• Teddi Prasetya
  • NLP Practice, NLP Reflections
  • 3 Comments

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Pak, saya sudah ikut training yang Bapak rekomendasikan. Kok saya nggak dapet apa-apa ya? Biasa aja tuh.

Ted, aku sudah baca buku yang katamu bagus, tapi nothing special tuh.

Mas, saya sudah baca juga buku yang Mas ceritakan tadi. Tapi kok saya nggak bisa mendapatkan pelajaran seperti layaknya Mas ya?

Menyelesaikan kelas 2 hari saya bersama Pak Wiwoho di bulan Maret lalu rupanya menghadirkan sebuah pencerahan yang selama ini menggelitik pikiran saya. Ya, 3 pernyataan di atas hanyalah rangkuman dari sekian banyak fenomena sejenis yang seringkali saya dengar dari beberapa orang yang meminta rekomendasi saya akan berbagai pelatihan atau literatur, yang rupanya belum memuaskan dahaga mereka akan ilmu yang didambakan. Sudah sejak beberapa lama sebenarnya saya merasa tahu jawabannya. Hanya saja, saya baru benar-benar mendapatkan sebuah jalinan ide yang terstruktur tepat setelah mengikuti kelas Pak Wi kembali.

Sisi lain, entah sudah berapa banyak tulisan mengenai seni dan teknik mengajar yang ditulis, namun masih sedikit yang mengeksplorasi seni belajar. Maka meskipun saya tetap tertarik untuk menulis sebuah buku tentang seni menjadi guru, saat ini saya sedang begitu bergairah untuk menulis tentang seni menjadi murid. Sebab memang saya juga belum pernah mendengar ada yang namanya guru mumpuni yang datang ke dunia dengan sendirinya, tanpa pernah berguru pada seorang guru yang mumpuni pula. Maka kesimpulan saya pun sederhana: jauh sebelum menjadi seorang guru yang baik, seseorang mestilah menjadi seorang murid yang baik dulu.

Apa yang ingin saya dapat?

Setidaknya ada beberapa hal yang saya temukan dalam perjalanan saya menjadi murid, dari dulu hingga saat ini. Beberapa hal berikut ini adalah hal-hal yang saya rasakan amat membantu saya dalam proses mendownload ilmu dari sang guru.

Saya biasa memiliki beberapa tujuan dalam belajar, baik dalam hal membaca buku ataupun berguru secara langsung. Dua mode yang sering saya gunakan adalah: belajar tentang materinya dan belajar untuk menjadi trainer bagi materi tersebut. Dua tujuan ini jelas dua hewan yang beda sama sekali, maka salah menggunakan mode bisa menjadikan proses belajar salah sambung berat.

Jika saya ingin belajar materinya, maka saya akan memasang state sebagai murid yang benar-benar bodoh. Meskipun saya sudah pernah mempelajari materi tersebut sebelumnya—dan ini memang selalu saya lakukan—saya kan menyimpannya di rumah dan sama sekali tidak saya bawa ke ruang kelas. Di kelas, saya akan duduk di depan, memasang tubuh tegak, memegang buku catatan, dan membiarkan wajah saya melongo, serta sering-sering berkata, “Oooo…gitu tho?”

Melakukan hal ini akan membuat pikiran dan perasaan saya layaknya spons yang siap menyerap setiap detil ilmu yang diajarkan. Karena saya benar-benar menyingkirkan filter-filter yang menganggu, seperti filter merasa tahu, filter membandingkan, dll. Filter-filter ini baru saya pasang lagi setelah saya benar-benar selesai belajar.

Maka saat menggunakan mode ini, saya benar-benar bisa asyik masyuk belajar, meskipun gurunya begitu menjemukan alias memang kurang atraktif dalam mengajar. Karena setiap hal adalah hal baru bagi saya, maka tidak ada hal yang membosankan, melainkan semuanya adalah pelajaran yang menggairahkan. Saya bahkan sangat jarang bertanya jika sedang dalam mode ini. Saya benar-benar pasrah ilmu yang diajarkan diinstal ke dalam pikiran saya.

Pada intinya, saya selalu mengawali proses belajar dengan benar-benar menjadikan diri saya seorang murid. Dalam khasanah ilmu agama, ada sebuah pakem yang mengatakan, “Seorang murid itu bagaikan mayat di hadapan gurunya.” Alias, pasrah betul, dan benar-benar memposisikan guru selayaknya seorang guru. Hormat pada pribadinya, hormat pada ilmunya. Lepaskan pikiran dari memikirkan kekurangannya, fokuskan hati untuk menerima kemumpuniannya.

Sementara itu, cukup sering juga saya mengulang untuk belajar pada seorang guru, demi mengetahui bagaimana caranya sang guru mengajarkannya. Dalam hal ini, saya memang ingin memodel cara beliau mengajar.

Nah, kalau ini yang saya inginkan, maka state yang saya pasang ada 2. Pertama, state pengamat alias posisi 3 di Perceptual Position. Kedua, state pelaku alias posisi 1.

Sebagai pengamat, maka saya akan duduk di belakang, dan seringkali melipat tangan saya, untuk menjadi pengamat yang benar-benar obyektif. Saya tidak peduli ada materi yang diajarkan, melainkan fokus pada bagaimana beliau mengajarkannya. Yang saya perhatikan adalah struktur dan sama sekali bukan kontennya. Bagaimana beliau berkata, menggerakkan tangan, memainkan intonasi, mengatur jalannya sesi, dsb. Dalam konteks belajar lewat buku, maka saya fokus pada struktur penyampaian ide, sembari membayangkan sang penulis mengajarkannya secara langsung pada saya. Maka asyik sekali saat saya menyelami buku-buku klasik awal NLP, yang memang menggunakan format transkrip hasil rekaman di kelas. Saya bisa dengan mudah membayangkan dan mendengarkan para trainer berbicara seperti layaknya peserta.

Sisi lain, saya juga seringkali masuk ke dalam diri sang guru dan memerankan dirinya mengajar. Saya rasakan berbicara sebagai guru, memberikan materi, menggerakkan tubuh, dll.

Sementara dalam hal belajar lewat buku, saya pun berbicara sendiri saat membaca buku tersebut, dan berusaha mencari cara penyampaian yang pas dengan tulisan yang saya baca. Tentu ini saya lakukan di tempat tertutup. Kalau tidak, wah, bisa dikira orang gila. Hehehe…

Fokuskan dengan bertanya

Ajukan pertanyaan, dan jawabannya akan kita dapat. Demikian kata sebuah ungkapan. Pertanyaan adalah stimulus pikiran. Mengajukan pertanyaan yang salah hanya akan mengantarkan pikiran untuk menempuh jalan yang salah pula.

Ya, saya selalu punya pertanyaan yang ingin saya jawab setiap kali mempelajari sesuatu. Maka saya tidak pernah bosan untuk mengulang membaca sebuah buku, sebab saya selalu punya pertanyaan yang berbeda setiap kalinya. Alhasil, hasil yang saya dapat pun berbeda.

Bertanya, “Apa yang baru yang belum saya pelajari sebelumnya?” jelas amat berbeda hasilnya dengan bertanya, “Apa saja di buku ini yang sudah pernah saya pelajari?”

Maka saat saya penasaran dengan cara seorang penulis menemukan ide tulisan, saya bertanya, “Bagaimana dia menemukan ide tulisan ini?”, sembari saya menggunakan posisi satu dan menjadi sang penulis itu sendiri.

Sementara saat saya belajar di kelas, saya seringkali bertanya, “Apa yang saya lewatkan di kelas sebelumnya? Apa yang saya belum paham saat belajar lewat buku kemarin? Bagaimana sebenarnya sebuah materi dipraktikkan? Apa inti yang belum saya pahami sebelumnya dan bisa saya temukan saat ini?” dan seterusnya.

Temukan hakikatnya

Saya memahami tahapan belajar terdiri dari 3 fase. Pertama adalah knowledge, kedua adalah practice, ketiga adalah meaning. Fase knowledge adalah saat kita memulai langkah awal belajar sesuatu. Fase practice adalah saat kita mempraktikkan secara langsung sebuah ilmu, sampai jadi mahir. Dan fase meaning adalah saat kita sudah melewati ratusan bahkan ribuan jam terbang praktik, hingga mampu menemukan mana yang inti dan mana yang pernik.

Maka saya pun seringkali mengulang kembali apa yang saya pelajari bertahun-tahun lalu, demi mendapatkan inti yang dulu belum mampu saya pahami. Bahkan kalau saya bisa menemukannya, saya akan menggali informasi dari sumber primernya. Semisal, dalam konteks belajar lewat buku, maka saya akan mencari referensi awal dari buku yang saya baca. Karena setiap penulis yang mengutip penulis lain pastilah menggunakan ‘peta’-nya masing-masing, maka saya seringkali menemukan banyak hal menakjubkn saat menyelami sumber-sumber primernya. Belum lagi saya bisa memodel langsung gaya penulisan dan penemuan ide dari penulis sumber primer tersebut.

Berdoa

Sengaja saya letakkan langkah ini di bagian akhir karena ia lah langkah yang akan menjadi katalisator langkah-langkah sebelumnya. Ya, sumber segala sumber ilmu adalah Tuhan. Saya termasuk orang yang sangat meyakini bahwa proses mendapatkan ilmu bukanlah semata melalui proses belajar. Bahkan, jauh lebih banyak saya mendapatkan ilmu yang entah dari mana sumbernya, tanpa usaha apapun, begitu saja ia hadir dalam pemahaman saya. Maka saya hampir tidak pernah melupakan untuk berdoa pada Tuhan agar dimudahkan dalam mengambil ilmu yang bermanfaat, dari guru yang mumpuni, secara utuh untuk saya download.

Ilmu yang bermanfaat, sebab belum tentu semua ilmu cocok untuk saya terapkan dalam konteks kehidupan saya. Atau bisa jadi saya masih di tahapan belum sanggup untuk menerima ilmu tersebut. Atau lagi, bisa jadi guru saya memiliki kekurangan yang memang manusiawi beliau miliki. Maka saya berlindung pada Tuhan agar hanya keutamaannya saja yang saya dapat.

Guru yang mumpuni, sehingga ilmu yang saya terima memang merupakan ilmu yang matang, kombinasi kematangan konseptual dan kematangan pribadi. Bukan hanya teori, melainkan plus hasil praktik yang beliau dapatkan sepanjang hidupnya.

Secara utuh, sebab begitu banyak ilmu tidak bisa ditransfer hanya melalui ucapan ataupun tulisan. Ilmu model ini jelas sulit dipelajari oleh pikiran sadar (conscious), namun hanya bisa langsung diterima oleh unconscious. Ilmu yang berada di tataran level unconscious competence.

Tuliskan, ajarkan

Akhirnya, saya selalu teringat pesan dari Imam Ali ra, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Ya, menuliskan ilmu merupakan cara untuk mensistematisasi pelajaran yang kita terima. Yang tadinya berantakan, dengan ditulis ia menjadi rapi plus mudah dievaluasi. Sebab menulis sejatinya adalah menyarikan apa yang kita pelajari. Di dalamnya terkandung proses delesi, distorsi, dan generalisasi yang signifikan sehingga yang muncul pada akhirnya adalah saripatinya.

Nah, setelah menulis inilah biasanya saya jadi jauh lebih mudah ketika ingin mengajarkan, sebab saya sudah memiliki sebuah ilmu yang merupakan hasil racikan saya sendiri, alih-alih membawakan materi orang lain yang belum tentu pas dengan gaya mengajar saya.

Kenapa sih, harus diajarkan?

Ya, karena hanya dengan mengajar maka ilmu kita akan bertambah. Dengan mengajar, saya jadi tahu persis mana bagian yang sudah benar-benar saya kuasai, dan mana yang perlu saya pelajari lebih lanjut. Sementara itu, mengajar justru membuat saya merasa bodoh, terutama saat mendapat pertanyaan yang belum bisa saya jawab, atau menghadapi kondisi kelas yang belum bisa saya kendalikan.

OK, sampai disini dulu. Semoga setelah mengambil yang menurut Anda paling mudah untuk diterapkan lebih dulu, Anda pun mendapati hasil yang sama mengejutkannya dengan saya. Bahkan lebih!

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

3 Comments

  • masya allah pak tedy. benar-benar menyentuh nurani….
    kadang kita memang terlalu banyak guru dan berguru, kesana kemari, tak kenal lelah..!
    tapi kita benar-benar lupa bahwa kita sendiri saja masih belum siap untuk menjadi murid..!

    terimakasih atas pencerahanya…. sungguh memberikan bingkai baru dalam diri..!

    salam senang selalu
    zenu

    nb:
    mohon izin untuk memodel tulisan pak tedy..!
    he he

  • Ratna Listy

    Terima kasih sudah menjadi guruku ya mas Teddy… Kl bikin Seminar aku mau lho diundang jd moderatornya. Hehehe…

  • putu

    terimakasih mas teddy, tulisannya sangat inspiratif sekali..