Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Kita hari ini adalah hasil dari apa yang kita putuskan kemarin.
Kita esok adalah hasil dari apa yang kita putuskan hari ini.
Saya teringat suatu kali pernah berdiskusi dengan seorang sahabat. Setelah membahas berbagai hal, sampailah ia pada pertanyaan, “Siapa kamu?”
Tentu saja saya jawab, “Saya Teddi.”
“Bukan, itu namamu. Siapa kamu?” tanyanya lagi.
Saya pun terperangah, terbengong sebentar, baru kemudian bisa berkomentar, “Iya ya. Selama ini aku pikir jawaban untuk pertanyaan seperti itu adalah dengan menyebutkan nama. Padahal, nama hanyalah sebuah doa yang dipanjatkan oleh orang tua kita, yang bisa jadi sudah, sedang, atau belum terwujud.”
Apalagi jika kemudian ada seseorang yang menggunakan nama beken, yang jauh dari nama aslinya. Bisa jadi ia hanyalah merupakan sebuah julukan yang maknanya begitu dangkal, sehingga sama sekali tidak menggambarkan sosok asli sang pemilik. Maka pertanyaan sederhana seperti di atas rupanya memiliki jawaban yang tak kunjung usai dijawab, tergantung dengan menggunakan kaca mata dan sudut apa.
Sejurus kemudian, pikiran saya bergelayut pada sebuah ungkapan Abraham Maslow, “Ia yang memegang palu, akan melihat segala hal sebagai paku.”
Seketika saya pun bertanya-tanya, “Jangan-jangan, cara saya menjawab pertanyaan ‘Siapa aku?’ ada hubungannya dengan cara saya berpikir dan berperilaku selama ini? Jangan-jangan apa yang biasa saya anggap sebagai sesuatu yang sulit sebenarnya mudah? Jangan-jangan apa yang selama ini saya anggap sebagai karakter saya sejatinya sesuatu yang bisa diubah?” Dan seterusnya.
Cukup lama saya merenungi hal ini, yang sampai kini rasanya belum tuntas. Namun sebuah titik cahaya mulai terkuak ketika saya belajar soal “nominalisasi” dalam NLP.
Nama adalah Nominalisasi
Ya, nama adalah nominalisasi. Dan nominalisasi? Adalah proses pembendaan (nomina) terhadap sesuatu yang bukan benda. Sebagai contoh, kata pendidikan adalah kata benda. Namun kalau kita telusuri di dunia ini, takkan pernah kita bisa menemukan benda yang bernama pendidikan. Ia adalah label yang diberikan kepada seperangkat sistem untuk mendidik manusia, sehingga mudah dan praktis disebut. Begitu pula dengan kebahagiaan, kesuksesan, dll. Kesemuanya tak berwujud, namun seolah memiliki bentuk.
Bagaimana dengan nama seseorang? Bukankah ia memiliki wujud, yakni sang pemilik?
Ya dan tidak. Nama seseorang amat berbeda dengan nama benda. Seorang manusia memang memiliki wujud, namun ia tidak pernah statis seperti layaknya benda. Manusia adalah makhluk dengan jiwa dan tubuh yang selalu tumbuh dan berkembang, berubah seiring bertambahnya usia. Maka tak heran jika banyak orang sering mengalami kondisi yang disebut pangling, karena seseorang yang dikenalnya mengalami perubahan yang signifikan, baik secara fisik maupun psikologis. Kondisi pangling ini terjadi sebab kita menyimpan ingatan tentang nama seseorang dan menempelkannya pada sosok yang kita ingat saat terakhir kali berjumpa. Sehingga ketika bertemu kembali dan teryata sosok tersebut telah berubah, seketika trance pun dialami yang membuat ingatan tersebut harus direvisi.
Maka menjawab pertanyaan “Siapa Aku?” hanya dengan menyebutkan nama jelas amat tidak tepat. Karena sang diri ini telah berkembang begitu kompleks sehingga bisa jadi sang nama tak sanggup lagi mewakili. Pertanyaan ini harus dijawab dengan proses masuk ke dalam, membedah satu demi satu, aspek demi aspek, detil demi detil, sampai akhirnya bertemu dengan cetak biru yang mendasari terbentuknya perilaku. Pun proses seperti ini takkan sanggup menjawab semuanya, lagi-lagi dikarenakan sang diri pun terus berevolusi tanpa henti.
Menggunakan NLP Untuk Mengenal Diri
Titik keunikan NLP adalah terletak pada pakem “the difference that makes a difference”. Perbedaan yang membedakan. Secara operasional, bentuk riilnya adalah mempelajari struktur sebuah perilaku, alih-alih berkutat dengan isinya.
“Bukan soal apa yang Anda katakan,” kata sebuah pepatah, “melainkan bagaimana Anda mengatakannya.” Tidak cukup sekedar mengatakan, “I love you,” melainkan harus mengatakannya dengan penuh ketulusan dan kesungguhan agar ia punya efek menukik ke dalam hati yang mendengar.
Sementara telah begitu banyak ilmu mengkaji soal “apa” yang kita katakan, maka NLP fokus pada “bagaimana” kita mengatakannya. Maka ia pun seringkali didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang “struktur dari pengalaman subyektif”.
Maka memberdayakan NLP dalam rangka mengenal diri adalah menggunakannya untuk mengenali struktur subyektif diri ini. Dalam “NLP Communication Model” atau yang sering juga disebut dengan “Human Model of the World”, diuraikan bahwa sumber dari sebuah perilaku adalah kondisi pikiran-perasaan atau state of mind. Karenanya, mengubah perilaku sejatinya adalah proses mengubah state of mind yang menaunginya. Tentu sulit bagi Anda tersenyum bahagia jika kondisi pikiran-perasaan Anda sedang berduka, bukan? Kalaupun Anda bisa tersenyum, orang tentu akan begitu mudah menyadari bahwa senyuman Anda adalah sekedar penghibur hati. Begitu pula sukar bagi Anda menyembunyikan rona wajah keceriaan saat hati sedang bersuka ria, meski Anda berusaha keras untuk tetap terlihat tenang.
Lalu darimana datangnya state of mind?
Dari integrasi yang harmonis antara persepsi (lebih beken dengan istilah representasi internal, dalam NLP) dan gerakan tubuh (fisiologi). Pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, kata salah satu pakem dalam NLP. Maka suasana sedih adalah kesatuan antara posisi tubuh yang mendukung untuk merasa sedih, yang berjalin kelindan dengan pikiran yang dipenuhi ingatan tentang kesedihan. Sebagaimana suasana semangat nan antusias adalah perkawinan antara tubuh yang segar berirama dengan pikiran yang fokus pada hal-hal yang mungkin.
Gerakan tubuh lebih mudah nan praktis untuk mengubah state of mind, hanya tanpa pengubahan persepsi, ia selayaknya P3K semata. Sementara pengubahan persepsi relatif sedikit lebih kompleks, namun memiliki efek yang jauh lebih permanen. Inilah yang sering disebut oleh para motivator sebagai mindset.
Nah, sampai di sini, maka mengenal diri menggunakan kacamata NLP adalah proses membedah sumber perilaku sang diri dengan mempelajari efek gerakan tubuh dan struktur persepsi yang kita miliki. Dengan memahami cara keduanya bekerja, kita bisa dengan mudah mengendalikan serta mengarahkan perilaku untuk mencapai hasil yang kita inginkan. Persis seperti bunyi sebuah pepatah, “Yang kita sadari, bisa kita kendalikan. Yang tidak kita sadari, mengendalikan kita.”
Bagaimana persisnya? Kita mulai dari…
Mengenal Soal Mind
Meskipun kata mind seringkali diterjemahkan sebagai pikiran yang melulu bersifat intelektual, saya lebih sepakat bahwa ia dipahami layaknya dalam ilmu psikologi: the totality of conscious and unconscious mental processes and activities. Maka mind bukan hanya soal kognitif, melainkan juga afektif dan psikomotorik. Bukan hanya soal intelektual, melainkan juga emosional dan fisikal. Ia tidak hanya yang menyebabkan Anda dan saya bisa berpikir secara rasional, melainkan juga merasa, dan berperilaku.
Agak bingung?
Bagus. Saya beri ilustrasi. Pikirkan seseorang yang Anda cintai. Lihat wajahnya, dengar suaranya, sepenuhnya.
Aha, bukankah Anda tak bisa menahan munculnya rasa cinta, padahal ia tak secara sengaja Anda munculkan?
Contoh sederhana ini membuktikan bahwa pikiran dan perasaan memang tak pernah saling melepaskan diri, meski sains konon berusaha memahaminya secara terpisah. Pada kenyataannya, saat seseorang merasa tak berdaya, maka ingatan buruk lebih mudah terpikir. Begitu pun ketika ia sedang memikirkan bonus akhir tahun, tak kuasa ia menahan kegembiraan.
Nah, sebagaimana definisi yang telah saya sebutkan di atas, mind memang meliputi proses conscious dan unconscious. Sebuah pembedaan yang paling banyak dikenal di ranah NLP dan hipnosis, di samping bahasan-bahasan lain seperti subconscious, super conscious, dll.
Karena saya ingin mengajak Anda untuk dapat segera mempraktikkannya, maka kita ambil yang mudah saja. Toh, ini semua hanya asumsi, yang bisa berubah seiring waktu.
Mind ada dua, conscious mind dan unconscious mind. Ada banyak cara untuk menerangkan keduanya, dan saya memilih yang paling praktis. Pada intinya, conscious mind adalah segala sesuatu yang Anda pilih untuk sadari saat ini. Maka tulisan yang sedang Anda baca ini sedang berada dalam conscious mind Anda, mungkin bersama dengan beberapa hal lain.
Sementara itu, sisanya yang jauh lebih banyak, berada di unconscious mind. Ia adalah segala hal lain yang sedang tidak Anda sadari dan menjalankan perannya masing-masing dalam diri Anda. Anda tak perlu berpikir tentang bagaimana menggerakkan kaki untuk bisa berjalan lurus, bukan? Ya, karena cara berjalan yang baik telah teregister dengan amat kokoh dalam unconscious mind Anda. Unconscious mind adalah kumpulan entah berapa banyak pembelajaran yang telah menjadi kebiasaan selama hidup, baik dipelajari secara sadar maupun tidak.
Maka conscious dan unconscious mind adalah dua bagian yang bekerja saling melengkapi. Conscious berfungsi penting dalam hal akuisisi pengetahuan dan keterampilan, sementara unconscious menjadikannya sebuah sistem yang berjalan otomatis sehingga hidup jadi mudah. Di awal belajar sepeda, seseorang perlu memperhatikan begitu banyak hal, mulai dari arah stang, gerakan kaki saat mengayuh, menjaga keseimbangan, dst. Begitu lancar dan menjadi keterampilan, maka hal-hal tersebut tak lagi jadi perhatian, sehingga ia bahkan bisa dengan mudah melepaskan tangan.
Ah, Anda tentu ingat pertama kali belajar membaca dan menulis, bukan? Betapa rumitnya memahami fungsi huruf, merangkainya menjadi kata, lalu kata menjadi kalimat. Dan sekarang? Semuanya begitu ringan nan sederhana.
Dalam unconscious mind lah tersimpan segala program yang menurut bahasa psikologi disebut sebagai karakter, bakat, kepribadian, dan lain sebagainya. Dalam unconscious mind pula terkandung berbagai program yang menurut bahasa NLP dikenal sebagai identitas diri, keyakinan, kemampuan, dan perilaku.
Maka proses pengenalan diri menggunakan NLP adalah proses untuk mengenali dan memahami cara kerja berbagai program yang terinstal dalam kedua bagian mind ini. Jauh lebih banyak program kita berada pada unconscious, maka dari sana lah kita pertama kali akan memulai perjalanan. Begitu dikenali, dan diputuskan untuk diubah, maka kita pun memerlukan conscious mind untuk memasukkan Informasi baru guna dikembangkan menjadi perilaku yang diinginkan.
Semisal, seorang manajer penasaran bagaimana bisa memotivasi anak buahnya untuk mulai berpikir konseptual daripada hanya memerhatikan hal-hal detil dalam pekerjaannya. Setelah ditelusuri, dikenali bahwa hal ini disebabkan oleh kebiasaannya yang selalu fokus untuk meneliti satu demi satu pekerjaan anak buahnya setiap kali membaca sebuah laporan. Tidak heran, mereka pun fokus pada hal tersebut.
Begitu mulai mengenali pola perilakunya, sang manajer pun bersegera menyelami berbagai program yang melatarbelakangi kebiasaannya tersebut. Setelah beberapa waktu, ia pun menyadari adanya sebuah keyakinan yang tertanam kuat semenjak ia pertama kali bekerja. Sebuah keyakinan yang diajarkan oleh salah seorang atasan yang amat berpengaruh, “The devil is always in the details!” Demikian kalimat yang berulang kali ia dengar hingga menjadi keyakinan yang begitu mendarah daging selama karirnya.
Menyadari program ini, ia pun segera mempelajari struktur dan cara kerja keyakinan tersebut. Bekal NLP jelas amat praktis untuk melakukan proses ini. Sampai di sini, maka ada banyak pilihan model dan teknik yang dapat digunakan untuk melakukan upgrade terhadap keyakinan lama dan menyesuaikannya dengan kondisi yang kini dihadapi. Nah, saya sendiri lebih cocok dengan istilah upgrade daripada menghapus atau mengubah. Sebab tidak ada keyakinan yang buruk, yang ada hanyalah keyakinan yang perlu diperluas sehingga lebih fleksibel dengan berbagai situasi. Sebagai contoh, jika waktu kecil seorang anak bisa menangis karena tidak mendapat permen, maka setelah dewasa ia tetap bisa menangis, namun untuk alasan yang jauh lebih kompleks daripada tidak dapat permen.
Selesai di sini?
Tentu tidak. Ia tetap harus memulai langkah riil untuk menjadikan keyakinan baru ini kokoh layaknya keyakinan yang lama, melalui implementasi sehari-hari, sehingga menjadi tanggung jawab unconscious mind kembali.
Nah, inilah yang saya maksud dengan menyelami unconscious mind, mempelajari strukturnya secara conscious, kemudian melatihnya hingga kembali pada unconscious mind.
Untuk melakukan hal ini, kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana persisnya pikiran kita mengakuisisi dan memproses informasi. Ah, kita bahas di artikel berikutnya, OK!