• Teddi Prasetya
  • NLP Advance
  • No Comments

Jika NLP adalah modeling. Model dan teknik dalam NLP adalah hasil modeling. Maka wajar jika banyak model dan teknik yang belum diuji menggunakan metode ilmiah. Sebab para praktisi NLP menggunakan modeling untuk melakukan ‘penelitian’. Menggunakan modeling, yang dicari adalah ‘bagaimana’ sebuah hasil bisa dicapai? ‘Bagaimana’ prosesnya? Maka NLP memang pragmatis. Cari ahlinya, temukan strukturnya. Uji model dan teknik yang ditemukan. Jika bekerja, gunakan. Jika tidak, model ulang.

Pertanyaannya, apakah modeling pun bisa dikategorikan sebagai penelitian? Bukankah penelitian juga banyak yang mencoba mencari tahu ‘bagaimana’ sesuatu terjadi?

Menurut saya sih, ya. Modeling bisa jadi salah satu metode penelitian. Hanya ia memiliki kerangka berpikir yang berbeda dengan metode penelitian lain. Ia mungkin memiliki keterkaitan dengan berbagai metode kualitatif. Maka saya yakin, suatu saat para akademisi mungkin akan ada yang tertarik untuk menggunakannya dalam riset-riset mereka. Toh, John Grinder pun berawal dari seorang akademisi. Ia bukan dukun yang lahir entah dari mana. Ia seorang doktor linguistik, dan bertemu Bandler saat menjadi asisten profesor. Maka tak heran kalau modeling itu pun punya langkah-langkah yang sistematis. Modeling bukanlah bertapa di gunung lalu mendapat wangsit. Ia logis.

Lalu, apa keunikan modeling? Mengapa ia berbeda dengan metode ilmiah umumnya?

Begini kira-kira.

Jika, misalnya, kita ingin mandi dengan air hangat. Apa saja yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan air yang kehangatannya pas?

Pertama, memasak air hingga mendidih. Menuangkannya ke dalam ember. Menambahinya dengan air dingin segayung demi segayung, sambil dirasakan kehangatannya tiap selesai satu gayung. Jika kehangatannya sudah pas, hentikan penambahan. Selamat mandi deh. Lebih cepat lagi, lihat orang lain yang biasa menyiapkan air. Perhatikan langkah-langkahnya, hitung berapa gayung yang ia tuangkan, lalu ikuti, dan rasakan hasilnya.

Kedua, kita bisa mengumpulkan informasi tentang suhu air yang paling pas untuk mandi. Menelaah datanya, mengujinya secara statistik, dan menyimpulkan mana yang paling pas dengan kita. Lalu memasak air, dan memantau suhunya secara berkala, hingga mencapai suhu yang pas.

Mana yang paling tepat?

Ya tidak ada. Yang kedua lebih dekat pada metode riset ilmiah. Yang pertama lebih dekat pada modeling. Metode pertama melahirkan langkah-langkah praktis, yang kita sebut dalam NLP sebagai model dan teknik. Metode kedua melahirkan konsep dan teori berbasis data yang akan menjelaskan mengapa sekian gayung itu pas, sebab ia merupakan penyatuan air bersuhu sekian dengan sekian, dst.

Menggunakan modeling, kita akan tahu ‘bagaimana’, namun tak tahu persis ‘mengapa’. Bukan sebab ‘mengapa’ itu tak penting, namun tak jadi fokus saja. Apakah kita perlu fokus pada konfigurasi kimia bahan-bahan makanan jika yang kita ingin lakukan adalah memasak sepiring nasi goreng? Mungkin tidak, kan? Namun jika yang kita inginkan adalah memahami, apakah nasi goreng sebenarnya merupakan makanan sehat atau tidak, maka riset mendalam berbagai komponennya tentu menjadi penting.

NLP kerap disebut juga tidak orisinil. Sebab ia sejatinya ‘meniru’ apa yang sudah dilakukan oleh orang lain, para ahli. Jadi ia tak unik, hanyalah bungkus lain dari apa yang sudah ada.

Benarkah demikian?

Begini. Ada berapa banyak buku tentang kepemimpinan? Ribuan. Ada berapa banyak teori kepemimpinan? Jutaan. Lalu bagaimana caranya mengajarkan kepemimpinan yang bukunya ribuan, teorinya jutaan itu, kepada 20 orang manajer yang hanya punya waktu 3 hari?

Jawabnya? Ajarkan 7 Habits. Ya, karyanya Stephen R. Covey itu. Ditelaah, tidak ada teori baru dalam 7 Habits. Ia bisa dibilang hanyalah pengemasan dari sekian banyak teori-teori kepemimpinan yang telah ada sebelumnya.

Lalu apakah kita tak perlu 7 Habits? Langsung saja pakai teori aslinya. Maka para manajer itu akan pergi. Mereka tak punya waktu untuk kuliah lagi. Yang mereka perlukan adalah 7 Habits, yang disampaikan oleh orang yang pernah menjadi manajer, agar aplikatif. Seorang profesor yang tak paham seluk beluk dunia nyata manajemen mungkin tak banyak membantu. Bukan karena tak berguna, tapi karena waktunya tak banyak, mereka perlu yang praktis.

Kembali ke NLP. Dalam psikologi, misalnya, kita belajar teori Stimulus-Respon dari Pavlov. Tapi adakah yang menemukan sebuah teknik semacam Anchoring, sebelum lahirnya NLP? Rasanya tidak. Maka meski Anchoring berbasis teori S-R, ia adalah sebuah gubahan praktis yang unik. Silakan cari di buku teks psikologi yang mempelajari teori S-R, adakah akan Anda temukan teknik Anchoring di dalamnya?

Maka keunikan NLP adalah pada kemampuannya melahirkan model kerja, perangkat teknis yang praktis. Jika para praktisi psikologi mempelajarinya, mungkin akan lahir lebih banyak teknik-teknik praktis dari jutaan teori psikologi yang ada. Sisi lain, para praktisi NLP yang mempelajari psikologi, akan memiliki peta berpikir yang komprehensif, yang memungkinkannya untuk mengembangkan teknik yang telah dipelajari, lebih lanjut.

Pertemuan NLP dan psikologi inilah yang saya rindukan.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply