• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

Jogja selalu memiliki makna special bagi saya. Tidak saja karena kotanya yang eksotik dan magis, melainkan juga sejuta pengalaman unik yang pernah saya alami seakan berloncatan dengan submodality yang meriah setiap kali saya menyusuri jalan-jalannya. Ya, cukup 3 tahun 8 bulan saja saya bermukim di sana, entah sudah berapa banyak kejadian yang membentuk pribadi saya yang sekarang. Apalagi, saya juga ketemu jodoh di sana. Maka setiap sudut seakan meng-elicit state nostalgia yang berujung pada campuran antara kenangan manis, pahit, asin, asam, dst.

Begitu pula lah yang terjadi dengan saya antara tanggal 13-16 Maret lalu. Kebetulan tiket pesawat sedang murah, pas pula rekan-rekan pegiat NLP di sana bersemangat menggelar kelas The Art of Self Mastery, saya pun terbang bersama keluarga kesana. Tidak ada rencana spesifik untuk jalan ke tempat-tempat wisata, sebab memang bukan tempat wisata itu yang kami tuju. Sebabnya, tempat wisata tidak memiliki kenangan khusus bagi kami, yang ketika kuliah dulu memang jarang mengunjunginya. Maka tempat wisata bagi kami adalah menyusuri jalan-jalan kota, menikmati warung-warung makan mahasiswa, mengunjungi beberapa sobat, menonton aktivitas sore hari di boulevard kampus, sampai mencium aroma buku-buku yang menyengat di perpustakaan. Ya, tempat-tempat itulah yang justru membangkitkan submodality meriah dalam benak kami sekeluarga. Setiap titik seolah menjadi anchor yang membuat saya trance dan mengalami age regression.

Jogja memang istimewa bagi saya. Betapa tidak, ritme kehidupan di sana jauuuuuh lebih nyaman daripada ibukota. Ya, ritme. Itu perbedaan utamanya. Para peserta kelas bahkan masih mengerutkan dahi ketika saya bercerita bahwa saya berangkat kerja jam 05.30 pagi tepat jika tidak mau terlambat masuk kantor. Telat berangkat 5 menit, bisa berarti telat sampai 30 menit. Sementara di Jogja, hmmm, Malioboro yang jadi ikon belanja setiap turis itu saja baru menampakkan nyawa yang terkumpul sekitar jam 09.00, dan sudah mulai menutup warungnya jam 17.30.

Waktu seolah berjalan laaaaaambaaaat di Jogja. Maka saya pun jadi punya kesempatan untuk berlatih time distortion. Tidak perlu terburu-buru, nikmati waktu Anda, sebab setiap orang juga sedang menikmati waktu mereka. Di sinilah saya mendapatkan sebuah pembelajaran baru soal rezeki.

Loh, kok rezeki?

Ya, rezeki. Hidup di kota besar seperti Jakarta, seolah ada sebuah hukum alam yang mengatakan bahwa rezeki itu harus dikejar, harus diperjuangkan, harus dipastikan berada di tangan kita. Padahal Tuhan sudah berjanji bahwa setiap anak manusia adalah ciptaan-Nya, dan Dia lah yang akan mencukupi rezekinya. Maka yang harus dilakukan oleh manusia adalah mempersiapkan diri untuk menerima rezeki tersebut.

Caranya?

Ya dengan menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya?

Maksudnya?

Begitu banyak saya mengamati orang tua di Jogja yang bisa mengantar anaknya ke sekolah tanpa bantuan supir. Mereka bisa pulang ke rumah atau menghampiri sang anak untuk makan siang bersama. Tidak ada kemacetan, semuanya bisa dijalani dengan nyaman dan tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan yang lain. Seolah mereka sedang mengatakan, kewajiban bukan hanya ada di pekerjaan, ia ada di kehidupan rumah tangga, hubungan dengan tetangga, hubungan dengan teman dan sahabat, dll. Fokus dan menghabiskan sebagian besar waktu hanya di pekerjaan berarti menyepelekan kewajiban di sendi yang lain. Dan, bagaimana rasanya jika salah satu persendian kita begitu kuat, sementara yang lain lemah dan linu-linu?

Kalau begitu caranya, bagaimana bangsa kita bisa maju?

Memangnya apa yang dimaksud dengan kemajuan itu? Dalam hal apa? Jangan-jangan, yang kita maksud dengan kemajuan ala kehidupan Barat itu, sebenarnya merupakan kemunduran di bidang-bidang lain? Kita dituntut bekerja keras hingga larut malam untuk memuaskan pelanggan, untuk memastikan hati pelanggan merasa tentram, sementara ‘pelanggan’ kita di rumah begitu gelisah. Kita dituntut untuk bekerja keras agar pemilik perusahaan merasa puas, sementara Sang Maha Pemberi Pekerjaan amat jarang dipuaskan.

Hmm…saya tiba-tiba teringat, bukankah ini yang dimaksud NLP dengan ekologi? Ketika kita berusaha memahami bahwa apa yang kita berikan pada satu hal akan berdampak pada hal lain. Maka urusan rezeki bukanlah sebuah urusan yang rumit. Cukuplah memberikan yang sesuai, maka ia akan datang. Tugas kita bukan mengejarnya, melainkan menerimanya sesuai dengan kebutuhan kita. Dan jangan dikira rezeki hanyalah sesuatu yang terlihat, sebab yang terlihat belum tentu kita butuhkan. Senyuman, hikmah, persahabatan, ketenangan, kenyamanan, juga adalah rezeki, yang begitu kita butuhkan, namun amat jarang bisa kita dapatkan ketika waktut terasa begitu cepat.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply