• Teddi Prasetya
  • NLP Practice, NLP Reflections
  • 2 Comments

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Tak terasa, sudah separuh Ramadhan terlalui. Sungguh hati bercampur rasa, antara cemas dan harap. Cemas, akankah diri ini termasuk yang semata mendapat lapar dan dahaga. Harap, semoga segala kekurangan digenapkan sempurna sebab kemurahanNya.

Sementara harap dan cemas menyatu, terngiang suara para guru yang mengajarkan bahwa makna puasa adalah menahan. Secara fisik, ia menahan makan, minum, dan berhubungan seksual. Secara psikis, ia menahan segala kegiatan hati dari munculnya rasa marah, dengki, iri, dan kawan-kawannya.

Menahan. Kata ini begitu menelisik pikiran. Mendalami NLP, pikiran ini pun terbiasa untuk mencari struktur sebuah perilaku. Dan memikirkan kata menahan, sebuah tanya  terbetik, “Apa sebenarnya struktur dari menahan?”

Ah, memang sebuah tanya takkan tersia-sia, sebelum ia mendapat jawabannya. Dan satu jawaban terbayang, “Bukankah menahan adalah proses disosiasi?”

Wah, benar juga ya? Mari sama-sama cermati kondisi seseorang yang sedang menahan diri dari sesuatu. Alih-alih melibatkan diri (asosiasi), ia berusaha keras untuk menjauhkan diri.

Maka puasa, yang hakikatnya adalah berlatih menahan, adalah sebuah kegiatan mendisosiasikan diri dari hal-hal yang telah menjadi kebiasaan. Dengan disosiasi, kita mengambil jarak dari program yang telah secara otomatis berjalan.

Dan apa konsekuensi dari disosiasi?

Tidak terlibatnya emosi secara intens, yang memungkinkan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa secara ‘obyektif’.

Maka rasa penasaran beberapa waktu lalu pun mulai mendapat jawaban. “Mengapa orang yang berpuasa, hanya dengan memasukkan sedikit saja makanan ketika berbuka, sudah merasa kenyang? Sementara di luar puasa, hampir tiap jam makanan dan minuman mampu dimasukkan ke dalam lambung nan sempit ini, tanpa rasa kenyang barang setitik?”

Ah, memang, disosiasi kiranya membuat diri ini mampu melihat lebih jernih, hingga membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan tubuh sejatinya tak seberapa, dan tak memandang selera, sejauh ia bergizi. Namun keinginan jiwa, yang tanpa batas jika tak dikendalikan, mampu membuat tubuh ini seolah mesin penggilas yang tak henti bekerja.

Ini baru soal pola makan. Bagaimana dengan soal pola pikir dan pola rasa?

Manfaat yang sama pun terasa. Saat lisan ini terbetik untuk bergosip, sebab puasa ia terhenti. Dan berapa kali kiranya dalam sehari ia dihentikan seperti ini? Ah, hampir tak terhitung. Yang berarti, hampir tak terhitung pula biasanya lisan ini begitu mudah membicarakan aib orang lain!

Mari sejenak cermati mata. Sebab puasa, ia jadi dipaksa untuk mengalihkan diri dari hal-hal yang tak selayaknya dilihat. Dan berapa kali ia harus mengalihkan diri? Hampir tak terhitung pula. Yang berarti, entah telah seberapa tinggi tumpukan dosa yang dihasilkan selama ini!

Ah, puasa. Betapa ia sebuah metode sederhana yang diperintahkan oleh Tuhan, namun memiliki jutaan makna?

Di bulan puasa, hampir tiap orang mampu mengatur jam kerjanya hingga lebih singkat, untuk mengejar waktu ibadah. Sementara di bulan lain, ibadah seolah nomor dua, setelah ‘kewajiban’ kerja terselesaikan.

Bukankah ini menyadarkan pula bahwa bisa jadi selama ini persoalan kerja sejatinya adalah soal keinginan, alih-alih kebutuhan? Buktinya, toh kini ia bisa dikerjakan dengan efektif, tanpa banyak menyita waktu, bahkan terluang sekian banyak untuk ibadah.

Bagaimana ini mungkin?

Ya sebab puasa. Sebab menahan, sebab disosiasi. Hingga kita mampu melihat banyak hal dalam hidup lebih obyektif, mengevaluasinya, plus melakukan perbaikan terhadapnya.

 

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

2 Comments

  • Ketika berjarak dengan sesuatu, menjauh dari sebuah titik, tidakkah kita pun sedang berdekatan dengan sesuatu?

    Apa karena, saat berpuasa kita sedang berdekatan dengan sumber nilai-nilai dasar dan keyakinan seorang manusia?

    Lebih membuka mata atas jawaban yang sebagiannya tersedia, dalam tulisan di atas. Terima kasih, kang Teddi.