• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • No Comments

Sebuah pengalaman yang teramat menyenangkan, ketika pada 10-12 April lalu saya berkesempatan memenuhi sebuah undangan untuk sharing di Makasar. Tidak saja karena ini adalah kunjungan pertama saya ke wilayah Sultan “Ayam Jantan dari Timur” Hasanuddin itu, melainkan karena saya diundang oleh 4 Sekawan yang istimewa.

4 Sekawan? Yang tokoh dalam novel itu?

Oh, bukan. Yang ini bukan tokoh dalam novel, melainkan tokoh pendidikan modern yang nyata adanya di dunia ini. Salah satunya saya kenal secara virtual di milis Indonesia NLP Society, dan mengundang saya bahkan ketika kita baru pertama kali bertemu di bandara di tanggal 10 April itu. Beliaulah Pak Iqbal Basri. Sementara 3 orang lainnya adalah Pak Miswar, Pak Arham, dan Pak Riswal. Keempatnya adalah pendiri JILC, salah sebuah lembaga bimbingan belajar besar di Makasar dan wilayah Indonesia Timur.

Ah, beberapa di antara Anda barangkali berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah senior, bukan?

Hmm…saya juga demikian. Sampai ketika saya bertemu mereka, dan, jauh dari bayangan saya. Keempatnya adalah orang-orang yang masih relatif muda, karena membangun JILC semenjak kuliah.

Demikianlah, awal pertemuan saya dengan Makasar rupanya menghadirkan kesan yang mendalam. Apalagi ketika bertemu para mentor di JILC yang masih segar-segar. Ya, mereka memang masih mahasiswa, dan punya semangat belajar yang luar biasa.

Mengapa Para Mentor Perlu Belajar Hipnosis?

Sederhana saja. Hipnosis adalah sebuah pola komunikasi yang efektif dan ekselen. Dan, dengan kemunculan ‘Bapak Hipnosis Modern’ Milton Erickson, juga modeling yang dilakukan oleh para pendiri NLP, maka jadilah hipnosis kini memiliki aplikasi yang luar seiring dengan kebutuhan banyak orang akan pelajaran komunikasi efektif yang terstruktur.

Ya, hipnosis itu sederhana kok. Menggunakan bahasa teknis, ia hanyalah apapun yang mampu put someone into trance. Atau mudahnya, hipnosis adalah apapun cara berkomunikasi yang efektif alias mencapai sasaran.

Ah, masak cuma seperti itu. La saya belajar hipnosis itu sampai pusing je. Belajar pola-pola kalimat, teknik-teknik induksi, dsb. Masak cuma seperti itu yang namanya hipnosis.

Eh, iya kok. Suwer deh, nggak bo’ong. Bahkan, jikalau Milton Erickson, orang paling kreatif dalam hipnosis di abad 20 itu masih hidup, barangkali teknik yang disebut orang sebagai Ericksonian Hypnosis itu akan tak terhitung jumlahnya. Sebab Erickson sejatinya menciptakan teknik baru yang orisinil di setiap pertemuannya dengan klien.

Maka inti dari 2 hari sharing saya dengan para mentor JILC ya memang hanya itu tadi, komunikasi yang efektif, yang kebetulan saat ini yang paling efektif adalah hipnosis. Sekiranya di masa datang ada yang lebih efektif, tentu saya akan mengejarnya.

Nah, para mentor ini kan menghadapi ratusan murid yang sebenarnya sudah lelah belajar di sekolah. Apalagi, pelajaran yang dipelajari pun adalah sama, kebanyakan hanya merupakan pengayaan cara. Maka tidak lain yang dibutuhkan oleh mereka adalah berbagai cara yang dapat membantu murid untuk belajar hal yang sama, namun mendapatkan hasil yang berbeda.

Wah, bukankah ini NLP banget? NLP kan memang tidak menyuguhkan content baru, melainkan mengajak kita menggunakan struktur baru untuk content yang barangkali sama. Maka pekerjaan saya sebagai trainer dengan menggunakan NLP sebenarnya sama dengan pekerjaan para mentor di JILC. Klop banget deh.

Lalu, Apa Yang Dipelajari Oleh Para Mentor?

DI hari pertama, saya sharing materi favorit saya, yaitu dinamika komunikasi neuro-linguistik.

Wah, apaan tuh?

Gampang kok. Intinya adalah memberikan penjelasan sekaligus simulasi langsung mengenai pengaruh bahasa yang kita gunakan terhadap pikiran-perasaan yang tak lain dan tak bukan adalah respon neurologis saja. Silakan menelusuri artikel INI dan INI untuk lebih detilnya. Secara, para mentor adalah orang yang banyak berkata-kata, maka mereka harus paham betul bahwa setiap kata yang keluar akan mempengaruhi pikiran-perasaan murid.

Wuih, serem juga ya? Setiap kata?

Ya, setiap kata. Maka pekerjaan seorang guru seperti mentor dan trainer memang betul-betul adalah pekerjaan mulia, karena seorang murid sudah datang dengan sukarela untuk diinstal dengan berbagai pembelajaran.

Dari situ, materi pun berlanjut ke pembahasan soal rapport, utamanya membangun rapport di dalam kelas. Urusan rapport ini teramat krusial, sebab waktu yang diberikan kepada setiap mentor untuk tiap pelajaran cukup singkat. Maka saya pun tidak sharing soal teknik, melainkan lebih kepada inti dari sebuah rapport yang efektif. Yaitu, menggunakan posisi seorang siswa untuk menciptakan koneksi yang lancar. Maka presuposisi ‘makna dari komunikasi terletak pada respon yang didapat’ menjadi amat penting untuk diingat.

Masuk ke hari kedua, para mentor hampir seharian penuh belajar soal linguistik, utamanya hypnotic language pattern. Nah, saya suka banget nih. Sebab alih-alih mereka yang belajar dari saya, saya justru belajar dari kreativitas mereka dalam membuat contoh-contoh kalimat dalam kehidupan sehari-hari. Canda tawa pun merebak setiap kali ada contoh yang menyentil telinga. Kami pun sepakat bahwa tantangan yang akan sama-sama kami jawab adalah mengaplikasikan hypnotic language dalam konteks bahasa Makasar, karena itulah bahasa yang banyak mereka gunakan di kelas. Untuk detilnya, silakan mampir ke artikel INI, INI, dan INI.

Selama proses belajar, kami pun berdiskusi bagaimana setiap pola kalimat dapat diterapkan dalam pelajaran-pelajaran teknis seperti matematika, fisika, dan kawan-kawannya.

Demikianlah, saya pun pulang dengan hati senang. Apalagi ketika dibawakan oleh-oleh yang sampai sekarang belum habis. Hehehe…

Terima kasih pada JILC, terutama pada 4 Sekawan yang luar biasa. Indonesia memerlukan orang-orang seperti beliau, yang tidak hanya puas dengan apa yang sudah tersedia, melainkan terus mencari apa yang belum dilakukan oleh orang lain.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply