Hai! Gimana kemarin dari Jogja?
Wah, Jogja sekarang udah kayak Jakarta, lho.
Hah, kok bisa gitu ya? Emang anak jaman sekarang ya. Gampang banget ikut-ikutan. Kebanyakan liat TV sih, sinetron isinya anak Jakarta melulu.
Iya ya. Aku juga bingung tuh. Yang namanya kota pelajar kok sekarang jadi kayak gitu.
Nah, itulah. Sekarang tuh semua udah pada berubah. Nggak seperti jaman kita dulu. Kita dulu mah nurut-nurut sama orang tua. Tapi sekarang, walah, susah diatur tuh anak-anak.
Dan obrolan pun berlanjut menjadi gosip. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dari Jogja sampai sinetron. Dari sinetron sampai anak-anak. Dari anak-anak sampai artis. Dari artis sampai politik. Dari senang sampai pada sakit hati, karena salah pengertian. Dan seterusnya.
Inilah model komunikasi yang secara alamiah kita lakukan setiap hari. Komunikasi yang miskin detil dan membiarkan lawan bicara menggunakan ’map’-nya masing-masing untuk membuat penafsiran sendiri. Alhasil: Forum Diskusi Utara Selatan, alias ngobrol ngalor ngidul, yang tak jarang berujung pada debat kusir.
So, apa yang bisa kita lakukan dengan ini? Mari kita bahas perlahan-lahan ya.
Meta Model dikembangkan pertama kali berdasarkan pada Transformational Grammar (TG) yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Meskipun demikian, Meta Model sama sekali tidak menginduk pada teori linguistik yang sekarang tidak lagi populer ini, melainkan hanya menggunakan beberapa istilahnya saja.
Menurut TG, komunikasi yang kita keluarkan melalui kata-kata hakikatnya hanyalah sebuah surface structure alias permukaannya saja dari deep structure alias maksud asli yang kita sampaikan. Ibarat bakpau, kita seringkali tidak tahu apakah ia berisi daging atau kacang hijau hanya jika melihat dari bentuk bulatnya dari luar saja. Jika kita tidak pandai-pandai mencermati tanda-tanda perbedaan isi atau bertanya langsung pada penjualnya, tentu kita akan kecewa karena mendapatkan isi yang tidak sesuai dengan keinginan kita.
Loh, kok bisa ada perbedaan antara maksud dan kata-kata begini?
Inilah keajaiban otak kita. Demi menjadikan hidup kita mudah, otak kita seringkali memangkas (deletion) kata-kata yang kita anggap kurang perlu, menyamaratakan (generalization) beberapa hal agar lebih mudah dikaitkan dan dipahami, dan mengaburkan hubungan (distortion) antara satu hal dengan hal lain agar kita dapat melihat-mendengar-merasa dengan lebih efektif.
Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, deletion, generalization, dan distortion dapat mengaburkan pemahaman kita akan apa yang disampaikan oleh orang lain. Alhasil, secara otomatis, kita menggunakan ’map’ kita sendiri untuk memahaminya.
Nah, melakukan Meta Model hakikatnya adalah usaha kita untuk memahami deep structure seseorang dengan membedah hal-hal yang ia delete, generalize, dan distort. Ini pulalah yang menjadikan Meta Model sebuah teknik yang amat penting ketika kita melakukan modeling, sebab sang model seringkali tidak memahami bagaimana persisnya ia melakukan sesuatu (deep structure) dan karenanya hanya mengatakan hal-hal yang sangat superfisial (surface structure).
Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan Meta Model?
Paling mudah, kita mulai dari memahami model-model kalimat yang melanggarnya.
Distortion
Nominalization. Sesuai dengan namanya, nominalisasi adalah kecenderungan kita untuk membuat sebuah proses menjadi seolah-olah benda mati (nomina).
Contoh:
Hubungan kami semakin lama semakin memburuk.
Secara linguistik, kata ’hubungan’ dalam kalimat di atas memiliki fungsi sebagai kata benda (noun). Namun benarkah demikian? Jika ia adalah benda, bisakah kita lihat atau pegang? Tentu tidak, sebab ‘hubungan’ sebenarnya adalah sebuah proses dan bukan benda mati. Di dalamnya terdapat proses komunikasi yang timbal balik yang kompleks dan dinamis. Menjadikan proses sebagai ’benda’ akan membuat kita merasa mentok dan berpikir seolah-olah ia sulit bahkan tidak mungkin diubah.
Untuk mengatasi nominalisasi, kita bisa melakukan Meta Model dengan bertanya menggunakan formula:
Apa persisnya yang kamu maksud dengan hubungan itu? Bagaimana persisnya kamu menjalani hubungan itu?
Bertanya demikian akan membuat kita keluar dari unconscious untuk kemudian secara sadar mengevaluasi kembali proses yang sebenarnya terjadi.
Mind Reading. Dalam mind reading, kita berkata seolah-olah kita bisa membaca apa yang orang lain pikirkan atau rasakan.
Contoh: Saya tahu kalau dia tidak suka sama saya.
Tanpa Meta Model, pernyataan di atas sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaan orang lain, melainkan hanya mencerminkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kita sendiri.
Untuk mengatasinya, kita Meta Model dengan bertanya:
Bagaimana persisnya kamu tahu kalau dia tidak suka sama kamu?
Ditanya seperti ini, kita akan secara refleks menjadi sadar sepenuhnya dan mengambil jarak dari bauran pikiran dan perasaan kita.
Cause–Effect, adalah keadaan ketika kita menciptakan hubungan sebab akibat yang tidak logis antara suatu kejadian dengan kondisi di dalam diri kita.
Contoh:
Kamu membuat saya marah!
Kalimat seperti ini akan membuat kita merasa bahwa pikiran dan emosi kita dikuasai oleh orang lain dan karenanya menjadikan kita pasrah terhadap keadaan.
Untuk mengatasi cause-effect, kita bisa bertanya:
Bagaimana persisnya aku membuatmu marah? Apa persisnya yang kulakukan sehingga menimbulkan perasaan marah dalam dirimu?
Respon seperti akan mengajak lawan bicara kita untuk memperluas kerangka berpikir mereka sekaligus memberdayakannya guna bertanggung jawab terhadap pikiran, perasaan, dan respon mereka sendiri. Meminjam istilah Stephen R. Covey, kita mengajak lawan bicara kita untuk menjadi lebih proaktif alih-alih reaktif.
Complex Equivalence. Secara harfiah, pelanggaran Meta Model ini bisa diterjemahkan sebagai ’penyamaan yang rumit’. Hmm, saya tidak terlalu puas dengan terjemahan ini, namun saya yakin Anda bisa memahami maksudnya. Dalam complx equivalence, kita memberi makna suatu hal dengan hal lain yang tidak secara logis berhubungan
Contoh:
Wajahnya tampak memerah. Dia pasti sedang marah.
Kamu datang terlambat. Kamu tidak peduli dengan saya.
Secara lebih terstruktur, kalimat di atas bisa dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
Wajah memerah = marah
Datang terlambat = tidak peduli
Benarkah demikian? Apakah pasti seseorang yang wajahnya memerah pasti sedang marah? Apakah pasti pula datang terlambat berarti ketidakpedulian? Tentu tidak, bukan?
Menghadapi model seperti ini, kita bisa melakukan Meta Model dengan bertanya:
Bagaimana persisnya datang terlambat bisa berarti tidak peduli?
Adakah orang yang wajahnya memerah tapi tidak sedang marah?
Pertanyaan seperti ini akan menggiring kita untuk memperluas khasanah pemikiran kita akan makna dari suatu kejadian.
Presuppositions. Masih ingat presuposisi NLP? Nah, tanpa disadari, kita pun seringkali menyimpan dan menggunakan presuposisi dalam berkomunikasi. Presuposisi, karena sifatnya yang tersirat, tidak pernah tampak secara eksplisit dalam kalimat yang kita ucapkan. Bahkan, kita baru bisa menyadarinya hanya ketika kita mengambil jarak dengan kalimat-kalimat yang kita lontarkan.
Contoh:
Bisa nggak sih kamu melakukan pekerjaan ini dengan lebih teliti?
Seandainya kamu berada di posisiku, pasti kamu bisa merasakan sakitnya.
Apa pesan yang tersirat dari kalimat di atas? Yak, tepat! Meskipun tidak terucap, sang pengucap seolah ingin mengatakan bahwa lawan bicaranya tidak melakukan pekerjaan tersebut dengan teliti. Bagaimana dengan kalimat kedua? Aha, betul! Sang pengucap seakan mengatakan bahwa lawan bicaranya tentu tidak bisa merasakan sakit yang ia rasakan.
Sekilas, presuposisi memiliki kemiripan dengan Mind Reading. Bedanya, tidak ada kata-kata yang secara eksplisit keluar dari si pengucap bahwa ”Aku tahu….”.
Mengatasi presuposisi, kita bisa bertanya:
Apa yang membuat Anda berpikir bahwa saya tidak mengerjakannya dengan teliti? Apa persisnya standar teliti yang Anda harapkan?
Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku tidak bisa merasakan sakit yang kamu rasakan?
OK, 5 model di atas adalah Meta Model yang sangat powerful untuk menggali deep structure dari pelanggaran berupa distortion. Bagaimana dengan deletion dan generalization? Tunggu artikel berikutnya OK!
[…] Maka dari itulah NLP kemudian mengajarkan para praktisinya untuk senantiasa waspada dengan kondisi perbedaan map ini. Nah, salah satu caranya adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap setiap hal yang kita atau orang lain ungkapkan, sehingga setidaknya kita memiliki kemiripan map, sekalipun tidak bisa sama persis. Inilah yang dinamakan dengan precise language tadi, yang sudah saya bahas cukup panjang secara berseri. Silakan mulai dari SINI. […]