• Teddi Prasetya
  • Coaching, NLP Reflections
  • No Comments

Abraham Maslow menyebutnya self actualized people. Carl Rogers, rekan seperjuangannya dalam membesarkan mazhab ketiga psikologi—Psikologi Humanistik—menyebutnya fully functioning person. Mudahnya, ia adalah orang-orang yang telah tumbuh sebagaimana mestinya. Menggunakan relasi dengan pendekatan spiritual, ia lah manusia yang menjadi seperti yang Tuhan ciptakan. Orang yang kokoh secara personal, secara karakter, dan kokoh pula secara sosial. Maka Maslow memang konon sempat agak gusar kala istilah aktualisasi diri pernah digunakan secara serampangan demi pembenaran atas tindakan seseorang yang semaunya sendiri, dengan alasan ekspresi diri.

Lalu kini, kita mengenal istilah yang dipopulerkan oleh Stephen R. Covey, Highly Effective People.

Meskipun ada banyak istilah yang berbeda, kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama. Membangun manusia yang seutuhnya. Kalau kita bedah definisi kepemimpinan kontemporer, semisal dari Warren Bennis, maka pemimpin di zaman ini pun didefinisikan demikian: manusia yang berkembang utuh.

Apa pasal yang menyebabkan muara yang sama ini?

Mari kita tengok sedikit sejarah psikologi. Sebuah ilmu yang belakangan didefinisikan sebagai ilmu perilaku manusia, setelah dulu disebut sebagai ilmu jiwa (psyche: jiwa).

Ada beberapa mazhab dalam psikologi. Setidaknya ini psikologi yang berkembang di peradaban barat. Mazhab pertama adalah Psikoanalisa, yang dikembang dan populerkan oleh Sigmund Freud. Mazhab ini berkembang sebagai jawaban atas kebutuhan untuk membantu orang-orang dengan gangguan klinis. Masa perang dunia kala itu memang menghendaki para ilmuwan psikologi untuk banyak berkutat dengan kondisi-kondisi neurotik dan psikotik. Maka teori-teori psikologi yang muncul pun nuansanya sangat terapeutik, karena didasarkan pada riset-riset terhadap klien-klien klinis. Istilah seperti id, ego, dan superego demikian popular menjadi landasan untuk memahami berbagai perilaku manusia. Alasan, sebab kemunculan, sejarah hidup seseorang sehingga mengalami masalah yang ia alami adalah bahan analisa dalam mazhab ini.

Selang beberapa dekade, seiring dengan kebutuhan terapi yang semakin banyak, sedang proses terapi berbasis psikoanalisa yang memakan waktu cukup lama, menjadikan para ilmuwan psikologi kemudian memunculkan berbagai pandangan dan model baru. Sebuah paradigma yang lebih pragmatis, berorientasi pada apa yang tampak, sebab diyakini perubahan perilaku lah sebenarnya yang dikehendaki. Lahirlah mazhab kedua yang disebut dengan Behavioristik. Para ilmuwan behavioristik tak terlalu mendalami kondisi-kondisi kejiwaan secara mendalam sebagaimana psikoanalisa. Mereka lebih menitik beratkan pada modifikasi langsung perilaku yang tidak diinginkan menjadi yang diinginkan. Apa yang terjadi dalam jiwa seseorang dianggap sebagai sesuatu yang misterius (black box), subyektif, dan karenanya tidak terlalu relevan untuk dibahas. Modifikasi perilaku (behavior modification) adalah sekumpulan model dan teknik yang banyak dikembangkan dari mazhab ini.

Lalu terjadilah perang dunia kedua. Kebutuhan akan terapi klinis meningkat. Namun kesadaran akan perlunya membangun kehidupan yang beradab pun mulai muncul. Sebab proses terapi sejatinya adalah tindakan kuratif. Perang, krisis ekonomi, sebenarnya bisa dicegah jika kita memahami cara bagaimana membangun kehidupan yang damai. Titik inilah, konon, yang menjadikan Abraham Maslow dan kawan-kawan memulai sebuah pergerakan menuju paradigma baru.

Kisahnya begini.

Maslow berangkat dari murid para pakar behavioristik. Ia pun disebut-sebut sempat mendalami psikoanalisa. Bahkan ia konon pernah menulis sebuah buku tentang psikologi abnormal, jauh sebelum pandangannya berubah. Lalu apa yang membuatnya mendapatkan pencerahan akan arah baru psikologi?

Pertama, ya kondisi sosiokultural tadi. Yang berujung pada minatnya untuk mendalami motivasi manusia dalam bertindak, hingga berkontribusi pada bagaimana menciptakan perdamaian dunia.

Kedua, ia sempat belajar pada Ruth Benedict—seorang antropolog—dan Max Wertheimer—seorang pakar psikologi gestalt. Kagum pada kedua orang ini, baik secara profesional maupun personal, ia kesulitan menemukan bagaimana menjelaskan fenomena mereka berdua didasarkan pada teori-teori psikologi yang ia miliki. Keduanya begitu utuh, ‘hidup’, ‘wonderful human being’. Tak satupun teori klinis mampu menggambarkan dinamika psikologis mereka. Maka selaras dengan keinginannya berkontribusi pada perdamaian dunia, ia pun mengubah arah penelitiannya. Alih-alih meneliti orang yang berada dalam kondisi klinis, ia meneliti orang-orang yang kemudian ia sebut sebagai self actualized. Penelusurannya kemudian berbuah sebuah buku fenomenal bertajuk “Motivation and Personality”. Di dalamnya ia menjabarkan penelitian panjangnya tentang hirarki kebutuhan, ­metaneeds, metamotivation, self actualizing person, dan peak experiences. Lalu lahirlah mazhab Psikologi Humanistik.

Kini, ide tentang aktualisasi diri mungkin teramat biasa. Namun di masanya, di kala psikologi begitu gandrung dengan asosiasi bebas dan modifikasi perilaku, ide ini sungguh revolusioner.

Lalu, apa hubungannya dengan NLP? Kok di judul saya tulis NLP?

Nah, ini menariknya. Adalah Michael Hall, salah satu pendiri Neuro Semantic, yang pada kurun waktu tertentu tertarik dengan dari mana NLP berasal? Ide untuk memodel para ahli sejatinya teramat brilian. Bagaimana ia muncul?

Singkat cerita (panjangnya nanti dalam artikel lain ya), setelah sekian lama menggeluti bidang psikologi dan NLP (Hall adalah seorang doktor psikologi dan psikoterapis), baru ia menyadari akan beberapa hal.

NLP bermula dari Richard Bandler dan John Grinder. Bandler bekerja di sebuah penerbit bernama Science and Behavior Books, yang kala itu banyak menerbitkan karya dari Fritz Perls, seorang pakar terapi Gestalt. Perls yang sudah sepuh tak sanggup menulis sendiri, maka jadilah buku-bukunya merupakan transkrip dari rekaman yang ia lakukan. Siapa yang mentranskrip? Richard Bandler. Berkali-kali mendengarkan Perls, Bandler mulai meniru apa dikatakan Perls, bahkan hingga mampu menyamai nada suaranya. Konon, Robert Spitzer, sang pemilik penerbit, sempat tanpa sadar menyebut Bandler dengan “Fritz” kala mendengar suaranya. Ya, Bandler adalah seorang mimicker. Sangat ahli meniru perilaku orang lain.

Bandler kuliah di University of California Santa Cruz, tak jauh dari Esalen. Di sana, mahasiswa tahun keempat diizinkan untuk membuat sebuah workshop dengan pengawasan seorang asisten profesor. Maka Bandler pun membuat Gestalt Therapy Group, cikal bakal grup NLP. Siapa pengawasnya? John Grinder, asisten professor, ahli linguistik, pakar kodifikasi bahasa. Klop sudah. Satunya jago meniru, yang darinya muncul pemikiran, “Kalau saya bisa, berarti orang lain pun bisa. Tapi bagaimana?” Nah, soal tapi bagaimana inilah keahlian Grinder. Mereka pun berkolaborasi bersama banyak peminat lain, yang kemudian menjadi sebuah kelompok studi yang ‘gila’ bereksperimen. Proses memodel pun berlanjut pada Virginia Satir dan Milton Erickson.

Ini kisah standar sejarah NLP.

Sisi lain yang jarang dibahas adalah: siapa Perls? Siapa Satir? Siapa Erickson?

Fritz Perls tinggal di Esalen. Esalen adalah sebuah lokasi mirip Silicon Valley untuk dunia IT. Dirancang sebagai kawah candradimuka pengembangan Human Potential Movement, yang diawali oleh Maslow dkk. Jadi, Perls adalah salah satu tokoh psikologi humanistik. Mungkin bukan kebetulan kalau ia dibantu menerbitkan buku oleh Science and Behavior Books, sebab letak Esalen memang dekat dengan USC di Santa Cruz.

Ah, mulai kelihatan benang merahnya?

Lalu siapa Virginia Satir? Ia pakar terapi keluarga. Juga pegiat dan tokoh di Esalen.

Lalu siapa Erickson? Ah, mungkin agak beda. Tapi ada hubungannya. Yang mengenalkan Bandler dan Grinder pada Erickson adalah seorang antropolog kenamaan, Gregory Bateson. Dan, ya, Bateson adalah tokoh pula di Esalen. Rumah yang ia tinggali disana adalah rumah yang sebelumnya ditinggali oleh Perls.

Saya baru mengetahui kisah-kisah ini dari Michael Hall. Dan saya sungguh terkejut. Tak heran kalau ada ide sebrilian NLP, sebab memang ia merupakan buah dari perjalanan panjang sebuah gerakan dalam psikologi. Gerakan untuk membangun sebuah peradaban aktualisasi diri. Gerakan untuk tidak saja menjadi sehat, namun berkontribusi secara nyata.

Lalu mengapa kok kita tidak banyak mendengar tentang ini?

Ada banyak factor, lain kali kita bahas. Yang penting sekarang, saya jadi memahami bahwa NLP bukan sebuah ilmu yang ateoritik. Meski berfokus pada how, bukan berarti NLP tanpa dasar ilmiah. Justru, NLP adalah pengejawantahan dari pemikiran humanistik yang digagas Maslow dkk. Self Actualizing Person, dan Modeling Expert, bukankah keduanya selaras?

Bahkan bisa dikatakan, bahwa para pengembang NLP bukanlah modeler yang pertama. Maslow lah, yang memeloporinya. Yang ia lakukan kala mengikuti Benedict dan Wertheimer adalah modeling. Hanya belum sistematis. Beruntung lahir Bandler dan Grinder yang memelopori proses modeling yang sistematis.

Lagi, NLP pun bukan pula sebuah tren bulan ini yang bisa diremehkan. NLP adalah sebuah cara berpikir yang akan mengakselerasi banyak proses pembelajaran. Adalah cara berpikir ilmiah yang selalu mendasarkan pengembangan kini di atas pengembangan yang telah ini. Build upon another people ideas. Standing on the shoulder of giants. Dan bukankah ini dasar pemikiran dari modeling? Ada orang lain yang telah menemukan sesuatu, mari kita model, lalu kembangkan dari situ!

Nah, kembali ke kisah Michael Hall, ia pun menelusuri lagi mengapa gerakan humanistik, Human Potential Movement ini seolah mandeg. Tidak sempat menjadi sebuah mazhab yang solid. Ada banyak faktor.

Pertama, kematian Maslow di usia 62 tahun, sebelum sempat menelurkan sebuah panduan yang komprehensif.

Kedua, gerakan HPM di Esalen yang lama kelamaan semakin jauh dari ilmiah. Beberapa tokoh ilmuwan pun akhirnya meniggalkan tempat itu. Ia masih ada kini, namun dengan arah yang berbeda sama sekali.

Ketiga, belum adanya model kerja yang memungkinkan ia diterapkan dalam dunia nyata.

Nah, yang ketiga ini menarik. Hall begitu terkesima pada karya-karya Maslow dkk, lalu berusaha mencari model untuk mengaplikasikannya. Ya, saya tahu apa itu aktualisasi diri. Tapi bagaimana saya bisa mengaktualisasikan diri saya? Caranya? Modelnya? Tekniknya?

Dan ia tidak menemukan satu pun, kecuali model Hirarki Kebutuhan yang tersohor itu. Model yang dahsyat itu pun belum menjelaskan caranya.

Apa pasal?

Mungkin memang gerakan ini belum selesai. Mungkin pula paradigma pengembangnya pada zaman itu yang seolah anti teknik. Rogers hanya memberikan panduan dan kerangka berpikir, tapi sangat tidak berminat membangun sebuah teknik. Sebabnya? Entah. Bisa jadi karena masih ada kesan bahwa menyusun teknik berarti membatasi perkembangan manusia, seperti yang terjadi pada behavioristik yang dianggap terlalu mekanistik.

Tapi tanpa model dan teknik, maka ide aktualisasi diri menjadi sulit diaplikasikan dan dirasakan hasilnya. Ia indah di angan-angan, namun tak tampak kenyataannya. Ya, gerakan ini kemudian berkembang menjadi yang sekarang kita kenal dengan Psikologi Positif, dipelopori oleh Dr. Martin Seligman. Sudah mulai mengembangkan teknik, namun anehnya, amat jarang menyangkutpautkan dengan apa yang telah dikembangkan Maslow dkk.

Memahami NLP, mengembangkan Neuro Semantic, Hall segera mendapati bahwa celah ini lah yang bisa dikembangkan. Segera pula lah ia melihat makna dari keberadaan NLP.

Ya, NLP memang berawal dari dunia terapi. Dan karenanya sangat terkesan identik dengan terapi. Namun Bandler selalu menekankan bahwa NLP bukanlah terapi. Kebingungan pun terjadi pada orang awam. Jadilah NLP Practitioner sebagai sesuatu yang—menurut saya—mengambang. Dibilang bukan terapi, tapi latihan di dalamnya terapi.

Lalu apa makna keberadaan NLP?

Alat untuk memfasilitasi aktualisasi diri!

Bukankah NLP memodel para ahli? Bukankah kala melakukan intervensi NLP meyakini bahwa setiap manusia memiliki potensi dan sumber daya untuk berubah, dan karenanya tak terlalu menekankan pada analisa konten? Dan silakan baca ulang, benar-benar baca ulang seluruh presuposisi NLP. Lalu silakan bandingkan dengan semisal 19 proposisi dari Carl Rogers. Wuih, saya pun kaget! Mirip banget.

Ya, saya pun sempat penasaran kala awal-awal belajar presuposisi NLP. Darimana sih sumbernya? Karena selain buku-buku yang belakangan terbit, ia tak tertulis dalam buku-buku NLP awal. Bukan tidak mungkin, ia merupakan sebuah rembesan pemikiran para pengembang humanistic yang kemudian mengalir pada para pengembang NLP.

Di titik inilah, titik pertemuan NLP dengan coaching pun dimulai.

Coaching, adalah sebuah metodologi yang berkembang belakangan dibanding psikoterapi. Perkembangannya pun lebih banyak dipelopori oleh praktisi non psikologi. Baru belakangan, para ilmuwan psikologi banyak mengembangkan riset-riset tentang coaching.

Apa itu coaching? Proses memfasilitasi perubahan. Bisa dilakukan terhadap orang-orang yang tidak sedang berada dalam kondisi klinis, alias memiliki coachability. Maka proses dalam coaching bukanlah mengajarkan, melainkan memfasilitasi ‘terlepasnya’ potensi diri.

Ah, terdengar familiar?

Ya, balik lagi ke aktualisasi diri deh. Tak heran mungkin jika psikologi humanistic kala itu tak berkembang banyak. Sebab fokus di kala itu masih di ranah psikoterapi. Padahal, paradigma humanistik akan sangat terasa dampaknya pada manusia yang sudah sehat, dan ingin mengaktualisasikan dirinya. Dan prosesnya bukanlah psikoterapi. Prosesnya adalah coaching. Jika saja kala itu humanistik—dan kemudian NLP—memulai dari coaching, mungkin akan lain ceritanya kini.

Maka coaching, adalah proses untuk memfasilitasi aktualisasi diri.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply