• Teddi Prasetya
  • NLP Advance
  • No Comments

Enam tahun lalu, saya pernah menulis artikel tentang ilmiah tidaknya NLP. Dan kini, saya berminat untuk melanjutkan. Apa pasal? Karena belakangan ada beberapa miskonsepsi tentang NLP. Pada saat yang sama, saya pun baru mendapati beberapa informasi tentang riset-riset terkait NLP.

Saya sendiri belum pernah melakukan riset ilmiah apapun tentang NLP. Maka artikel ini, dan lanjutannya—insya Allah—akan lebih membahas tentang apa yang sudah ada. Salah satu tujuannya tentu adalah untuk menstimulasi para peneliti di Indonesia untuk melanjutkan.

 

Tepatkah Mempertanyakan Keilmiahan NLP?

Ya, pertanyaan di atas punya alasan. Sebab dalam salah satu buku NLP awal, Frogs into Prince, Bandler dan Grinder mengemukakan hal berikut:

We call ourselves modelers. … We are not psychologists, and we are also not theologians or theoreticians.  We have no idea about the “real” nature of things, and we’re not particularly interested in what’s “true.”  The function of modeling is to arrive at descriptions which are useful.  So if we happen to mention something that you know from a scientific study, or from statistics, is inaccurate, realize that a different level of experience is being offered you here.  We’re not offering you something that’s true, just things that are useful.
(Bandler and Grinder 1978/1979.  Page 7)

Ya, mereka berdua memang menyebut metodologinya sebagai modeling, dan dirinya sebagai modeler, orang yang menyusun sebuah model. Karenanya, sejak awal mereka tak menggunakan metode riset sebagaimana biasa digunakan dalam disertasi. Bukan sebab tak mampu, la Grinder sendiri seorang asisten professor kok. Namun modeling memang merupakan proses yang mereka temukan dan tertarik untuk mengembangkannya.

Maka jadi wajar, kalau kemudian tidak banyak para praktisi NLP yang melakukan riset menggunakan metodologi ilmiah standar. Karena yang mereka pelajari adalah proses modeling. Alih-alih metode ilmiah yang sudah banyak di kampus-kampus, proses modeling inilah yang menarik kebanyakan para praktisi NLP.

Tapi jangan salah mengerti. Meski model dan teknik dalam NLP tidak didapat melalui metode ilmiah, bukan berarti ia tidak akan terbukti jika diteliti menggunakan metode ilmiah. Apalagi jika benar yang dikatakan oleh Bandler dan Grinder di atas, bahwa yang mereka cari adalah ‘things that are useful’. Tak perlu menunggu sesuatu terbukti secara ilmiah, begitu sebuah model tidak bisa direplikasi, ya pasti tidak digunakan. Maka masih bertahannya teknik seperti Visual/Kinesthetic Dissociation (populer sebagai Fast Phobia Cure) ya sebab ia masih ampuh. Tak heran jika beberapa riset yang dilakukan memang menghasilkan kesimpulan bahwa teknik ini memiliki manfaat secara signifikan untuk menanggulangi klien-klien Post Traumatic Sindrome Disorder (PTSD).

Jadi, tepatkah mempertanyakan keilmiahan NLP?

Pertanyaan ini jadi kurang relevan lagi. Pertanyaan yang mungkin lebih pas adalah: bagaimana kah hasil pengujian teknik-teknik NLP menggunakan metode ilmiah? Pertanyaan serupa ini akan membuka banyak peluang baru bagi para peneliti.

Nah, dalam situs www.nlpwiki.org, saya mendapati sebuah dokumen yang mendaftar berbagai riset tentang NLP, baik secara langsung meneliti NLP maupun riset lain yang berhubungan dan/atau mendukung model dan teknik NLP. Karena dokumen tersebut hanya berupa sebuah daftar berbentuk tabel, maka saya memutuskan untuk membahasnya sebagai sebuah artikel, berikut menjabarkan penjelasan tekniknya secara detil.

Bagaimana dengan riset-riset yang mengatakan bahwa NLP tidak terbukti secara ilmiah? Terutama yang dikutip dalam Wikipedia?

Nah, itu pun sudah ada jawabannya di sana. Ada sebuah artikel yang cukup detil membahas riset-riset kontra NLP itu, ditulis oleh Richard M. Gray. Artikel lain juga telah ditulis oleh Andy Bradbury (http://www.bradburyac.mistral.co.uk/) tentang hal ini.

Pada intinya, keduanya mendapati bahwa riset-riset yang tak mendukung NLP bermuara pada seorang peneliti bernama Dr. Christopher F. Sharpley, seorang psikolog dan dosen psikologi dari Universitas Monash. Menariknya, rupanya yang dimaksud dengan menguji NLP sejatinya adalah menguji sebuah konsep yang disebut dengan Prefered Representational System (PRS), yang mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk secara dominan menggunakan salah satu dari sistem representasi (VAKOG).

Ya, hanya itu. Bukan Meta Model. Bukan presuposisi NLP. Bukan teknik-teknik populer seperti V/K Dissociation, Swish Pattern, dll. Bukan Meta Program. Bukan Time Line. Bukan submodality.

Pertanyaan menarik yang muncul tentu adalah: Apakah PRS = NLP?

Tentu tidak. Selain bahwa memang PRS bukan NLP, PRS pun bahkan bukan model atau teknik yang mewakili konsep sentral dalam NLP. Tanyalah pada para pakar NLP. Bacalah buku-buku NLP yang komprehensif. Maka akan kita dapati bahwa NLP paling sering didefinisikan sebagai ilmu memodel, ilmu menyusun struktur dari perilaku, ilmu mempelajari struktur dari pengalaman subyektif. Maka jika ingin menguji validitas model dan teknik NLP, ujilah yang berhubungan dengan definisi itu. Bukan yang lain.

Steve Andreas, salah seorang generasi awal NLP menulis apa yang dilakukan oleh Sharpley ini mirip dengan kisah Nasrudin yang mencari kunci di luar rumah, sedang kuncinya hilang di dalam rumah. Ketika ditanya mengapa ia melakukan itu, ia menjawab, “Karena di luar sini lebih terang.” Menguji PRS mungkin mudah dilakukan. Sayangnya, ia bahkan belum menyentuh inti dari NLP. Sebaliknya, sekian banyak model dan teknik rupanya kini telah diuji, dan valid, meski masih tetap perlu dilanjutkan.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply