• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • 1 Comment

Para pembelajar NLP pasti pernah mengenal Neuro-Logical Level (NLL). Ya, model yang dikembangkan oleh Robert Dilts berdasar pada teori level pembelajaran Gregory Bateson ini merupakan salah satu usaha NLP generasi kedua untuk menyusun sebuah unified theory, yang menyatukan beragam teknik dan model NLP. Saking banyaknya model dan teknik praktis ini, kebanyakan pembelajar pemula kerap kebingungan tentang harus menggunakan apa, kapan, dan dimana. Nah, NLL mengajarkan kita sebuah skema untuk mengenali sebuah kondisi, dan melakukan pemetaan untuk menentukan intervensi yang akan digunakan. Kaidah dasarnya, masalah di satu level, bisa diatasi dengan paling tidak mengintervensi minimal 1 level di atasnya. Maka permasalahan di level perilaku, perlu diatasi minimal di level kemampuan. Model aslinya berbentu hirarki. Namun kemudian saya modifikasi menjadi seperti di bawah ini, sebab menurut saya lebih pas. Karena tidak saja level yang di atas menaungi yang di bawah, namun juga melingkupi keseluruhan level yang di bawahnya.

NLLNah, dulu, saya kerap menggunakan NLL sebagai alat untuk menyelaraskan kondisi diri. Ketika—misalnya—saya mengalami kecemasan akan selesai atau tidaknya tugas baru yang dibebankan kepada saya, saya akan melakukan analisa terhadap kondisi ini dengan NLL. Oh, ternyata saya merasa tidak yakin dengan kemampuan saya. Maka wajar kalau saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan, sebab level kemampuan memang menaungi level perilaku. Belum lagi rasa tidak yakin yang muncul, menandakan kalau saya pun punya masalah di level keyakinan. Apa yang bisa saya lakukan? Cek di level identitas diri. Seperti apa kah saya melihat dan menilai diri saya, sehingga tidak yakin? Oh, rupanya saya melihat diri sebagai seorang yang tidak detil, global thinker. Jadilah saya stres kala menghadapi tugas yang memerlukan ketelitian tinggi.

Begitu kira-kira.

Dalam kelas-kelas yang bertemakan Self Leadership Mastery, NLL saya ajarkan kepada peserta untuk mengajak mereka melakukan perjalanan ke lapisan pikiran di dalam, guna mengenali misi diri (NLL level spiritualitas). Saya mengajak peserta untuk memikirkan sebuah tangga imajiner, yang setiap anak tangganya mewakili satu level dalam NLL. Mereka kemudian dibimbing untuk melalui tiap anak tangga, sehingga mencapai sebuah state yang memungkinkan untuk mengenali misi diri.

Nah, belakangan, saya baru menyadari fungsi lain dari NLL, yakni dalam hal perencanaan. Sebagian idenya telah saya bagikan di NLP Talks 15 Desember 2013 lalu, dalam sesi bertajuk “Resolusi Berbasis Misi”. Begini ceritanya.

NLL sejatinya adalah alat bantu untuk memudahkan kita memiliki rencana-rencana yang realistik, namun juga penuh makna. Jika sebuah rencana sudah teramat detil, berarti ia telah berada di level perilaku atau bahkan lingkungan. Yang kita perlukan adalah mengecek apakah ia telah memiliki sambungan dengan level-level di atasnya sehingga menghadirkan makna yang mendalam. Sebaliknya, sebuah rencana yang masih global, kiranya berada di level atas. Kita perlu mendefinisikannya dengan lebih detil untuk menjadikannya nyata.

Contoh, saya memiliki resolusi untuk menulis 2 buah naskah setiap tahun. Ini membuat saya perlu menulis minimal 1 halaman setiap hari. Target ini adalah target yang berada di level perilaku: menulis 2 buku setiap tahun dengan menulis 1 halaman setiap hari. Untuk meningkatkan kemungkinan target ini tercapai, kita perlu menjabarkan secara utuh desain NLL-nya.

Misalnya, karena saya sudah memiliki target di level perilaku, maka definisikan level yang diatasnya, yakni kemampuan, dengan bertanya, “Kemampuan baru apa yang saya perlukan untuk bisa memunculkan perilaku menulis 1 halaman tiap hari?” Oh, rupanya saya perlu memiliki kemampuan mengembangkan 1 ide menjadi beberapa paragraf.

Lalu, naik lagi ke level di atasnya, keyakinan, dengan bertanya, “Keyakinan apa yang saya perlu miliki untuk bisa memiliki kemampuan mengembangkan ide, dan menulis 1 halaman tiap hari?” Oh, ada keyakinan bagus yang saya pelajari dari buku Pak Andrias Harefa, Happy Writing. Beliau katakan, kalau menulis itu pekerjaan tangan, bukan pikiran. Buktinya, para wartawan bisa menulis berlembar-lembar setiap hari dari hasil wawancara dan pengamatan mereka. Maka selama saya rajin menulis, tangan saya akan terampil menghasilkan lembaran-lembaran artikel dengan hanya berbekal satu ide dasar saja.

Lanjutkan lagi ke level di atasnya, identitas diri, dengan bertanya, “Siapakah saya yang mampu meyakini dan melakukan ini?” Hmm… saya adalah penulis, saya adalah guru.

Dan naik lagi ke level di atasnya, spiritualitas,  dengan bertanya, “Untuk siapa saya melakukan ini? Untuk apa saya melakukan ini? Apa sebenarnya peran yang saya jalankan di dunia ini, melalui tulisan ini? Apa makna tulisan ini bagi kehidupan?” Hmm.. Tuhan berikan karunia pada saya untuk menyederhanakan hal yang rumit. Menyebarkan ilmu yang berharga, yang kadang masih dalam bahasa kompleks, ke dalam tulisan yang mudah dicerna. Dalam menulis, saya sedang mencatat ilmu saya, ilmu guru-guru saya, yang mungkin tak sempat beliau tulis. Saya adalah penyambung lidah guru-guru saya.

Sampai di sini, maka target untuk menulis 1 halaman per hari sungguh tidak lagi remeh. Ia penuh dengan makna yang begitu mendalam. Ia adalah bagian dari tugas kehidupan yang mesti saya penuhi. Ia adalah amanah, dan salah satu alasan saya diciptakan. Maka apapun kesulitan dan halangan yang menghadang, ia tak terlalu mengganggu.

Dari sini, barulah saya detilkan rencana tadi dengan turun ke NLL yang paling bawah, yang belum kita bahas, yakni level lingkungan, atau konteks. “Kapan saya akan menulis setiap hari? Dimana? Menggunakan apa?” Ya, saya akan menulis di pagi hari, jam 7.00-7.30. Jika kebetulan saya ada kelas, saya akan pindahkan waktunya ke jam 21.00-21.30. Jika karena satu hal saya tak penuhi, maka saya akan menulis 2 halaman keesokan harinya.

Nah, lengkaplah sudah desain dari target yang ingin kita capai. Sebab ia bermakna, maka rencana detil dan konsekuensi tidak lah menjadi sesuatu yang memberatkan. Karena salah satu sebab tidak sungguh-sungguhnya diri menjalankan sebuah perilaku adalah kehilangan makna yang lebih dalam. Maka seolah ia menjadi kewajiban, dan rutinitas belaka, yang kering. Menggunakan NLL, kita memiliki sebuah desain yang utuh atas target yang kita tetapkan.

Jika Anda adalah seorang atasan, pastikan Anda membantu tim Anda untuk memiliki desain serupa ini dalam tiap tugas yang Anda berikan pada mereka. Sehingga tugas-tugas itu tak hanya menjadi sebuah perintah yang hampa dan memberatkan, melainkan sebuah amanah yang penuh makna.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment

  • wira ramli

    Subhanallah.. Luar biasa artikel ini, mas. Membuat saya membuka kembali materi ttg NLL. Terimakasih ya, mas..sdh membuka mata saya kembali utk belajar lbh dalam lagi.