• Darmawan Aji
  • Neuro-Linguistic Programming, NLP Basic
  • No Comments

Sepanjang perjalanan hidup, sadarkah kita, saat ada teman yang sedang bermasalah, kita mudah sekali memberikan solusi (ide/saran/nasihat) untuk mereka? Namun, saat kita mengalami masalah yang sama, kok rasanya sulit sekali menemukan solusi sendiri ya?

Inilah karakteristik asosiasi/disosiasi. Saat orang lain yang punya masalah, kita terdisosiasi dari masalahnya sehingga kita bisa melihat masalah tersebut dengan jernih. Lalu, kita pun bisa memikirkan solusi-solusi yang memungkinkan.

Sementara saat kita yang mengalami masalah, kita terasosiasi dengan masalah tersebut. Sehingga kita tidak dapat melihat masalah dengan jernih, solusi pun menjadi sulit ditemukan.

Ini ibarat pemain bola dan komentator sepak bola. Dimana-mana, komentator sepak bola itu lebih pintar daripada pemainnya. Mengapa? Karena dia disosiasi dari permainan, sehingga ia dapat menganalisis permainan dari berbagai sudut pandang. Apa yang terjadi bila di ajadi pemain? Bisa jadi dia tidak akan sehebat saat jadi komentator, karena saat menjadi pemain dia terasosiasi dengan permainannya. Dia merasakan emosi dan lelahnya berlari.

Inilah kekuatas disosiasi dan asosiasi.

Mengapa ada orang yang kaku dan kritis, sementara ada orang yang luwes dan menyenangkan? Orang menjadi kaku dan kritis biasanya karena dia berada dalam mode disosiasi saat bertemu dengan orang lain. Orang menjadi luwes dan menyenangkan biasanya karena dia berada dalam mode asosiasi saat bertemu dengan orang lain.

Pernah diajari metode visualisasi untuk mewujudkan impian? Mana yang lebih efektif: kita visualisasi secara asosiasi atau disosiasi?

Banyak yang mengajarkan visualiasi secara asosiasi. Kita diminta membayangkan dan merasakan seakan-akan sudah mencapai tujuan kita. Lalu, apa yang terjadi? Kita merasa puas, karena merasa sudah mencapainya… lalu kita berhenti berusaha. Dampaknya, tujuan kita pun tidak tercapai.

Akan lebih baik bila setelah asosiasi, kita disosiasi dari pengalaman tersebut. Melihat diri kita di sana sudah mencapai tujuan kita. Sehingga kita tergerak untuk mencapainya. Bahkan, jika ingin semakin efektif, kita bayangkan juga diri kita sedang dalam proses bertindak – bekerja keras mencapainya. Ini lebih efektif menggerakkan kita.

Asosiasi/disosiasi ini hal yang sederhana, namun perlu dilatih agar kita terampil menggunakannya. Bagaimana teknis melatihnya?

Berikut cara yang paling sederhana.

Bila Anda sedang mengalami masalah, duduklah di sebuah kursi. Rasakan masalahnya (asosiasi). Lalu, berdiri dari kursi tersebut, melangkah satu langkah dan berbalik melihat ke arah kursi. Bayangkan di kursi tersebut duduk diri Anda yang punya masalah (disosiasi). Bila ini masih sulit, bayangkan orang yang punya masalah di kursi itu adalah orang lain. Sekarang, dalam posisi disosiasi ini, tanyakan ke diri Anda: nasihat apa yang bisa saya berikan ke dia?

Cara lainnya:

Pikirkan hal yang membuat Anda bersemangat. Rasakan semangatnya di dalam tubuh Anda (asosiasi). Melangkah mundur satu langkah ke belakang, tinggalkan rasa semangatnya di depan Anda (disosiasi). Melangkah ke depan, masuk lagi dan rasakan semangatnya (asosiasi). Melangkah mundur, tinggalkan semangatnya di depan (disosiasi).

Melatih asosiasi/disosiasi ini pun dapat kita lakukan dalam keseharian. Saat bertemu dengan kawan yang sedang bersedih, berempatilah (asosiasi) lalu melangkah ke belakang (disosiasi) supaya Anda bisa memberi support kepada orang yang sedang bersedih tersebut.

Saat terlalu gembira menerima sebuah kabar, segera melangkah ke belakang (atau minimal geser punggung kita ke belakang; seperti akan menyender). Tinggalkan rasa terlalu gembira-nya di depan. Dengan latihan seperti ini, Anda tidak akan mudah masuk bujuk rayu penjual atau masuk dalam sugesti penghipnotis 😁

Author: Darmawan Aji

Leave a Reply