• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

Semalam saya browsing artikel yang membahas mengenai Richard Bandler. Salah dua yang saya temukan adalah artikel berjudul “Brief History of NLP” dan “The Bandler Method”.

Menarik mencermati bagaimana awal-awal NLP dikembangkan, yang benar-benar menggunakan cara-cara yang ‘aneh’ dan ‘gila’. Sebuah cara yang menurut saya memang umum ditempuh oleh para innovator.

Ya, para innovator justru belakangan baru melakukan riset mendalam untuk membuktikan asumsi mereka. Tapi, dari mana datangnya asumsi? Dari proses trial-error yang radikal dan edan. Jauh sebelum sebuah asumsi dibuktikan dengan cara-cara yang’logis’ dan ‘masuk akal’, ia rupanya harus melalui jalan panjang tak berujung untuk menemukan bentuknya.

Itu saya temukan di artikel yang pertama.

Nah, kekaguman saya pada bahasan di artikel pertama ini rupanya mendapat pelengkap lain di artikel kedua. “The Bandler Method” adalah sebuah artikel panjang yang intinya membahas kasus pembunuhan yang pernah hamper memenjarakan Bandler. Uniknya, kedua penulisnya membahas mengenai latar belakang Bandler hingga perjalanan menuju ketenaran yang ia alami melalui NLP.

Bandler adalah seorang jenius. Keahliannya melakukan modeling sudah muncul ketika ia memodel seorang drummer terkenal pada masa itu, hingga sempat menjadi guru drum.

Nah, mengapa saya ambil judul di atas?

Kalimat judul tersebut pernah terbersit dalam benak saya beberapa waktu lalu. Mmmm…beberapa tahun lalu sebenarnya, ketika saya menyelesaikan penelitian saya mengenai para ‘kutu loncat’ di pekerjaan. Beberapa orang dosen yang saya cermati begitu tekun mendalami tema-tema penelitian tertentu rupanya memang memiliki satu jalan yang menunjukkan benang merah jika diamati. Seorang dosen laki-laki, misalnya, bertahun-tahun meneliti mengenai gender dan perempuan. Baru saya tahu setelah sering mengikuti kuliah beliau, bahwa ibunya adalah figure penting bagi dirinya, yang telah menjadikannya sukses hingga mencapai kondisinya saat ini. Lain lagi dengan seorang dosen muda, yang menggeluti pendidikan dan pembelajaran, karena ia yang bagi saya jenius ternyata pernah dianggap anak ‘bermasalah’ oleh gurunya ketika SD. Begitu juga dengan seorang sahabat yang mendalami tentang perkembangan konsep ketuhanan pada anak-anak. Rupanya adalah seorang pencari Tuhan sejak kecil sampai saat ini.

Nah, saya pun penasaran, mengapa saya memilih untuk meneliti tentang ‘kutu loncat’? Sebuah jawaban baru muncul ketika penelitian saya berakhir. Kesimpulan yang saya peroleh, para kutu loncat yang sukses tersebut ternyata memiliki 2 misi hidup: pemenuhan diri dan kebutuhan untuk berbagi. Dua hal yang saya temukan simbolnya ketika saya berkesempatan di-coach oleh Peter Wrycza dalam sebuah training.

Ah, satu lagi. Saya teringat beberapa kisah tentang para pakar psikologi terdahulu. BF Skinner, sang perumus pendekatan behavioristik, yang meneliti psikologi dengan bereskperimen dengan tikus, dan menghasilkan teori yang dianggap mekanistik. Ternyata adalah seorang pribadi yang amat hangat, dan memiliki hobi menulis novel. Sementara Carl Rogers, sang pakar psikologi humanistik, yang selalu menggalakkan penerimaan tanpa syarat kepada setiap klien, adalah justru pribadi yang ‘dingin’ di luaran. Begitu juga dengan Abraham Maslow, yang juga mengkampanyekan aktualisasi diri dan meneliti para manusia sehat, mendapatkan PhD-nya dari aliran behavioristik tadi, dan pernah menulis sebuah buku komplit tentang abnormalitas pada psikologis manusia.

Lalu, apa hubungannya dengan Bandler?

Bandler adalah figur kontroversial. Ia mengajarkan pacing sembari mengajar dan berperilaku dengan cara yang ‘kasar’ dan terkesan ‘keterlaluan’. Betapa tidak saya menganggapnya demikian, jika ada seorang trainer yang melakukan demonstrasi dengan menodongkan sebuah pistol betulan kepada pesertanya. Ia bisa membuat seorang berhenti merokok dalam waktu singkat, sementara ia sendiri adalah perokok berat, peminum berat, sekaligus pecandu kokain. Belum lagi pergaulannya dengan para mafia dan keterlibatannya dalam pembunuhan, meskipun ia akhirnya dinyatakan tidak bersalah.

Virginia Satir, pernah satu kali mengungkapkan mengapa ia bersedia diobservasi oleh Bandler. Ia melihat Bandler sebagai seorang anak yang sangat cerdas, sekaligus merasa kecil di hadapan dirinya sendiri.

Ya, masa lalu Bandler sepertinya tidak seindah dan senormal orang pada umumnya. Ia sempat menjalani tahun-tahun sebagai orang yang ‘kesepian’. Dan, dengan NLP, ia menjadi seorang yang terkenal dan dikelilingi oleh banyak orang yang menganggapnya sebagai guru.

Banyak orang bertanya-tanya: mengapa seorang jenius teknologi pikiran manusia seperti dia, seolah menjadi ‘budak’ bagi nafsunya sendiri? Ya, Bandler terkenal sulit mengendalikan emosinya, yang menyebabkannya bercerai dari istrinya, Leslie Cameron, juga seorang pakar NLP.

Sebuah jawaban pun mampir di hadapan saya: manusia mencari apa yang belum ia miliki. Itu yang menurut saya terjadi pada diri saya, dosen-dosen saya, para pakar psikologi yang saya ceritakan, dan juga Richard Bandler.

Bagaimana dengan Anda? Apa yang Anda cari sehingga pandangan Anda mampir pada tulisan ini?

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply