa yang Anda baca dalam pikiran, membiarkan pikiran Anda merespon sebagaimana yang Anda baca, dan voila!

Proses ini sekaligus menerangkan nama kedua dari NLP, yakni linguistic. Bahwa apa yang terjadi pada susunan saraf kita (neuro), bisa dikendalikan oleh pola-pola bahasa yang kita gunakan (linguistik). Itu lah sebabnya antara kata neuro dengan linguistic dalam NLP diberi tanda “-“.

Mari kita bereksperimen lebih lanjut. Silakan Anda baca, satu per satu, kata-kata di bawah ini, lalu biarkan pikiran Anda memprosesnya, dan tandai apa saja sensasi perubahan di susunan saraf yang Anda rasakan.

Coklat

Manis

Jeruk

Rumah

Sinar

Bagaimana? Seru?

Itu tadi baru kata-kata. Bagaimana jika kalimat?

Saya bersyukur atas apa yang telah saya miliki.

Pagi ini sungguh cerah.

Kadang di situ saya merasa sedih.

Ah, semua akan baik-baik saja.

Asyik, bukan?

Kondisi ini sekaligus menjelaskan kata ketiga dalam NLP, yaitu programming.

Maksudnya?

Mengapa kata ‘coklat’ menghadirkan pikiran tentang kue, dan bukannya mobil? Mengapa kata ‘manis’ memunculkan rasa makanan, dan bukannya warna baju? Mengapa kalimat ‘pagi ini sungguh cerah’ melahirkan perasaan semangat, dan bukannya sendu?

Ya, karena kita telah memiliki program akan semua hal itu dalam diri kita. Melalui proses pembelajaran yang panjang sejak kecil, kita menginstal berbagai program hasil interaksi neuro dan linguistik, sehingga ia berjalan otomatis. Inilah sebabnya Anda mungkin bisa memahami mengapa seseorang langsung naik pitam saat mendengar sebuah hinaan. Sebuah sebuah hinaan, meski hanya sebuah kata, telah memiliki program yang terbentuk bertahun-tahun sehingga menghadirkan rasa marah yang otomatis.

OK! Agar apa yang kita pelajari langsung bermanfaat. Silakan Anda jalankan latihan berikut ini:

  • Tuliskan 10 kata yang menghadirkan beragam emosi dalam diri Anda. Kenali apa saja emosi yang dipicu oleh kata-kata tersebut.
  • Tuliskan 10 kalimat yang selama ini selalu memicu emosi negatif dalam diri Anda. Jika sudah, kalimat seperti apa yang menurut Anda tepat untuk menggantikannya?
  • Temukan 5 kondisi yang ingin Anda ubah dalam diri Anda. Misalnya, malas melakukan sesuatu, kesal pada orang tertentu, dll. Kenali apa kalimat-kalimat yang sering Anda ucapkan. Jika sudah, bagaimana Anda akan menggantinya?

 

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply