• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • 1 Comment

Cukup sering saya ditanya, “Pak, apakah seorang yang belajar NLP tidak bisa sedih, marah, atau merasakan emosi negatif lainnya?”

Ah, sebuah pertanyaan yang menggelitik. Di tengah maraknya berbagai ilmu pengembangan diri, utamanya yang berbasis mind technology, kata-kata emosi negatif seolah-olah hanya miliki emosi-emosi seperti marah, sedih, dendam, dengki, kecewa, dan kawan-kawannya. Sementara emosi-semosi seperti senang, gembira, semangat, antusias, dan sobat-sobatnya, dengan sendirinya masuk ke dalam kelompok emosi positif.

Dulu, saya sempat sepakat dengan pelabelan ini. Sampai, saya kembali dihadapkan pada salah satu presuposisi NLP sendiri, yang mengatakan, every behavior has its usefulness, in some context. Setiap perilaku, setiap hal, selalu memiliki manfaat, dalam konteksnya masing-masing.

Hmm…pikiran saya pun mengembara pada sebuah ajaran yang mengatakan bahwa tiadalah Tuhan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Maka kelompok emosi yang digolongkan negatif seperti di atas, tentulah memiliki fungsi dan manfaat, dalam konteksnya sendiri-sendiri.

Masuk akal. Tapi bagaimana riilnya? Bagaimana persisnya rasa sedih itu bermanfaat?

Saya pun segera teringat sebuah nasihat bijak yang mengatakan, “Sumber segala masalah, adalah ketidakseimbangan.”

Ya, segala sesuatu yang seimbang, pas, selalu serasi. Yang ketika titik keseimbangannya—homeostatis istilah biologinya—terganggu, ia pun memicu sebuah masalah, yang sejatinya adalah proses mencari titik keseimbangan baru.

Mari kita tengok seseorang yang sedang makan makanan favoritnya. Dalam porsi yang tepat, ia akan merasakan sebuah kenikmatan yang tiada tara. Namun cobalah tambahkan porsinya, hingga 2-3 kali lipat. Maka rasa nikmat pun segera berganti dengan rasa kenyang tak tertolong, yang bahkan dapat mengakibatkan sakit perut.

Menulis tentang hal ini, sebuah memori pun menyeruak dalam benak saya. Memori tentang saat pertama kali saya mempelajari bela diri dulu. Betapa sekujur tubuh sakit luar biasa, di minggu pertama saya menjalani proses latihan nan keras itu. Anehnya, berjalan minggu kedua dan seterusnya, tubuh saya seolah menyesuaikan dirinya sendiri, dan justru menjadi segar setiap kali selesai berlatih. Hasilnya, selama 2 tahun saya latihan intensif 3 kali seminggu, saya tidak pernah sakit sama sekali.

Indah?

Tidak. Di tahun ketiga, ketika saya mulai banyak aktif di kegiatan lain, porsi latihan pun menurun drastis. Maka titik keseimbangan kebugaran tubuh yang telah terbentuk pun terganggu. Walhasil, dalam hitungan bulan, ragam penyakit macam influenza mulai sesekali menghinggapi. Begitu juga dengan stamina yang jauh menurun, dibanding ketika rajin berlatih dulu.

Ah, apa pula hubungannya kisah-kisah ini dengan bahasan soal emosi?

Amat erat.

Belakangan saya baru memahami, bahwa emosi adalah layaknya alarm pemberi peringatan. Ia bekerja ketika ada sebuah kondisi tak standar. Dan seiring dengan perkembangan kondisi diri, standar ini pun bisa berubah.

Mari kita tengok seorang anak kecil yang sedang menangis. Apa saja penyebabnya? Bisa jadi karena tidak mendapat mainan atau makanan yang diinginkan, diisengi oleh saudara atau kawan, dimarahi oleh orang tua, dan sebagainya.

Pertanyaan saya, apakah penyebab menangisnya seorang anak kecil, jika terjadi pada kita yang dewasa ini, akan menimbulkan efek menangis yang sama? Akankah kita menangis akitab tidak mendapat permen atau mainan?

Ah, rasanya konyol, ya?

Sisi lain, jika hal-hal remeh tersebut sudah tak berarti bagi kita, hilangkah kemampuan menangis kita? Hilangkah emosi sedih kita?

Tentu tidak, bukan?

Kita mutlak masih bisa menangis dan bersedih, namun dengan penyebab yang berbeda. Mungkin karena kehilangan orang yang dicintai, masalah dalam pekerjaan, kondisi rumah tangga, dan seterusnya.

Dari sini, saya pun kemudian memahami bahwa berarti emosi sedih sejatinya hanyalah penanda akan adanya sebuah kondisi yang harus diatasi. Menangisnya seorang anak, misalnya, sebab ia merasa sedih akan hak yang tak kunjung ia peroleh, atau hak yang diambil oleh orang lain. Maka ketika kita atasi sebab tersebut, berhentilah tangisnya. Begitu pula menangisnya seorang dewasa akibat sedih oleh masalah pekerjaan, seketika terhenti saat solusi didapat.

Nah, bagaimana dengan marah?

Silakan tengok. Bukankah ada begitu banyak hal, yang dulu membuat kita marah, namun kini tidak lagi? Maka marah pun adalah sebuah penanda darurat akan adanya sebuah kondisi yang patut dicarikan solusinya. Yang ketika solusi itu muncul, redalah marahnya, bahkan bisa seketika berganti tawa.

Aha! Berarti, emosi negatif itu penting donk?

Bukan penting. Tapi penting banget! Sebab ia ibarat alarm kebakaran berbunyi akibat ada api. Maka mencoba menghilangkan emosi negatif tanpa menyelidiki dan mengatasi sumbernya, sama saja dengan mematikan alarm kebakaran, tanpa peduli bahwa mungkin ada sumber api yang masih menyala.

Wow! Bahaya juga ya?

Sangat. Maka pada sahabat yang bertanya di atas, alih-alih memberikan tips dan teknik, saya lebih senang mengajaknya masuk ke dalam diri, sembari bertanya mengapa sang emosi masih jua dirasakan? Apa sumbernya? Bagaimana ia ingin diatasi? Persis seperti nasihat Bapak Hipnoterapi Modern, patient is a patient because he lost rapport with his unconscious mind. Seseorang mengalami masalah, biasanya sebab ia kehilangan keakraban dengan dirinya sendiri. Menggunakan analogi alarm di atas, kita tidak perlu mendengar suara alarm jika sudah begitu jeli mengenali tanda-tanda adanya api dan segera mengatasinya. Begitu pula dengan emosi negatif. Kita tidak perlu merasa marah, jika kita begitu akrab dengan diri, sehingga jeli merasakan tanda-tanda adanya kondisi yang tidak standar dan segera mengatasinya.

Contohnya donk. Jangan teori mulu.

Ah, baiklah.

Saya teringat seorang sahabat yang merupakan manajer di sebuah perusahaan terkemuka. Satu kali ia mengeluh, begitu pusing sebab beberapa orang karyawan andalannya mengundurkan diri. Tak sekedar pusing, ia mulai merasa tak nyaman dan aman dengan pekerjaannya. Khawatir banyak proyek tak terselesaikan, dan karir adalah taruhannya.

Maka alih-alih menggunakan berbagai jurus untuk membantunya mengatasi rasa khawatir tersebut, saya memilih untuk mengajaknya merenungkan penyebab sang khawatir turun gunung.

Obrolan demi obrolan pun berlanjut, hingga saya yang hanya bermodal keterampilan bertanya ini pun mulai melihat perubahan pada dirinya, terutama saat ia menyadari bahwa penyebab sang khawatir muncul adalah ketidaksiapannya akan kader pengganti karyawannya yang pindah. Ia sebenarnya senang, karena mereka mendapatkan tempat kerja yang lebih baik. Ini sejatinya membuktikan bahwa selama ini ia juga telah berhasil menjadi pendidik yang baik bagi mereka.

“Iya ya. Semestinya aku bangga loh mereka dapat pekerjaan yang lebih baik. Berarti apa yang kulakukan selama ini berhasil meningkatkan nilai jual mereka,” ujar sahabat ini.

Nah, diskusi terakhir inilah yang kemudian membukakan mata dan hatinya, akan keahliannya dalam mendidik orang lain. Maka senyumnya pun mengembang, ketika sebuah tanya hinggap, “Apa yang menghalangimu untuk secepat mungkin mencari pengganti yang potensial, lalu menggunakan keahlianmu dalam mengajari mereka, persis seperti pernah kamu lakukan pada para karyawan lulus itu? Apalagi, jelas sekarang keahlianmu kini pasti jauh lebih baik dibanding dulu.”

Singkat cerita, meski perlu waktu, rasa pusing tak pernah lagi ia rasakan mengganggu. Justru, rasa pusing menjadi sebuah tanda akan perlunya ia mencari cara-cara baru menyelesaikan pekerjaan.

Kembali pada pertanyaan di awal artikel ini, saya pun teringat ucapan bijak, “Sedih pada tempat dan kadarnya itu penting, sebab ia melembutkan hati. Marah pada tempat dan kadarnya itu penting, sebab ia melindungi diri dari kesewenang-wenangan yang sulit dinasihati.”

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment

  • Jadi emosi itu sah ya, dan sebenernya baik, karena merupakan tanda. Jadi ga perlu dimatikan.
    Masalahnya kadang kita seringkali kesulitan menemukan subernya, gimana.
    Bagaimana saya dapat temukan akar permasalahannya?
    Ada advice ga?