• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • 1 Comment

“Kesabaran adalah Matahari”

Demikian sebuah tulisan terpampang di belakang kaus para pelayan salah satu kedai makan di Jogja, beberapa tahun yang lalu saat saya masih kuliah. Sungguh saya bingung apa maksud tulisan tersebut saat pertama kali membacanya. Sebagai Informasi, kedai ini amat terkenal aneka sambalnya yang selalu bikin kita makin dekat dengan Tuhan, sebab sering kepedasan dan mengucap “Allahu Akbar” atau “Subhanallah”.

Setelah beberapa kali makan disana, barulah saya sadar penyebabnya. Ya, kedai ini memang istimewa. Sebab hidangan sambal beraneka rasa yang mereka sajikan, rupanya dibuat tepat saat dipesan agar benar-benar segar. Jadilah, kedai yang makin lama makin ramai ini pun memerlukan waktu beberapa saat lebih lama dibandingkan dengan kedai lain dalam menyajikan menu pesanan. Ah, wajar lah, jika setelah pelayan mencatat pesanan kemudian berlalu, para pelanggan seketika dihadapkan pada tulisan di atas, “Kesabaran adalah Matahari”. Alias, “Sabar yeee…”

Bicara soal sabar, memori saya pun melayang ke sebuah buku berjudul “The 7 Laws of Happiness”, karya Pak Arvan Pradiansyah. Buku luar biasa ini rupanya benar-benar menggelitik pemikiran saya yang memang sejak belajar NLP gemar melakukan cracking terhadap berbagai kondisi pikiran dan perasaan. Kesederhanaan bertutur sang penulis pun mencerahkan saya ketika mulai membaca uraian tentang sabar. Lebih dari sekedar berbicara soal teori atau keutamaan sabar, beliau menjelaskan beberapa konsep yang menurut saya sangat mungkin di-crack dengan NLP.

Sabar bukanlah mengurut dada.

Memahami menggunakan kerangka submodality, mengurut dada adalah sebuah kegiatan mengamplifikasi alias meningkatkan intensitas sebuah kondisi pikiran-perasaan. Alih-alih membuat kira sabar, justru seringkali menjadikan kondisi marah, kesal, benci makin menjadi.

Eh, tapi tunggu dulu. Ada yang menarik di sini. Kata kuncinya ada pada kata ‘mengurut’. Alih-alih mengurut, ada sementara orang yang ketika ingin bersabar malah menggosok-gosok dadanya. Padahal, jika diperhatikan, para tukang urut bukanlah menggosok-gosok kaki yang pegal, melainkan mengurutkannya searah. Misal, mengurut kaku dari lutut hingga telapak kaki, lalu mengulanginya kembali dari lutut ke telapak kaki.

Nah, dengan cara demikian, maka istilah mengurut dada bisa jadi tepat. Sebab saat seseorang merasakan sebuah kemarahan pada dadanya, lalu ia memegang rasa itu dengan salah satu tangan, kemudian mengurutnya dengan mengarah ke luar tubuh, yang terjadi adalah proses pengubahan submodality. Apalagi jika disertai dengan hembusan nafas yang dipaketkan dengan membayangkan seolah sedang melepas  rasa marah itu.

Ah, mungkin Anda penasaran dengan efeknya. Coba sendiri deh!

Sabar itu menyatukan tubuh dan pikiran.

Kalimat ini sungguh mengguncang diri saya. Betapa tidak? Begitu sederhananya konsep sabar, sehingga saya tak habis pikir mengapa seringkali seseorang bingung bagaimana ia bisa bersabar.

Mengapa seseorang tidak sabar?

Sebab tubuh dan pikirannya tidak menyatu. Tubuh di satu tempat, pikiran di tempat lain. Tubuh di kendaraan merasakan macet, pikiran sudah melayang sampai di rumah. Tubuh masih menjadi seorang staf, pikiran sudah melayang menjadi direktur. Tubuh sedang antri di nomor 59, pikiran sudah pergi ke nomor 1. Dan seterusnya.

Seseorang tidak sabar, sebab tubuh dan pikirannya berjalan sendiri-sendiri. Maka cara mudah bersabar adalah menyatukan tubuh dan pikiran. Dimana tubuh berada, disinilah pikiran turut menikmati.

Caranya?

Silakan cek saat biasanya Anda tidak sabaran. Misal, saat berada di kemacetan. Sementara tubuh sedang berada di kendaraan, dan perasaan berkecamuk, apakah yang sedang Anda pikirkan? Film apa yang sedang Anda putar?

Aha! Bukankah ia tidak selaras? Mungkin Anda sedang memutar film saat ketika sudah sampai di rumah dan bersantai. Maka ketika Anda ingin bersabar, mengapa tidak pegang remote control Anda, dan ganti channel film yang sedang Anda putar dengan film kondisi di sekitar tempat Anda berada. Ya, di kemacetan ini.

Apa yang Anda lihat? Perhatikan. Apa yang Anda dengar? Dengarkan. Apa yang Anda rasakan? Nikmati.

Sehingga saat Anda sudah dapat memikirkan, sepenuhnya, apa yang sedang Anda alami, kemacetan ini, sekarang, bukankah sebuah rasa tenang seketika hadir dalam hati, tanpa Anda tahu bagaimana caranya?

Ada yang menyebut kondisi seperti ini here and now, awareness, dst. Pada intinya, menyatukan kembali tubuh dan pikiran, untuk menikmati saat ini.

Sabar adalah menikmati proses, tanpa terganggu dengan hasil akhir.

Sebab satu-satunya waktu yang kita miliki adalah saat ini. Yang kemarin sudah lewat. Yang esok belum tentu sempat dialami. Maka sejatinya tugas manusia adalah bersabar, alias menjalani saat ini dengan sungguh-sungguh, tanpa terlalu banyak memikirkan hasil akhir.

Ups, bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa kita tidak memerlukan target. Tentu saja kita perlu target, impian, visi, dan lain-lain. Dan setelah ia begitu jelas dan nyata dirumuskan, maka eksekusinya di masa kinilah yang akan menentukan apakah ia sekedar mimpi atau aksi.

Caranya?

Mari tandai apa yang muncul dalam pikiran saat sedang tidak sabar menjalankan berbagai tugas yang menjadi tanggung jawab kita.

Apa filmnya? Apa suaranya? Apa rasanya?

Sudah? Bagus!

Persis sama dengan proses sebelumnya, segera ganti filmnya, dengan warna dan efek yang lebih meriah dan menggairahkan. Ganti atau tambah dengan soundtrack yang menyemangati diri. Lalu sebarkan perasaan yang telah muncul, ke seluruh tubuh. 

Saya teringat sebuah ungkapan yang mengatakan, “Kecepatan, seringkali mengurangi penghayatan.” Era serba cepat ajarkan manusia kini untuk memiliki kesabaran yang menipis. Padahal, dalam setiap perjalanan, seringkali terdapat banyak kenikmatan yang mubazir untuk dilewatkan. Bukankah jika sedang memakan makanan favorit kita tak ingin buru-buru, dan menikmati setiap suapan?

Nah, saya penasaran, berapa banyak hal yang segera dapat Anda kerjakan dengan penuh kesabaran, segera setelah Anda memutuskan untuk memulai praktiknya, sekarang?

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment

  • Nova

    Lebih nikmat rasanya stelah dicrack dgn NLP. Pdahal bukunya Bang Arvan dah jd bantal, jd semangat untk membacanya lg. Makasih Mas Ted 😀