“Bagaimana sih, ceritanya pacing-leading bisa menjadi jalan untuk membangun keakraban?”
Demikian pertanyaan yang seringkali saya dengar pada beberapa kelas yang di dalamnya saya selipkan materi tentang cara membangun rapport ala NLP. Sebagaimana hobi saya memang amat gemar membagi pengetahuan apapun yang saya miliki sekalipun baru secuil, maka saya pun teringat pengalaman saya di kelas NLP for Teacher beberapa waktu lalu.
Bukan sulap bukan sihir, sebuah demonstrasi sederhana menggunakan prinsip pacing–leading rupanya bekerja dengan amat baik untuk membantu salah seorang peserta mempelajari bahasa baru yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.
Kok bisa? Bagaimana caranya?
Mudah saja. Kebetulan saat itu ada seorang kawan yang mampir di kelas, yang membawa kawannya lagi yang rupanya adalah orang Bali. Maka saya pun meminta kawannya kawan saya itu untuk maju ke depan. Sementara itu, salah seorang peserta juga maju ke depan untuk menjadi subyek demonstrasi. Saya pun meminta kawannya kawan saya tadi untuk menggubah sebuah kalimat dalam bahasa Bali yang semuanya murni menggunakan kosa kata Bali. “Jangan sampai ada kata-kata yang umum di dalam bahasa Indonesia, gunakan hanya bahasa Bali,” tekan saya.
Maka ia pun menggubah sebuah kalimat dengan bahasa yang bagi saya betul-betul bahasa planet. “Sudah? OK, sekarang ucapkan kembali kalimat tersebut dengan penuh penghayatan, sehingga seluruh bahasa tubuh Anda begitu selaras dengan isi kalimat tersebut,” lanjut instruksi saya.
Dan ia pun mengulangi kembali kalimat tersebut dengan penghayatan yang disertai dengan gerakan tubuh yang sesuai. Setelah itu, saya pun meminta salah seorang peserta untuk menirukan persis kalimat tersebut berikut bahasa tubuh yang mendukungnya. “Tirukan saja, sepersis mungkin, setiap detilnya,” jelas saya.
Setelah beberapa kali ia mengulang, saya pun bertanya pada peserta tersebut, “Nah, jika Anda sudah merasa cukup persis melakukannya, sekarang, apa menurut Anda makna dari kalimat tersebut?”
“Mmm…persisnya kurang tahu ya. Tapi, rasanya kok seperti, ‘Saya tuh senang banget kalau pergi ke pantai’,” jawabnya.
Ups, lagi-lagi saya tekankan, ini bukan sulap, apalagi sihir. Karena ini Cuma pacing-leading kok.
Loh, kok bisa gitu? Pacing-leading itu kan katanya ilmu meniru-niru, agar orang “merasa” sama untuk kemudian bisa kita arahkan?
Nah, itu dia. Saya juga baru tahu setelah menguplek-uplek pelajaran dari para suhu NLP. Dalam salah satu bukunya, Robert Dilts bahkan pernah menceritakan tentang penelusuran terhadap metode seseorang yang menguasai 40 lebih bahasa dunia, dan tidak pernah tertukar antara satu bahasa dengan bahasa yang lain!
Wuih!!! Mantab!!! Bagaimana caranya ya?
Usut punya usut, rupa-rupanya tidak jauh-jauh dari konsep dasar NLP tentang state alias kondisi pikiran-perasaan. Silakan membuka kembali pelajaran dasar NLP, terutama yang ada gambarnya “Human Model of the World” atau kadang-kadang diberi judul “NLP Communication Model”. Apa yang ada disana?????
Yak, pinter… Jika gambar Anda sama dengan gambar saya, maka yang ada di sebelah kiri adalah sebuah visualisasi bahwa yang namanya state dipengaruhi oleh representasi internal dan fisiologi (gerakan tubuh). Dan, state itu pulalah yang akan menjadi penentu munculnya perilaku tertentu. Lagi state sedih, maka perilaku pun akan melouw-melouw.Lagi state gembira habis terima bonus, maka perilaku pun tebar senyum penuh pesona. Ketika state sedang PD abiez, bicara pun lancar layaknya air mengalir. Saat state sedang grogi, maka menelurkan satu kata saja lidah kelu bukan kepalang.
Demikianlah, Om Dilts pun mengemukakan bahwa setiap bahasa pun memiliki state-nya masing-masing. Bukankah Anda merasakan emosi yang berbeda ketika bicara dengan orang berbahasa Jawa Solo? Bandingkan dengan bahasa Batak? Bagaimana dengan bahasa Minang?
Ya, mempelajari bahasa sejatinya adalah mempelajari kondisi pikiran-perasaan yang membangun bahasa tersebut. Masuk ke dalamnya, dan Anda akan mudah untuk memahami ruh darinya. Maka tidak heran jika mereka yang pernah tinggal di negara tertentu selama beberapa bulan saja pastilah bisa menguasai bahasa negara tersebut dengan mudah. Bandingkan dengan seseorang yang les bahasa Inggris bertahun-tahun, lulus dan mendapatkan sertifikat dari lembaga bergengsi, namun masih terbata-bata ketika ditanyai oleh bule di Jalan Jaksa.
Eh, kok jadi ngomongi bahasa ya? Lah, memangnya tadi saya mau bicara apa ya?
Ah, saya ingat! Ya, pacing-leading. Kok bisa ya ia punya manfaat yang luas begitu? Bagaimana sih cara kerjanya?
Sederhana kok. Cukup kunjungi kembali presuposisi NLP yang mengatakan bahwa tubuh dan pikiran adalah satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Maka ketika kita mengikuti gerakan seseorang dengan penuh penghayatan, seketika kita pun diajak untuk merasakan kondisi pikiran-perasaan yang sedang ia alami. Tidak mengherankan, jika kemudian pacing-leading merupakan prinsip dasar membangun keakraban. Bagaimana ndak akrab? La wong kita bisa merasakan getaran yang sama dengan rekan bicara kita. Bagaimana ndak merasakan getaran yang sama? La wong kita betul-betul menghayati gerakan tubuh dan pola bahasa yang ia gunakan. Begitu kita berada pada state yang sama, kita pun bisa memiliki ‘gambar’ dan ‘suara’ yang selaras. Dengan sendirinya, kita pun bisa memahami map yang ia gunakan. Dan omong-omong, siapa coba yang tidak senang jika ia dipahami?
Demikianlah, pacing-leading yang diajarkan NLP bukanlah sebuah pepesan kosong berasa. Ia justru merupakan pesesan isi jika diterapkan secara benar dengan pengetahuan dan keterampilan yang benar. Nah, omong-omong lagi soal benar ini tadi, inilah yang membedakan praktisi NLP pemula dengan berpengalaman. Mereka yang berpengalaman sudah mengetahui ‘rahasia kecil’ ini, the difference that makes a difference.
Ssst…diam-diam ya. Biar kita saja yang tahu…