Saya sungguh bersyukur. Sudah tidak terhitung berapa kali saya bisa menjadi sobat belajar di berbagai pelatihan sejak pertama kali mendirikan milis Indonesia NLP Society. Bersyukur bukan hanya karena beberapa di antaranya menghadirkan kompensasi finansial yang amat layak, namun juga ada hal lain yang jauh lebih penting.
Saya teringat dengan sebuah pepatah yang mengatakan, “Saat sang murid siap, sang guru akan datang.” Sebuah pepatah yang pertama kali saya dengar bertahun-tahun yang lalu, namun baru bisa saya pahami beberapa waktu belakangan, terutama setelah saya menyelami dunia NLP.
Ya, saya sempat merumuskan sebuah tujuan untuk mempelajari NLP sedalam dan seluas yang saya bisa. Pada awalnya, sempat timbul keraguan apakah saya akan mampu mengumpulkan dana yang cukup untuk bisa belajar secara langsung dengan mengikuti pelatihan. Namun segera saja keraguan itu sirna, ketika perlahan-lahan, langkah demi langkah, potongan-potongan jalan menuju tujuan tersebut terkumpul satu demi satu.
Bagaimana bisa?
Tentu bisa!
Caranya?
Sebanyak mungkin mengajari orang yang belum tahu.
Kok?
Ya karena “Saat sang murid siap, sang guru akan datang.”
Apa hubungannya?
Begini. Saya memahami pepatah itu dari beberapa sisi. Satu sisi, saya sempat takjub ketika awal-awal memberanikan diri untuk membuka kelas NLP publik. Betapa tidak, untuk ukuran seseorang yang masih bau kencur baik dari sisi usia, pengalaman, maupun ilmu NLP itu sendiri, rupanya tetap ada rekan-rekan yang bersedia hadir untuk ikut di dalam kelas publik yang saya adakan. Belum lagi ketika entah dari mana datangnya, beberapa perusahaan pun mengkontak dan meminta saya untuk berbagi ilmu NLP yang dapat diterapkan di perusahaan. Keraguan sempat muncul, apakah saya cukup layak untuk mengajari mereka? Apalagi, hampir dari separuh peserta adalah orang-orang yang jauh lebih senior daripada saya. Namun rupanya keraguan saya tidak beralasan. Setidaknya sampai saat ini, saya belum pernah menemukan kelas saya diisi oleh orang-orang yang malas belajar. Mereka yang saya asumsikan senior itu rupanya mau dengan rendah hati membuka hati dan pikiran untuk hal-hal baru yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya.
Sebuah kesimpulan pun saya dapatkan, “Jika Tuhan mentakdirkan ada peserta yang hadir dalam kelas saya, siapapun dia, berarti saya memang memiliki sesuatu yang akan bermanfaat bagi mereka.” Nah, kalau sudah begini, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak segera membagikan ilmu yang saya miliki, sebab pasti ada orang-orang yang akan menarik manfaatnya.
Sisi lain, mengajar orang lain rupanya merupakan pengalaman yang amat berharga, sebab setiap kelas selalu menghadirkan pembelajaran baru bagi saya. Ya, saya juga sudah tidak bisa menghitung berapa banyak ide dan pemahaman baru yang saya peroleh begitu ajaib saat mengajar atau mendemonstrasikan NLP kepada para peserta. Tidak mengherankan, sebab dalam posisi sebagai fasilitator atau trainer, saya tentu berada dalam kondisi disasosasi alias meta-position, yang memungkinkan saya untuk bisa melihat, mendengar, dan merasakan dengan lebih obyektif pemahaman dan praktik yang saya lakukan selama ini. Sebuah pengalaman yang berbeda dengan berlatih dan mempraktikkan NLP, yang merupakan proses asosiasi terhadap materi yang sedang kita pelajari.
Kesimpulan berikutnya pun saya dapatkan, “Ternyata, saya belajar banyak ketika mengajar, sebanyak ketika saya menjadi murid dan mempraktikkan pelajaran saya.” Nah, semakin tidak ada alasan deh untuk tidak sebanyak mungkin berbagi ilmu kepada siapa saja yang mau saya bagi.
Di titik inilah, saya pun jadi memahami, mengapa Tuhan seolah membukakan jalan bagi saya untuk begitu mudahnya mendapatkan kesempatan untuk memperdalam NLP, melalui sumber dan jalan yang tidak saya duga-duga. Ya, ada ilmu-ilmu yang hanya bisa saya pahami ketika saya telah memahami ilmu yang menjadi syaratnya. Dan, ilmu-ilmu syarat tersebut, seringkali ‘disembunyikan’, dan hanya kita bisa temukan setelah kita membuka kuncinya. Ada kunci yang letaknya di membaca buku, ada yang di berguru secara langsung, ada yang melalui praktik, dan ada yang melalui mengajar orang lain.
Nah, di sini lah, di anak tangga ketika saya sudah membuka kunci melalui berbagi dengan orang lain, saya pun ‘siap’ untuk menerima pembelajaran selanjutnya. Dan di sini pulalah, jalan untuk belajar dari guru yang saya inginkan, terbuka.
Maka saya tidak lagi khawatir apakah saya akan bisa belajar dari guru-guru NLP di seluruh penjuru dunia, seperti yang pernah saya rumuskan dalam tujuan saya. Cukup saya lakukan yang terbaik untuk belajar dan mengajar orang tentang NLP. Dan ketika saya siap, pasti jalan itu akan terbuka untuk saya. Dengan mudah, dan menyenangkan.
Hmm…bisa jadi Anda memiliki cara dan jalan yang berbeda. Mengapa tidak kita saling berbagi kisah perjalanan kita?
saya sbg pmula dlm per-NLP-an mnganggap kalo ilmiah dlm map saya adlh ilmu itu sndiri yg bs dipraktekan scra lngsung dn faidah yg didpt sgt byk..Byk yg dianggap ilmiah oleh map org byk namun keilmiahan hnya terdominasi oleh teori belaka