• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • 5 Comments

Fiuh, jari-jari saya tergerak juga untuk menuliskan hal ini. Sudah lama ingin, hanya merasa kisahnya masing panjang. Belum saatnya. Tapi, sebab banyak orang yang bercerita tentang impiannya belajar NLP, dan belum kunjung melangkah jua, bulatlah tekad saya untuk berbagi perjalanan pendek saya.

Well, NLP bukanlah apa-apa bagi saya. Ia hanyalah pencarian kecil, yang semakin dicari, semakin saya menemukan apa yang tidak saya cari. Itulah ilmu Allah. Bahkan ketika kita mencarinya, kita justru menemukan lebih banyak lagi yang tidak terpikirkan untuk kita cari.

Training NLP mahal banget!

Hihihi…saya agak geli mendengar hal ini, meskipun untuk kesekian kalinya. Apalagi jika diucapkan oleh orang yang pernah mencicipi materi NLP yang bernama Meta Model.

Maksudnya?

Mudah saja. Kalimat di atas adalah bentuk Lost Performative, sebuah opini yang dihilangkan pengucapnya, sehingga seolah-olah ia menjadi opini semua orang. Itulah sebabnya ia dimasukkan ke dalam pelanggaran Meta Model jenis Generalization. Dan sudah fitrahnya generalisasi, ia menciptakan pembatas pada model dunia kita. Ditambah lagi ada kata ‘banget’, yang menjadikan kalimat tersebut bercita rasa Comparative Deletion, alias sebuah perbandingan yang pembandingnya sendiri dihilangkan sehingga efek hipnotiknya luar biasa dahsyat. Maka saya pun tidak heran jika hanya dengan bermodalkan 1 kalimat di atas saja, seorang calon pembelajar NLP hampir pasti sudah keok dan sulit untuk maju. Belum lagi jika kita tilik kata “Training NLP” yang merupakan bentuk Unspecified Noun, alias tidak menjelaskan secara spesifik training NLP yang mana. Wuih, mentok dah.

Terus, harus bagaimana donk?

Ya tinggal di-challenge saja to? Training NLP yang mana? Siapa yang bilang begitu? Mahal banget menurut siapa?

Ah, Anda tentu sudah banyak tahu tentang hal ini, kan? Hehehe…cuma, belum dipraktikkan saja, kan?

Begitu pulalah yang saya alami ketika saya pertama kali belajar NLP. Ilmu ini begitu menggairahkan saya, sehingga saya mengoleksi banyak pengetahuan dan lupa untuk mempraktikkan. Padahal, para penemu NLP jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa NLP adalah sesuatu yang amat pragmatis. Kalau sesuatu tidak bekerja, lakukan yang lain. Maka tidak ada jalan lain untuk mengagumi NLP, selain mempraktikkan apa yang ada di dalamnya.

Eh, maksudmu yang ada di dalamnya itu yang mana?

Nah, pinter. Ya itu tuh salah satunya. Pertanyaan yang barusan itu sudah merupakan praktik Meta Model.

Sempat saya mengalami beberapa orang kawan yang mengeluh sulitnya mencari literatur NLP. Mau cari yang berbahasa Indonesia, masih jarang. Mau beli dari luar negeri, mahal bener. Yah, saya masih maklum lah. Sampai, akhirnya saya mendapatkan begitu banyak literatur secara ‘ilegal’ dan teman-teman pun berduyun-duyun menancapkan flashdisk-nya di laptop saya. Iseng-iseng saya tanya 1 bulan kemudian, rupanya keluhan yang lama sudah hilang. Ia berganti menjadi, “Wah, banyak banget ebook-nya, bingung mau baca yang mana dulu.”

Maka saya pun berkesimpulan sementara, bahwa yang namanya belajar itu sangat tergantung pada yang namanya kesiapan.

Maksudnya?

Percaya atau tidak, saya juga percaya kalau belajar NLP saat ini memang masih mahal. Untungnya, saya tidak menghentikan keyakinan itu sampai di situ. Saya pun menyambungnya dengan, “Training NLP mahal banget. Siapa ya yang mau bayarin?”

Hehehe…khas anak kos banget. But, it works. Begini ceritanya.

Pertama kali saya belajar NLP adalah dari Maestro NLP Indonesia, Pak Kiai Ronny, yang merupakan juragan PT. Sinergy Lintas Batas itu. Bayarnya 50 ribu. Harga yang kebetulan saat itu sedang belum cocok dengan isi dompet saya. Maka saya pun tersenyum melihat iklan yang terpampang di kampus, dan membayangkan diri saya ikut berada di kelas. Tidak tahu bagaimana, saat saya sedang membaca kembali buku NLP: New Technology for Achievement yang terjemahannya amburadul itu, seorang adik kelas mengiriman SMS, “Mas, mbok kita ditolongi. Besok pakai mobilku jemput Pak Ronny di bandara.” Ya saya langsung OK-kan. Yang karena saya sudah dianggap berbaik hati, maka saya pun bisa masuk ruang seminar dan belajar gratis seharian, plus mengobrol dengan Sang Maestro. Hehehe…

Selepas lulus dan bekerja, penghasilan rupanya belum cukup juga untuk ikut training. Tapi, emang ada hubungannya? Karena saya juga tidak menemukan hubungannya, maka saya lanjut saja terus belajar dari sumber-sumber yang saya temukan. Melahap bukunya Pak Wiwoho berulang-ulang, menikmati bukunya Om Anthony Robbins, juga artikel-artikelnya Robert Dilts. Nah, dari buku datanglah buku. Ketemu lagi saya dengan Sang Maestro, dan saya pun diperbolehkan meminjam buanyak buku beliau. Hehehe…

Habis menyelami buku dan artikel, jadi makin penasaran dengan pelatihan langsung. Karena penghasilan juga masih pas-pasan, maka saya pun mencari cara lain untuk bisa belajar. Caranya? Ya mengajar. Loh, mengajar apa? NLP. Wah, kok berani-beraninya? Ya, pemikiran saya sederhana. Ilmu yang sedikit ini saja sudah bermanfaat bagi saya. Mengapa tidak saya bagikan juga kepada mereka yang barangkali belum pernah dengar tentang NLP. Maka saya pun membuka account blog gratisan di WordPress, plus YahooGroups dan mendirikan Indonesia NLP Society (INLPS).

Hasilnya? Entah dari mana rekan-rekan berdatangan. Milis pun ramai dengan beragam diskusi, dari yang nge-NLP sampai yang jauh dari nge-NLP. Saya adakan NLP Talks, membagikan apa yang saya tahu.

Lalu?

Ya begitulah. Ada saja jalan yang menyebabkan rekening saya bertambah, sehingga bisa ikut 3 kelas luar biasanya Pak Wiwoho.

Dari sana, saya jadi makin penasaran. Pengen ikut sertifikasi. Ya diniatkan saja, sambil cari jalan. Materi diulang-ulang, dicoba-coba, dieksperimen, dibagikan.

Eh, kok ya Kang Mas Abdul Aziez itu ngiklan training sertifikasi bareng Tante Rheena Jabran kok ya bukan di milis INLPS. Kan aneh. Ya saya ajak saya beliau untuk ngiklan. Eh, kok ya saya dikasih sebuah penawaran yang amat menarik untuk bisa ikut, padahal pundi-pundi saya belum cukup. Jadilah, saya ikut. Hehehe…

Waktu berlalu, sementara saya masih terus mencari peluang untuk bisa praktik NLP. Mulai dari istri, teman, orang kantor, siapa aja dah. Kebetulan pas dimarahi bos, malah seneng, karena bisa latihan Submodality Mapping Across. Terus nulis, sesekali dipuji, sesekali dicaci.

Beberapa waktu menelusuri, saya pun mulai berani bermimpi untuk bisa menjadi Certified Trainer NLP. Lirik sana sini, pilihan impian pertama pun jatuh pada Mbah Richard Bandler. Alasannya? Saya pengen NLP yang gampang dulu, baru nanti yang rumit-rumit. Hehehe…

La tapi musti ngulang lagi, karena beliau nantinya hanya menerima lulusan dari The Society of NLP-nya beliau. Ya sudah, ngulang deh. Sama siapa? Sama Pak Hing. Ya, bukan sebuah kebetulan beliau ini baru pulang dari Orlando dan akan mengadakan training Licensed Practitioner of NLP angkatan pertama. Karena dana juga masih pas-pasan, maka belief saya tadi saya amplifikasi.

Hasilnya?

Kok ya ada yang mau mensponsori saya untuk ikut gitu lho. Saya berjanji kepada beliau untuk menggantinya dengan kelas. Jadilah, saya ikut sertifikasi untuk yang kedua kalinya. Hehehe…

Wah, saya makin excited. Belajar NLP ala Co-Creator memang beda. Asli jadi gampang banget. Teknik diotak-atik, dikulik-kulik, ampuh juga tuh. La gimana nggak ampuh, la wong attitude “there’s no failure, only feedback”-nya diinstal betul.

Lanjut nulis, lanjut praktik, lanjut sharing. Saatnya bersiap untuk langkah berikutnya: Licensed Master Practitioner of NLP. Kali ini ingin belajar lagi pada Pak Kiai Ronny. La gimana nggak pengen, la wong master itu katanya isinya ngulik abis soal linguistik, dan Pak Kiai ini asli jago buanget linguistic pattern, dalam 3 bahasa lagi.

Hah, 3 bahasa?

Iya. Inggris, Indonesia, daaaaaaan Jawa.

Lihat rekening? Kok ya pas sedang ada kebutuhan domestik, jadi belum jadi cukup. La tapi siapa bilang harus bayar sendiri? Memang Allah Maha Pengatur, jalan terbuka perlahan-lahan, sampai akhirnya saya pun memberanikan diri untuk mengajukan penawaran pada kantor.

Kok memberanikan diri?

Ya iya lah. Harga trainingnya jelas di atas budget yang tersedia. Agar sukses, maka saya pun menawarkan sebuah pertukaran yang adil, plus berbagai benefit yang bisa didapat oleh perusahaan dari ilmu ini.

Kok nggak dari dulu-dulu nawarin ke kantor ya?

Ya itulah, Allah Maha Pengatur. Dulu belum kelihatan jalannya. Sekarang sudah.

Hasilnya?

Dicuekin. Hehehe… Maka saya pun merevisi penawaran saya. Dipikirin betuuuul, pertukaran yang amat adil. Bedanya, kali ini saya pakai Perceptual Position, di Posisi 2, menempatkan diri sebagai manajemen.

Hasilnya?

Alhamdulillah, awal Juni lalu saya selesai belajar di kelas, dan memulai belajar di sekolah kehidupan lagi.

Wah, kok kamu enak betul ya?

Ya memang enak. Apalagi karena saya tidak doyan mengeluh. Saya lebih senang menikmati apa yang saya punya. Nemu buku terjemahan jelek, ya dilahap. Nemu artikel gratis, ya dibaca. Nemu ebook bajakan, ya diselami. Kadang-kadang sambil nongkrong di toilet, sambil nyetir pelan-pelan saat macet, dan seringnya setelah anak dan istri tidur. Bisa beli buku asli impor, yang bajakan dihibahkan. Bisa ikut training, mata ngantuk dimelek-melekin, pakai fisiologi yang sesuai. Abis training, cepet-cepet eksperimen, cepet-cepet nulis, cepet-cepet sharing.

Hmmm…kalau didiagnosa oleh Psikolog, barangkali apa yang saya lakukan sudah masuk dalam simtom Obsesif Kompulsif. Untungnya yang saya pelajari adalah NLP, jadi saya gunakan saya struktur Obsesif Kompulsif itu untuk belajar lebih dalam.

Beberapa kali saya ditanya perihal kelas-kelas saya yang ekonomis, “Pak, ilmu mahal kok dijual murah sih?”

“Ya, saya dapatnya juga sering gratis sih.”

Anehnya, entah dari mana, ada saja jalan saya bisa menikmati keuntungan finansial. Jadi, ya nggak murah juga sih. Cuma mungkin dibayarnya lewat jalur yang lain saja.

Maka saya pun teringat sebuah definisi tentang keberuntungan. Keberuntungan adalah pertemuan antara kesempatan dan kesiapan. Karena kesempatan letaknya di luar kuasa saya, maka saya pun fokus pada kesiapan. Uniknya, hal ini tidak hanya berlaku untuk belajar NLP. Seluruh kehidupan saya bermuara pada prinsip yang sama. Rezeki Allah itu tidak terbatas, ketika kita siap menerimanya. Mau jadi miliarder? Bersiap-siaplah dari sekarang untuk menerimanya.

So, jalan apa yang Anda pilih untuk meraih impian Anda?

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

5 Comments

  • Rosyid Fanani

    wah… asyik buanget tuh, mas. Saya juga pernah mengalami hal yang sama, walaupun belum seheboh mas Teddy. Saya pingin banyak belajar dari Mas Teddy.
    Salam Sukses.

  • Erlin Kartika Rahman

    Mantap…Ted……..tulisan yg mengingatkan dan menyemangati, karena pertamanya menohok dulu :-). puter lg roda semangat blajar NLP.

  • hadi

    Setelah membaca tulisan ini, ternyata banyak kecocokan antara saya dan Mas Teddy. Dan sekarang, saya pun mulai mengimajinasikan bagaimana caranya untuk ikut pelatihan sertifikasi nlp. hehe.

  • arifin

    cara pembelajaran dan pengamalan ilmu keikhlasan yang luar biasa.

  • Teddi Prasetya Yuliawan

    @ Rosyid: Wah, siap2…akan ada banyak hal yang heboh berarti :-).

    @ Mbak Erlin: Tul…belajar apapun pada dasarnya akan mengalami banyak lika liku yang sesuai dengan nilai ilmu itu.

    @ Hadi: Nah, tinggal dimulai saja langkah-langkahnya. Mulai dari yang paling mudah, sebab di sana lah jalannya.

    @ Arifin: terima kasih telah mampir…