Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Saya memulai pengembangan Spiritual NLP dengan alasan yang amat sederhana. Sebuah alasan yang berangkat dari keawaman saya mengenai ranah spiritual dan agama. Ya, saya bukanlah seorang ustadz, apalagi ahli agama. Saya adalah praktisi psikologi. Sementara itu, jauh di atas profesi saya, saya adalah seorang Muslim, yang menikmati keislaman saya.
Nah, dalam kondisi sedang menyelami perjuangan untuk mendekat pada Sang Pencipta, saya menemukan bahwa umur manusia begitu singkat jikalau digunakan untuk hal-hal yang tidak mendekatkan saya pada tujuan akhir: bertemu Allah sebagai ahli surga.
Sementara itu, saya pun merasakan bahwa NLP adalah sebuah ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan saya dan banyak orang. Maka saya pun meluangkan cukup banyak waktu untuk mendalaminya. Repotnya, belajar NLP secara terpisah rupa-rupanya membawa saya pada sebuah kondisi yang menggelisahkan. Ini sudah saya ceritakan dalam artikel sebelumnya.
Wah, aneh ya? Ilmu ini seharusnya bermanfaat, kok malah menggelisahkan? Padahal, saya tidak ingin waktu saya sia-sia untuk melakukan hal yang justru malah menjauhkan saya dari jalan-Nya. Walah, ya gimana ini?
Maka berbagai hikmah pun hadir dalam pikiran dan perasaan saya, memunculkan sebuah ide yang sangat sederhana. Saya bukan ustadz, karenanya saya tidak berani bicara masalah agama. Tapi saya seorang Praktisi NLP, dan saya tahu banyak tentang ilmu ini. Nah, saya kembangkan saja NLP yang tetap bermanfaat, namun terbebas dari hal-hal yang menggelisahkan. Lebih tepatnya, mengisi, mendaur ulang, mensistematisasi, dan mengintegrasikan NLP sehingga ia justru mendekatkan saya pada Allah.
Tanpa saya sadari, usaha ini mulai membuahkan hasil. Anda yang pernah membaca beberapa artikel saya jauh sebelum ini tentu sudah menyadari arah pemikiran saya. Mulai dari analisa saya soal doa sampai fitnah. Saya baru sadar, bahwa NLP itu ya ilmu Allah juga. La bagaimana tidak? Bukankah semua hal di dunia ini terjadi atas izin Allah? Cuman kebetulan saja yang menyusun NLP itu adalah orang bule, makanya diberi nama NLP. Kalau orang Arab, barangkali akan lain ceritanya. Cuman karena para pengembang awal NLP memang bukan orang yang menyelami dunia spiritual, maka NLP disusun sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah ilmu yang pure bicara bungkus tanpa isi, struktur tanpa konten. Mereka adalah pakar struktur, sementara kontennya diserahkan pada masing-masing pengguna.
Nah, di sini lah mulai menyadari keterbatasan NLP model begini. Apalagi setelah mengalami beberapa kejadian, ketika NLP digunakan dengan konten yang jauh bertentangan dari tujuan penghambaan saya sebagai seorang Muslim. Mulai dari alat untuk merayu (bukan pada suami/istri) sampai alat untuk berbisnis secara tidak etis. Soal rayu-merayu jelas sebuah hal yang amat baik, dalam konteks kehidupan rumah tangga. Tapi ketika digunakan sebelum 2 orang resmi menikah, maka ia jelas menjerumuskan. Begitu juga dengan Milton Model untuk mempersuasi. Ia adalah sesuatu yang amat baik jika memang kita menjual produk yang berkualitas tinggi, kepada calon pelanggan yang memang membutuhkannya. Namun saat produk kita jelek, plus sebenarnya sang calon pelanggan tidak membutuhkannya, maka ia menjadi sesuatu yang tidak etis.
Maka sementara NLP memang berbicara soal struktur, ia baru bermanfaat ketika diisi dengan konten yang bermanfaat. Konten yang mendekatkan penggunanya pada jalan yang telah digariskan oleh Tuhan.
Nah, saya punya cerita menarik nih. Saat saya mengikuti kelas Licensed Master Practitioner bersama Pak Ronny, kelas dimulai di hari Sabtu, sehingga berakhir di hari Jum’at. Berarti hari Jum’at itulah saya pertama kali mengikuti shalat Jum’at sejak dilatih menjadi Master Praktisi NLP. Tentu saja saat itu saya shalat di mesjid dekat lokasi pelatihan. Agak jauh di dalam komplek perumahan lokasinya.
Dan, khutbah pun dimulai. 1 menit. 2 menit. 5 menit. 10 menit. Semakin lama, telinga saya semakin ‘sakit’. Apa pasal? Telinga saya, yang sudah dilatih untuk memiliki kepekaan linguistik yang tinggi selama pelatihan, rupanya jet lag saat mendengar cara sang ustadz menyampaikan khutbahnya.
Wah, apakah khutbahnya salah? Ngawur? Ekstrim?
Hehehe…tentu tidak. Bukan kontennya yang salah, melainkan pada struktur penyampaiannya. Sementara saya memahami bahwa sang ustadz ingin menyampaikan sesuatu yang baik, namun invotasi dan penekanannya justru melemahkan konten baik tersebut. Padahal saat menyampaikan sesuatu yang buruk, ia justru ditonjolkan.
Pada hari itu saya merenung, bahwa ilmu NLP ini haruslah digunakan untuk menyampaikan kebenaran Ilahiah. Di titik inilah saya membulatkan niat untuk mengembangkan Spiritual NLP.
OK. Jadi, apa yang akan kita lakukan dalam Spiritual NLP?
Ada beberapa hal.
Pertama, meninjau kembali berbagai asumsi dalam NLP sehingga align dengan konsep keyakinan. Anda yang sudah mempelajari NLP secara komprehensif tentu sudah memahami bahwa seluruh praktik dalam NLP dibangun berdasarkan seperangkat asumsi yang disebut dengan NLP Presuppositions. Tanpa memahami dan menginternalisasi presuposisi ini, NLP tidak lebih dari sekedar urut-urutan teknik yang kaku belaka. Sebab justru keunikan NLP sebagai sebuah model kerja yang fleksibel baru bisa muncul ketika keseluruhan presuposisi tersebut diterapkan unconsciously. Nah, bicara soal asumsi, saya mendapati seperangkap presuposisi NLP masih memiliki beberapa titik yang perlu di-enhance sehingga menjadikan para praktisinya seimbang dalam aspek fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Sebagai contoh, presuposisi dasar ’the map is not the territory’ sebenarnya merupakan sebuah asumsi yang ekselen untuk menjelaskan cara kerja pikiran dan perasaan manusia. Pertanyaannya, apakah lantas semua map menjadi relatif? Benarkah tidak ada map yang pasti? Tentu tidak, bukan? Sebab kita tentu sepakat bahwa ada kebenaran mutlak yang bernama Tuhan. Di luar itu semuanya relatif. Pun ketika manusia menjalankan aturan yang telah diberikan Tuhan berupa ajaran agama, cara memahaminya tetap relatif.
Terus, kenapa juga mesti di-enhance? Kan memang selama kita masih manusia maka kita tidak bisa lepas dari cara paham relatif ini? Kita akan selalu terkungkung dalam map yang kita susun, bukan?
Betul. Namun meyakini hal ini secara ekstrim seringkali membuat manusia limbung dan kehilangan arah. Sebab manusia itu memang fitrahnya membutuhkan tempat berpegangan. Nah, sementara manusia seringkali berpegang pada map-nya yang relatif, maka Islam mengajarkan sebuah kalimat nan ampuh untuk mengatasi kebingungan, La Ila ha Illallah. Tidak ada ilah selain Allah. Kenyataannya, ilah itu ada banyak, cuman yang sejati hanya 1, Allah. Dengan demikian, presuposisi ‘the map is not the territory’ perlu didefinisikan ulang agar menjadikan kita sebagai praktisi hidup dengan tenang karena punya tempat berlindung yang tidak pernah relatif, tempat berlindung sejati: Allah.
Kedua, melakukan modeling terhadap praktik ibadah ritual. Ibadah ritual (shalat, dzikir, dll) merupakan jenis aktivitas yang sudah ekselen, sebab ia bukan buatan manusia. Nah, secara passion dari NLP itu adalah memburu excellency, maka ibadah jelas merupakan sesuatu yang harus jadi prioritas untuk dimodel. Dengan memodel, kita dapat menjadikan struktur ibadah menjadi lebih eksplisit dan mudah untuk dipelajari serta dipraktikkan. Insya Allah saya akan menulis artikel secara khusus mengenai proses modeling terhadap shalat dan dzikir yang sedang saya lakukan dan masih terus dikembangkan.
Ketiga, memodel terhadap ranah ajaran akhlak (sikap dan perilaku). Bagaimana sih sebenarnya sabar itu? Bagaimana kita bisa mengaksesnya saat dibutuhkan? Terus, bagaimana pula dengan ikhlas? Syukur? Tawadhu (rendah hati)? Insya Allah, sikap dan perilaku mulia bukan lagi sesuatu yang jauh dari jangkauan kita orang awam ini, jika kita sudah bisa menemukan struktur untuk mengaksesnya saat diperlukan.
Keempat, melakukan modeling terhadap orang-orang yang telah mencapai kematangan spiritual. Sebuah hal yang lucu memang, sementara dunia seringkali begitu kagum dengan sosok-sosok tokoh masa kini yang menemukan teori ini dan itu, sementara mereka memiliki banyak kekurangan yang seringkali fatal. Eh, kok ya dunia seolah lupa bahwa di dunia ini pernah hidup sosok-sosok pilihan Tuhan yang telah dirancang sebagai excellent role model bagi para pengikutnya. Pamungkasnya, ya tentu Nabi Muhammad SAW, selain para nabi lain tentunya. Rada aneh, saat saya begitu kagum dengan model Visionary Leadership Skill hasil modeling Pak Dhe Robert Dilts dari kepemimpinan di FIAT, kok ya saya waktu itu nggak kepikir untuk memodel sebuah kepemimpinan visioner yang telah jelas terbukti mempengaruhi entah berapa jumlah manusia sejak 1400 tahun yang lalu dan masih terus sampai sekarang. Maka kalau memang benar para praktisi NLP adalah orang-orang yang terobsesi pada excellency, tentu sosok manusia agung ini lah orang yang harus secara besar-besaran kita model.
Nah, kalau memang masih berat, ya kita mulai dari para pengikutnya yang minimal telah mendekati lah, yakni orang-orang shaleh yang telah begitu sukses mencapai aktualisasi diri jauh sebelum Abraham Maslow mempublikasikan teorinya. Sebab orang-orang shaleh ini jelas tidak hanya sukses secara spiritual, melainkan begitu banyak di antara mereka yang juga sukses secara material. Uniknya, kesuksesan material datang dengan begitu mudah, sebab mereka tidak pernah terikat dengannya. Saya teringat kisah tentang Al-Junaid yang merupakan seorang saudagar kaya raya, namun menghabiskan waktunya jauh lebih banyak untuk shalat daripada mengurusi tokonya. Begitu juga dengan sahabat Abdurrahman bin Auf yang sebagian besar penduduk Madinah di masa itu hidup dari bantuannya, dengan mudah menyedekahkan hasil perdagangannya yang luar biasa buanyak itu, demi mendengar kabar bahwa dirinya akan masuk surga dengan lambat gara-gara kebanyakan membawa harta. Wah, bisa jadi model ‘ultimate wealth mastery’ yang yahud nih.
Begitu juga saya teringat dengan kisah-kisah para tabi’in (generasi sesudah para sahabat Nabi) tentang cara mereka menjalankan shalat dengan khusyuk. Ada yang mulai dari saat wudhu sudah membayangkan akan bertemu Maha Raja. La kalau ketemu raja biasa saja kita pasti sudah tertunduk takut dan takzim, apalagi mau menghadap Sang Maha Raja langit dan bumi? Ada juga yang ketika shalat membayangkan dirinya berada di jembatan shirath yang tipisnya seperti rambut dibelah tujuh dan bisa sewaktu-waktu jatuh ke neraka. Wah, ini kan NLP banget.
OK lah kalau beliau-beliau itu masih terlalu jauh dari benak kita. Bagaimana dengan orang-orang yang ada di Indonesia deh? Di negara kita sendiri nih. Wah, buanyak sekali kalau mau didaftar satu per satu. Nah, inilah yang saya maksud di poin ketiga ini.
Kelima, menyusun sebuah kerangka kerja menggunakan Spiritual NLP integratif. Salah satu kelemahan dari model pembelajaran NLP yang ada saat ini, terutama yang durasinya singkat, adalah tidak sempatnya dibahas tentang, “Bagaimana sih sebenarnya menggunakan semua perangkat ini secara sistematis?” Maka saya pun tidak heran kalau para newbie yang baru lulus kelas sertifikasi praktisi cukup sering mengkontak saya baik via email, chat, ataupun sit in dalam kelas saya demi mendapatkan jam terbang dan jam penghayatan yang lebih banyak sebelum mereka benar-benar PD untuk membantu orang lain. Nah, di poin ini, Spiritual NLP akan mengembangkan sebuah model kerja yang mengintegrasikan model perubahan ala NLP dengan model terapi spiritual sehingga menghasilkan perubahan yang mendasar dan permanen. Sebab sebenarnya jika kita telusuri kembali kisah para ulama yang memberikan ‘terapi’ pada orang yang datang memohon bantuan, beliau-beliau seringkali menyarankan untuk mengerjakan amalan tertentu (seperti bersedekah, mengerjakan shalat sunah, membantu fakir miskin, dll), atau memperbaiki kualitas amalan yang selama ini sudah dilakukan (memperbaiki kualitas shalat, zakat, puasa, dll).
Demikianlah, 4 agenda yang saat ini akan kami fokuskan untuk mengembangkan Spiritual NLP.
Kok hanya empat?
Ya karena yang 4 ini saja sudah akan memakan banyak sumber daya, plus kesungguhan yang tinggi. Sisi lain, ranah di luar yang 4 ini sebenarnya sudah bukan lagi bicara NLP, melainkan sudah lebih dalam ke ranah spiritualitas itu sendiri, yang saya akui masih jauh dari diri kami yang awam ini. Maka kami memang hanya akan memfokuskan diri pada apa yang kami tahu. Oleh sebab itu, Spiritual NLP bukanlah aliran baru yang akan menyaingi ajaran-ajaran spiritual lain. Wah, sama sekali bukan! Spiritual NLP hanya akan membahas ‘how to’ dari spiritualitas keseharian yang diperlukan oleh banyak orang awam seperti saya. Bagaimana sih hidup bahagia? Bagaimaan sih hidup penuh syukur? Bagaimana sih menjalani hari dengan ikhlas? Bagaimana sih memaafkan dengan mudah? Bagaimana sih meningkatkan semangat untuk beribadah dan beramal? Bagaimana sih memaksimalkan potensi yang telah diberikan Tuhan untuk saya? Dan seterusnya.
Nah, saat ia sudah tidak lagi memadai, sebab Anda sudah mencapai kematangan spiritual yang lebih tinggi, tentu Anda sudah tahu harus belajar apa dan pada siapa.
OK. Insya Allah kami akan meneruskan artikel ini dengan bahasan yang lebih spesifik.
Pak Teddi
Alhamdulillah,sepakat semua ilmu berasal dari Allah SWT cuma kebetulan orang Barat yg lebih dahulu mendalaminya.
Mudahan apa yg Bapak Teddi kembangkan dalam konsp NLP ini akan banyak membantu orang yg membutuhkannya. Cetak kader yg banyak agar ilmu ini bisa menyebar dimana mana.
Salam
SATIBI bin HASAN
Assalaamu’alaikum waRahmatulloh wa barakatuh. SubhanAllah….semoga Allah terus menjaga keikhlasan hati dan kedermawanan antum dalam mebagi ilmu ini yg bagi saya sangat membantu dan berharga. jazakallah khairan katsir, BarakAllah!
Assalaamu’alaykum. Subhanallaah walhamdulillaah. Mohon dilanjutkan semua agenda Mas Teddi. Semoga barokah dan jadi amalan yang membawa Mas menjadi Ahli Surga kelak. Amin.
Sekarang saya masih dalam state euforia NLP, meski saya sudah berusaha untk tetap mengingat pesan Mas d akhir buku. Astaghfirullaah.
Semoga Allaah selalu membimbing kita semua dengan Kemutlakan dan Ketidakterbatasan-Nya. Amin
Jazakumullohu khaoiron kastiron…. sekarang rasa takut untuk belajar ilmu dari orang bule itu hilang karena masih terus ada orang yang memberi isi seperti mas….Alhamdulillah, Allohu Akbar.salam kenal