Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Wah, gimana sih tuh tukang gado-gado. Aku bilang pedes kok malah manis begini.
Emang kamu tadi bilang ke dia berapa cabe-nya?
Ya kubilang aja, pedes gitu.
Nah, makanya, lain kali bilang berapa kamu mau dia kasih cabe. Siapa tahu menurut dia itu udah puedes buanget. Jadinya memang nggak kepikir untuk nambahin lagi.
Iya juga yah.
Beberapa kali saya mengalami obrolan seperti di atas. Mulai dari soal kurang pedas hingga terlalu pedas. Dari kurang manis hingga kemanisan. Dari kurang asin hingga keasinan. Kebetulan siang tadi saya makan gado-gado, ide untuk menulis aplikasi NLP dalam makan gado-gado pun muncul dan meminta segera ditulis.
Aneh-aneh aja kamu. Makan gado-gado kok pake NLP segala.
Yah, daripada menggerutu pas makan. Mendingan kita gunakan deh ilmu berharga ini. Jadi setiap detik dalam hidup ini dipenuhi dengan rasa syukur. Tul, kan?
Sama dengan rekan saya yang mengeluh tadi, saya pun beberapa kali mengalami kejadian yang mirip. Umumnya sih karena kurang pedas. Sebab sejak menjalin hubungan intens dengan mantan pacar saya, rupanya kemampuan pacing dalam hal asmara menyebar menjadi pacing dalam hal selera. Saya yang tadinya bergidik saat melihat makanan rekan saya yang begitu merah karena banyaknya sambal, sekarang jadi kurang sreg kalau belum pedas. Hehehe…
Nah, usut punya usut, saya pun menyadari bahwa kejadian kurang pedas memang bukan sepenuhnya kesalahan sang penjual. Apalagi setelah belajar salah satu materi dalam NLP yang bernama Meta Model. Ah, kalau Anda awam dengan istilah ini, maka gunakan saja istilah precise language. Ya, dalam NLP terdapat sebuah pelajaran yang luar biasa, yakni membiasakan diri untuk menggunakan bahasa secara presisi alias spesifik. Sebab the map is not the territory, dan people respond to their internal map, maka penjual gado-gado pastilah akan menentukan standar sendiri tentang apa yang disebut pedas dan tidak pedas. Kalau dia orang Jawa, jelas berbeda standar dengan orang Minang. Walah, bukan beda lagi ini mah, beda jauuuuh.
Maka dari itulah NLP kemudian mengajarkan para praktisinya untuk senantiasa waspada dengan kondisi perbedaan map ini. Nah, salah satu caranya adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap setiap hal yang kita atau orang lain ungkapkan, sehingga setidaknya kita memiliki kemiripan map, sekalipun tidak bisa sama persis. Inilah yang dinamakan dengan precise language tadi, yang sudah saya bahas cukup panjang secara berseri. Silakan mulai dari SINI.
Singkat cerita, itulah sebabnya dalam kisah di atas saya menanyakan pada kawan saya tentang berapa jumlah cabe yang ia minta. Ya, sebab ukuran pedas bagi sang kawan dalam konteks tadi jelas berbeda dengan sang penjual. Maka saya selalu mengatakan pada penjual gado-gado langganan saya begini, ”Bang, gado-gado 1, pedes, cabenya 5, cobeknya cuci dulu ya.”
Apakah pasti pas? Ya tetap saja belum tentu, sebab bisa jadi cabe yang ia bawa hari itu memang sedang berbeda rasa dengan yang biasanya. Tapi setidaknya standar pedas saya tidak akan terlalu jauh lah.
Terus, kalau ternyata nggak pas juga, gimana?
Kan ada pelajaran NLP yang lain. Misalnya, yang rada-rada berbau Design Human Engineering. Kalau ternyata rasanya kurang pedas, sehingga rasa manis lebih dominan, maka saya dengan sengaja menurunkan kepekaan indera pengecap saya, sehingga rasa manis itu tidak membuat saya eneg dan malas makan.
Wah, gimana caranya tuh?
Gampang kok. Cukup konsentrasi sejenak. Pejam mata boleh, tidak juga OK. Yang mana yang membuat Anda bisa fokus ke dalam diri Anda, sekarang. Nah, sementara fokus itu semakin dalam, Anda boleh meminta kepada pikiran bawah sadar Anda, atau apapun di dalam diri Anda, yang bertanggung jawab pada berbagai mekanisme perasa. Mintalah ia untuk konek secara langsung dengan pusat pencecapan Anda.
Sudah?
Bagus.
Nah, sambil koneksi tersebut berlangsung, Anda dapat memikirkan sedang mengatur sebuah toolbar, atau sebuah pengendali, semacam tombol yang bisa dinaik-turunkan. Sekarang, pikirkan secara penuh, kepekaan pencecapan Anda turun, perlahan-lahan, bersamaan dengan tangan Anda yang menurunkan tombol tersebut, sampai pada titik yang Anda inginkan.
Tentu Anda merasakan sesuatu pada indra pencecapan Anda. Biarkan saja, sebab ia sedang berproses. Berterima kasihlah, dan katakan padanya bahwa Anda bahwa ia boleh mengembalikan kepekaan tersebut seperti sedia kala setelah Anda selesai makan.
Jika sudah selesai, Anda boleh mengembalikan kesadaran Anda. Dan saat Anda sudah siap, silakan menikmati makanan Anda. Sekarang barangkali cara ini agak membutuhkan waktu, namun jika sudah terbiasa Anda akan dapat melakukannya dengan cepat. Hal yang sebaliknya bisa Anda lakukan jika Anda justru ingin menaikkan kepekaan indra pencecapan Anda, sehingga rasa makanan tersebut lebih tasty.
Omong-omong, kalau aku sih, kalau rasanya nggak pas ya nggak usah dimakan.
Nah, itu dia. Kan jadi mubadzir. Padahal, bisa jadi keberkahan makanan kita terletak di suapan terakhir, begitu kata Nabi. Maka tentu amat disayangkan kalau kita tidak menghabiskan makanan, yang jelas-jelas sudah kita pesan, hanya karena rasanya kurang pas, bukan?
Betul juga ya.
Selamat menikmati!
Ide bagus…!
As.w.w. Pak Teddy.
Wow, jadi gak perlu repot lagi klo makan.
Mau tanya pak, kalau saya katakan “map” itu sama dengan persepsi, salah gak?
Thanks.
Wassalam,
Lia
Note: Saya berminat utk ikut Spiritual NPL, tapi saya atur waktu dulu ya… Mudah-muadahan bisa.
Saya makin senang belajar NLP Pak, ilmu yang saya temukan secara tidak sengaja. Terimakasih.
bapak tedi, saya mengitu ulasan bapak mulai dari street smart nlp sampai sekarang, saya akui bahwa tulisan bapak tu komunikatif dan bisa diterima oleh saya yang masih dummy. btw kapan bapak buat buku???
@ Fatah: Nah, gimana hasilnya?
@ Bu Lia: Memangnya selama ini repot ya? Hehehe…
Ya…bisa dibilang begitu lah.
@ Bu Wika: Gimana kelas sekarang Bu? Makin bergairah kan?
@ Frezzy: Buku saya, sebuah nlp handbook, sudah selesai ditulis november kemarin. Sekarang sedang di penerbit. Mohon doa agar prosesnya bisa lancar dan cepat selesai. Saat ini sedang ada beberapa judul lagi yang saya tulis bersamaan. Mohon doanya juga.
Sy baca nlp wiwoho,binguun.
Mana dl yg shrnya dibaca?
@ Harel: Silakan mampir ke artikel di blog ini juga, judulnya “Must Read NLP Books”. Ada urut2annya ala saya. Tentu bisa berbeda dengan Anda. Saran saya, keep reading. baca aja yang kira2 menarik buat Anda. Nanti juga ketemu. Sejauh ini, handbook yang asik buat saya adalah “Introducing NLP”-nya Joseph O Connor dan “The User’s Manual for the Brain”-nya Bodenhammer dan Hall.
Kalau terjemahan indonesia ada “NLP New Technology for Achievement” dan “NLP for Personal Success”. Dua2nya penerbit Baca.
Doakan, mudah2an NLP handbook saya selesai proses dan terbit akhir Maret ini.
mas Teddi”persisnya” Prasetya Yuliawan
membaca artikel ini saya teringat,..dulu, 22 tahun yang lalu waktu saya belajar disalah satu Perguruan Tinggi di Palembang dan berpredikat sebagai anak kost…persisnya saya mengontrak satu rumah bedengan
begini ceritanya….
teman sebelah kontrakan saya menerima paket ikan dari orang tuanya di Bangka.
selama tiga hari berturut-turut makan dengan menu ikan asin….
pada hari keempat teman saya mengeluhkan menu makanannyakepada saya.
“wah.. sudah tiga hari menu makannya ikan asin melulu…” begitu keluh teman saya
“maunya …hari ini diselingin sama rendang..gitukan enak”.begitu harapnya.
“Ok….hari ini kita makan rendang.” jawab saya spontan
selanjutnya kami berdua memasak…..persisnya…(koq kalau mengatakan persisnya timbul perasaan rileks)…tidak memasak rendang tetapi memasak sambel ikan asin plus tumis kangkung…
ok..masakan sudah siap….waktunya makan siang…
“..loh… rendangnya mana…” tanya teman saya
“..ini…” jawab saya sambil menunjuk kearah sambel ikan isin..dan temen saya sejenak bingung…
“..yang menamakan ini ikan asin .bukankah kita sendiri…nah….sekarang…gampangkan kita ganti aja namanya adi rendang…” ting..tong temen saya makin bengung
“…kamu tau dan bisa menbayangkan rasa rendang kan……”
” ok…sekarang kita makan….dan bayangkan yang kita makan adalah rendang yang kita beli dari rumah makan depan kampus..” ajak saya dan diikuti oleh teman saya..
“..coba ..waktu memasak tadi kamu gak melamun…..kan.. garem ya gak kebayakan…jadi asin…ni rendangnya….tapi enak.. dagingnya empuk” komentar saya waktu merasakan rasa asin
setelah menyelesaikan siang…
temen saya bahkan saya berguman ” loh…koq bisa..ya……koq kayak rendang beneran..ya..” penuh heran…
kerena jaman dulu belum ada NgeLPe…saya dan teman saya tidak tau fenomena apa yang terjadi…..maka kami anggap itu ngawur-ngawur kita aja…
setelah baru sangat sedikit mengetahui NLP..lah…wong…The Art of Enjoying Life baru dibaca Pengantar nya ….karena bingung yang nulis Mas Teddi Persinya Teddi Prasetya Yuliawan…koq yang ngater Pak.Wiwoho…..yang punya mobil siapa..ya? Mas Teddi apa Pak Wiwoho….
akhirnya saya menebak-nebak kejadian 22 tahun lalu kayaknya NgeLPe..dech…..kalo giti ngawur pake NgeLPe…uwenakkkk…
Terimakasih Mas Teddi persisya…………….
saya akan meneruskan membaca kata pengantar dan prakata buku The Art of Enjoying Life…….agar saya dapat mengetahui saya mau diantar kemana, naik apa, siapa siapa yang ngantar….sebelum saya memutukan untuk BERANGKAT…..