• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • No Comments

Khawatir. Demikian kata yang akrab dengar beriringan dengan merebaknya berita tentang krisis ekonomi global yang muncul beberapa waktu belakangan.Betapa tidak? Beberapa rekan sudah merasakan sendiri pemangkasan yang dilakukan oleh perusahaannya. Rekan yang lain bahkan sudah diberi paket hemat untuk dapat bekerja secara mandiri atau mencari perusahaan lain yang mampu mempekerjakan mereka.

Semua karena apa?

Krisis. Krisis. Krisis. Begitu kata orang. Harga naik karena krisis. Kredit macet meningkat karena krisis. Penjualan menurun karena krisis. Budget dipotong karena krisis. Saham anjlok karena krisis. Krisis. Krisis. Krisis.

Saya pikir-pikir, malang betul ya nasib makhluk yang bernama krisis ini. Tapi omong-omong, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan krisis itu?

Secara harfiah, krisis dapat diartikan sebagai sebuah titik balik, situasi yang tidak stabil, perubahan yang tiba-tiba, perubahan yang menekan, dsb. Menariknya, meskipun kata krisis merupakan kata benda, ia memiliki makna yang sama sekali bukan benda. Coba cermati beberapa definisi yang saya sebutkan tadi, bukankah Anda sepakat kalau kesemuanya menunjukkan adanya proses?

Nah, model kata benda seperti ini di dalam ilmu bahasa seringkali disebut dengan nominalisasi atau terjemahan bebasnya adalah pembendaan. Dengan kata lain, ia adalah sebuah proses yang panjang, yang untuk memudahkan proses komunikasi kemudian diberi label agar mudah untuk disebut. Contoh lain adalah kata pekerjaan, yang merupakan pembendaan dari proses bekerja.

Loh, kok jadi membahas bahasa?

Begini ceritanya. Karena dianggap sebagai benda, maka krisis dianggap sebagai sesuatu makhluk asing yang tidak menyenangkan yang datang secara tiba-tiba tanpa diundang. Pertanyaannya, benarkah krisis adalah makhluk yang demikian?

Sekilas, bisa jadi tampaknya demikian. La wong tadinya aman tentram, kok tiba-tiba harga naik, saham turun, investasi amblas, dst. Tapi, apa iya itu yang sebenarnya terjadi?

Jika Anda pernah mengamati bagaimana krisis ekonomi global terjadi, maka Anda tentu sepakat dengan saya bahwa krisis ini hanyalah sebuah titik puncak dari serangkaian perjalanan sistem ekonomi kapitalis yang memang telah dianut oleh sebagian besar negara di dunia. Ia mirip dengan kanker, yang juga tidak datang secara mendadak, melainkan berproses sedikit demi sedikit hingga pada suatu ketika merenggut kesehatan penderitanya secara drastis.

Terus, apa gunanya kita memahami hal ini?

Sangat berguna. Sebab kata-kata yang dibendakan, akan menimbulkan efek stagnan dalam pikiran dan perasaan kita. Maka krisis seolah-olah akan menjadi sesuatu yang berat dan sulit diubah. Sisi lain, karena dianggap benda, maka kita pun berharap ia bisa pergi begitu saja, dibuang layaknya benda yang sudah usang. Atau, ya, setidak-tidaknya ada seorang super hero penyelamat yang akan membantu kita membuangnya. Nah, yang terakhir ini cukup banyak kita temukan di berbagai media, salah satunya terkait dengan terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika. ”Obama terpilih, saham malah anjlok”, ”Obama terpilih, penjualan senjata meningkat”, ”Obama terpilih, harapan bagi pulihnya ekonomi dunia.”

Saya tidak tahu dengan Anda, hanya bagi saya, memandang krisis dengan cara seperti ini hanya akan memperlambat proses pemulihannya. Jika krisis datang secara bertahap, pelan tapi pasti, menggerogoti sedikit demi sedikit, maka ia pun akan pulih jika kita membenahi sumber masalahnya dengan cara pandang yang sama. Kita tentu tahu bahwa penyakit kanker seringkali justru bertambah parah justru karena ia langsung dibuang melalui operasi, bukan?

Lalu, apa donk yang bisa kita lakukan?

Menggunakan analogi kanker tadi, pengobatan dan pencegahan kanker yang efektif harus dimulai dari perubahan mendasar gaya hidup dan pola pikir. Maka dalam konteks krisis ini, kita bisa memulai dari perubahan mendasar cara kita memaknai krisis. Setidaknya ada 2 pertanyaan ampuh yang bisa kita tanyakan untuk mengubah persepsi kita tentang krisis. Tanyakan pada diri Anda:

Apa yang menghalangi saya untuk bisa mengatasi keadaan ini dan sukses di masa mendatang?

Jawaban dari pertanyaan itu akan membukakan kita akan berbagai penghalang yang secara tidak sadar kita pegang terus-menerus. Nah, kalau sudah dibuka, ia bisa dibongkar dengan pertanyaan:

Sejak kapan saya memutuskan untuk memiliki penghalang tersebut?

Loh, kok memutuskan?

Ya, sebab setiap hal yang kita miliki sebenarnya adalah hasil keputusan kita sendiri. Kita sakit, karena pernah ada masanya kita memutuskan—tanpa disadari—untuk memakan makanan yang tidak sehat dan malas berolahraga. Kita bangkrut, sebab pernah suatu ketika kita merasa puas dengan pencapaian kita, dan memutuskan untuk tidak mengantisipasi resiko di masa depan.

Jika sudah tahu jawabannya, maka…

Ups! UUD 45 saja bisa diamandemen. PKS saja bisa kadaluarsa. SK saja bisa dicabut. Mengapa tidak kita cabut keputusan itu, dan menggantinya dengan keputusan yang lebih memberdayakan?

Ya, kecuali, Anda tetap ingin terus-menerus menjadi korban sih.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply