• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

Tepat ketika saya sedang menulis artikel ini, salah seorang member milis kita mengirimkan pesan lewat Google Talk: Pak, tulis tips agar tetap fit selama puasa donk.

Sip, jodoh nih, pikir saya. Kebetulan memang belum ada judulnya, seketika itu juga judul di atas terbersit dalam pikiran saya.

Loh, baru mulai puasa kok sudah berpikir selesai?

Ketika beberapa rekan bertanya dan bercerita tentang tips puasa, saya justru penasaran dengan pertanyaan yang justru sebaliknya: apakah yang kita inginkan dari berpuasa? Menggunakan Meta Model yang baru saja kita pelajari, setelah tahu berbagai manfaat yang bisa kita dapat baik fisik, psikologis, dan spiritual, apa persisnya yang ingin kita capai dengan menjalaninya?

Aha, mungkin inilah yang belum sempat kita pikirkan. Kalaupun sempat, barangkali kata ’persisnya’ baru kali ini menyentil pikiran kita.

Tapi omong-omong, mengapa kita perlu memikirkan kata ’persisnya’ ini dalam konteks puasa?

Simple. ”Begin with the end in mind” kata Mbah Stephen Covey, ”Wellformed Outcome” kata NLP. Otak kita bekerja efektif hanya jika ada perintah yang secara spesifik diberikan kepadanya.

Contoh: mengapa kita tidak pernah kesasar ketika pulang ke rumah kita sendiri meskipun jalanan macet sehingga kita harus berputar-putar mencari jalan pintas?

Tepat! Kita punya gambaran mendetil tentang rumah kita di dalam pikiran sehingga unconsciously ia akan menggabungkan beragam informasi pendukung yang dapat mempercepat proses pencapaian tujuan.

Ah, cepat. Ini satu lagi prinsip kerja otak kita. Ia tidak pernah mau mencari cara paling lambat. Ia hanya mau cara yang paling cepat. Memiliki outcome yang jelas adalah salah satu cara mempercepat proses pencapaian tujuan kita.

Loh, kok tampak kuno ya konsep ini?

Betul sekali. Di manapun Anda membaca tulisan ataupun mengikuti seminar motivasi, kepemimpinan, pengembangan diri, dll Anda dijamin akan menemui hal yang senada. Masalahnya bukan pada kekunoan konsep ini, melainkan pada satu kalimat yang barangkali Anda ingat pernah saya tulis beberapa waktu lalu:

I know what to do, but I don’t do what I know

OK, cukup pembukaannya. Lebih sistematis sekarang.

NLP on Fasting

1. Tetapkan outcome Anda secara wellformed.

Ingat, jangan karena ini urusan ’akhirat’ maka kita lupakan ilmu ’dunia’. Jika kita gunakan NLP untuk bisnis dan kehidupan sehari-hari, mengapa justru kita lupakan dalam urusan ibadah? So, apa yang ingin Anda capai setelah Ramadhan berakhir? Tuliskan secara detil sesuai rumus wellformed outcome. Mumpung Ramadhan baru mulai, sempurnakan tujuan Anda sampai Anda bisa melihat, mendengar, dan merasakan Anda telah mencapainya. Jika ia masih kabur, berarti belum wellformed. Keep improving then. Petunjuknya kan sudah jelas: puasa untuk menjadikan kita orang bertakwa. Nah, jika kita setuju dengan salah satu definisi takwa yang sering disebut—mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya—jadikanlah ia sasaran yang terkukur.

Mematuhi perintah, misalnya, khatam Al-Qur’an 3 kali, shalat tahajud setiap malam tanpa kecuali, bersedekah RpX setiap hari, menyumbang buka puasa berupa X sebanyak Y kali kepada Z orang, dll. Menjauhi larangan, misalnya, stop ngerumpi setiap jam istirahat dengan menggantinya dengan mengikuti pengajian atau membaca buku, mengurangi marah-marah ketika sedang menyetir dengan berlatih state management berupa tersenyum kepada orang yang mengambil jalur kita, dll.

Jika outcome sudah wellformed, lakukan chunking down menggunakan Meta Model dengan mendetilkan aktivitas yang harus Anda lakukan setiap harinya dimulai dari hari ini sampai terakhir Ramadhan.

2. State management selama puasa.

Pastikan Anda sahur dan berbuka pada waktunya, sebab bagaimanapun fisiologi adalah elemen yang tak terpisahkan dari emosi dan pikiran. Jangan kurangi kenikmatan puasa Anda hanya karena tubuh yang loyo akibat tidak tertunaikan haknya mendapatkan makanan.

Bagaimana jika kita mendapat ’godaan’ ketika sedang berpuasa? Godaan dalam arti luas loh ya, apapun bentuknya.

It’s ok. Sangat wajar kok. Bukankah godaan itu ada untuk menjadi bahan latihan buat kita? Yang jadi masalah, kita seringkali menjadikan ketergodaan tersebut sebagai sebuah kesalahan luar biasa dan karenanya cenderung menyalahkan diri terus-menerus. Cukup akui bahwa kita baru saja tergoda, ucapkan istighfar, dan berdamai dengan diri dengan mengatakan, ”Saya memang baru saja tergoda, dan saya sedang menjalani proses memperbaiki diri.” Model kalimat seperti ini memiliki struktur hypnotic language, karenanya akan masuk langsung ke unconscious yang akan mengingatkan kita di kemudian hari setiap kali akan muncul godaan lain.

3. Monitor pencapaian dan tetaplah fleksibel.

Sudah membuat tujuan, ingat untuk memonitor. Jika pada state management kita memonitor kondisi kita yang kualitatif, ingat pula untuk mencermati pencapaian outcome kita berikut hasil chunking-nya. Misalnya, karena ada beberapa kegiatan mendadak dan jadwal membaca Al Qur’an agak terganggu, segera sesuaikan dengan mencari jadwal lain untuk tetap memenuhi target. Begitu pun ketika target bersedekah tersendat karena ada keperluan keuangan mendadak, cepat-cepatlah mencari cara untuk mendapatkan sumber dana tambahan guna mencapai target.

Loh, ibadah kok kayak kerja sih?

Mengapa tidak? Berusaha keras memenuhi target akan menjadikan kita memiliki integritas yang tinggi di hadapan diri kita sendiri. Yap, kejujuran akan menciptakan alignment di antara conscious dan unconscious kita sehingga saling mendukung satu sama lain. Di titik inilah kita akan merasakan kenikmatan dan kedamaian dalam menjalani hidup.

When performance meets alignment, kata Peter Wrycza. Ketika hasil selaras dengan proses, di situlah perjalanan menjadi bermakna.

So, membaca sejauh ini, adakah yang baru?

Jelas tidak. Sebab masalahnya ada pada

I know what to do, but I don’t do what I know

Ingin Ramadhan Anda bermakna?

I know what to do, and I always do what I know.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply