Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Adalah Pak Wid—begitu beliau biasa disapa—yang dengan begitu proaktif menghubungi panitia menawarkan sebuah paper hasil penelitian sementara beliau tentang pola-pola bahasa dalam literatur Jawa Kuno. Meskipun beliau mengakui bahwa kajian ini baru dimulai, dan memiliki banyak keterbatasan dalam melakukannya, sesi yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam di Indonesian NLP Conference 3 April lalu benar-benar menggelitik para peserta yang hadir di kelas beliau.
Menggelitik, karena rupanya banyak di antara peserta—terutama yang pernah belajar sisi linguistik dari NLP—baru menyadari berlimpahnya makna yang dapat dipelajari dari peninggalan budaya Indonesia. Padahal, sesi tersebut baru membahas secuplik saja poin-poin yang didapat dari “Serat Kaca Wirangi” dan “Serat Madurasa”.
Serat Kaca Wirangi
Naskah yang diteliti bertuliskan tahun 1922 dan merupakan transliterasi dari naskah lama dalam huruf Jawa. Tanpa keterangan pengarang yang jelas, karya ini berisi kisah metafora yang sarat makna.
Kisah diawali dengan percakapan antara 2 tokoh utama, yakni burung Perkutut dan Dekukur pada suatu taman. Keduanya membahas berbagai tokoh seperti kupu-kupu, batu kali, batu mulia, berlian, batu biasa, arang, besi batangan, dan kaca benggala gedhe.
Keunikan serat ini jelas terletak pada gaya metaforik yang digunakan, sehingga menciptakan efek disosiasi yang menghindarkan ketersinggungan pembaca/penerima pesan. Di dalamnya, para pembaca belajar beberapa hal berikut:
Kesimpulannya, persis seperti yang dikemukakan dalam presuposisi NLP, “People response to their internal maps, not the reality itself”. Dengan bahasa sederhana, manusia memiliki perwatakannya masing-masing.
Lebih dari itu, serat ini rupanya juga menjelaskan konsep berpikir-merasa yang begitu familiar di kalangan NLPers, atau yang sering disebut dengan NLP Communication Model/Human Model of the World. Jika dalam NLP kita belajar bahwa apa yang ada dalam representasi internal manusia merupakan hasil filterisasi dari kenyataan, maka serat ini mengajarkan bahwa rasa yang dimiliki manusia merupakan hasil pemahaman terhadap cahya/pepadhang yang dilihat melalui keluk/asap.
Sementara itu, serat ini juga menerangkan tentang konsep manusia sempurna yang sejalan dengan model Neurological Level yang dikembangkan oleh Robert Dilts. Perkembangan manusia berawal dari fase kupu-kupu yang masih berkutat dengan segala warna. Ini merupakan pengejawantahan dari level environment hingga capability. Berlanjut pada fase batu mulia, yang sudah mulai lepas dari perilaku, namun masih memiliki warna. Ini sejalan dengan level belief/value. Naik lagi menuju fase berlian yang tidak berkarakter/berwarna khusus dan nir nilai (tidak bernilai baik/buruk). Ini sejalan dengan level identity. Dan berujung pada fase kaca benggala, sesuatu yang bisa memuat segala rupa warna (map), cahaya (budi, etika), dan wujud. Ini selaras dengan level spirituality.
Serat Madurasa
Naskah yang diteliti juga merupakan naskah transliterasi dari naskah Jawa, bertahunkan 1935. Berbeda dengan Serat Kaca Wirangi, Serat Madurasa lebih banyak menjelaskan pola-pola olah batin, meskipun sama-sama menggunakan model metafora.
Ajaran inti serat ini adalah ’aja lali marang jejer’, intinya adalah jangan pernah melupakan tujuan dalam hidup. Sementara banyak manusia kosong tanpa sasaran yang jelas, tidak memahami tujuan hidup di dunia, sering beralih keinginan, sehingga mudah terombang-ambing oleh perubahan zaman. Manusia seperti ini membutuhkan outcome setting yang pasti, dan senantiasa waspada terhadap berbagai godaan dalam perjalanan.
Nah, untuk diskusi lebih lanjut, silakan kontak langsung penelitinya, Pak Widyarso, melalui email di widyarso_r@yahoo.co.uk.
kebetulan ak ikut kelasnya pak wid, memang dalam naskah kuno itu banyak ilmu kehidupan yang banyak manfaatnya, jadi semoga semakin banyak kitab yang bisa di bedah sebagai referensi pembelajaran hidup