• Teddi Prasetya
  • Coaching, Leadership
  • 3 Comments

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan, kala saya mulai intensif menulis tentang coaching.

“Bagaimana jika ada seorang datang pada saya, seorang koruptor, dan berminat menjadi klien coaching saya dengan tujuan untuk dapat korupsi lebih banyak dan tanpa ketahuan? Akankah saya terima?”

Jawabannya tentu saja tidak. Namun pertanyaan serupa itu menghadirkan tanya lain yang lebih esensial: ada kah batasan dalam coaching? Tentang apa coaching sebenarnya? Insan seperti apa kah yang ingin dibentuk melalui coaching?

Pikiran saya pun melayang pada beberapa tulisan karya L. Michael Hall tentang psikologi aktualisasi diri, sebuah penelusuran lebih lanjut dari teori-teori Maslow dkk dengan menggunakan NLP dan NS. Hall berpendapat, bahwa coaching adalah sebuah metodologi, yang di belakangnya berdiri sebuah konsep psikologi. Dan konsep psikologi yang paling cocok dengan coaching adalah psikologi manusia sehat. Ia pun menegaskan bahwa konsep aktualisasi diri yang diusung Maslow dkk, dan kini kita lihat dikembangkan lebih lanjut dalam ranah psikologi positif, adalah psikologi aktualisasi diri. Ya, psikologi aktualisasi diri adalah psikologinya coaching. Dengan kata lain, coaching adalah metode untuk memfasilitasi proses mencapai aktualisasi diri.

Nah, sementara psikologi aktualisasi diri demikian luas dan dalam membahas dinamika manusia, saya penarasan dengan pertanyaan: adakah versi ringkasnya? Sebuah model konsep manusia sehat yang mudah dipahami, diingat, dan digunakan oleh para coach yang tidak semuanya memiliki latar belakang psikologi.

Dan lagi-lagi, saya pun ‘terpaksa’ merujuk pada The 7 Habits of Highly Effective People yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey. Konsep manusia efektif yang diusung Covey, dalam hemat saya, sungguh selaras dengan konsep aktualisasi diri Maslow, dan karenanya selaras pula dengan coaching. Pertanyaan, “Seperti apa kah kondisi manusia yang ingin dicapai melalui coaching?” akan terjawab oleh The 7 Habits.

Bagaimana ceritanya?

OK. Bagi Anda yang belum familiar dengan The 7 Habits, saya akan rangkumkan inti-intinya ya. Detilnya silakan baca sendiri di bukunya yang hingga kini—sudah 25 tahun lebih—masih laris manis.

The 7 Habits adalah sebuah model yang dapat kita gunakan untuk memetakan kondisi kita kini, dan menumbuhkannya lebih lanjut. Ia bermula dari sebuah riset mendalam yang dilakukan oleh Stephen R. Covey tentang kesuksesan. Dari studi yang ia lakukan terhadap 200 tahun literatur yang pernah terbit tentang kesuksesan, muncul sebuah pola yang meresahkan. Pada 150 tahun pertama (riset dilakukan tahun 1975), yakni 1775-1925, literatur yang terbit tentang kesuksesan selalu bicara karakter. Yakni, ajaran di masa itu, jika kita ingin sukses, maka kembangkanlah hal-hal seperti kejujuran, kerja keras, ketekunan, cinta kasih, dll. Namun pada 50 tahun berikutnya, dan berlanjut sampai sekarang, literatur tentang kesuksesan rupanya berubah arah, yakni banyak membicarakan kepribadian. Yakni, jika kita ingin sukses, maka belajarlah untuk lebih percaya diri, perbaiki penampilan, belajarlah persuasi dan komunikasi, dll. Hal-hal yang positif sebenarnya, namun kala tidak dibarengi dengan karakter yang kuat, maka berpotensi melahirkan orang-orang yang menginginkan segalanya serba instan.

Covey kemudian mengajak kita untuk kembali pada pembangunan karakter. Sebab seseorang yang karakternya lemah, katanya, ibarat pohon yang mungkin tampak indah di luar, namun goyah akarnya. Jadilah ia orang yang mudah terombang-ambing dan roboh. Bukankah kita temukan belakangan ini orang-orang yang tersangkut kasus kejahatan adalah mereka yang berpendidikan tinggi? Pengembangan yang fokus pada hal-hal yang tampak luar, jika tak ditopang terlebih dulu dengan yang di dalam, sungguh mudah jatuh hanya sebab diterpa angin.

Dari hasil risetnya tersebut, Covey merumuskan sebuah model yang ia sebut sebagai The 7 Habits of Highly Effective People. Ia sengaja menggunakan kata efektif, sebab kata ini melampaui kesuksesan. Jika kesuksesan berarti mencapai yang kita inginkan, maka efektivitas adalah mencapainya berkali-kali, dengan lebih baik, dalam jangka panjang. Dan hal ini mustahil terjadi kecuali lewat terlebih dahulu membangun karakter yang kokoh. Kata ‘kebiasaan’ juga bukan asal dipilih, sebab membangun karakter sejatinya adalah membangun kebiasaan—sesuatu yang dilakukan berulang-ulang hingga berjalan dengan sendirinya tanpa perlu dipikirkan lagi.

Klop dengan ungkapan bijak dari Samuel Smiles, “Menabur pikiran, menuai tindakan. Menabur tindakan, menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan, menuai karakter. Menabur karakter, menuai nasib.”

The 7 Habits mengajak kita untuk menapaki perjalanan mematangkan diri. Manusia memulai kehidupan dari tahapan tergantung, lalu beranjak ke kemandirian, dan berpuncak pada kesalingtergantungan. Untuk dapat naik dari tahapan tergantung ke kemandirian, kita perlu membiasakan 3 hal, yakni:

  1. Be Proactive. Bertanggung jawab atas diri, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain dan kondisi. Lawannya adalah reaktif.
  2. Begin with the End in Mind. Karena orang yang sangat efektif bertanggung jawab pada diri, ia pun bertanggung jawab pada masa depannya. Jadilah ia selalu memulai segala sesuatu dari tujuan akhir yang ingin dicapai. Lawannya adalah orang yang ikut arus.
  3. Put First Things First. Setelah tujuan akhir ditetapkan, ia pun diwujudkan dengan memastikan setiap aktivitas penting yang mengantar ke sana didahulukan. Lawannya adalah orang yang mendahulukan yang mendesak.

Namun kemandirian, ujar Covey, bukanlah akhir dari kehidupan yang efektif. Orang yang sangat efektif bukanlah ia yang bekerja sendiri, melainkan ia yang sanggup berkolaborasi, dan menjadi bagian dari kehidupan yang besar. Dan untuk menapaki tangga kemandirian hingga mencapai tahapan kesalingtergantungan, kita memerlukan 3 kebiasaan, yaitu:

  1. Think Win-Win. Karena orang-orang mandiri sama-sama merasa mampu mengerjakan banyak hal sendiri, maka kebiasaan pertama yang diperlukan untuk dapat berkolaborasi adalah berpikir menang-menang. Niat untuk memastikan bahwa setiap orang merasa mendapatkan kemenangan. Lawannya adalah berpikir menang-kalah, kalah-menang, atau kalah-kalah.
  2. Seek First to Understand, then to be Understood. Setelah niat dipasang untuk saling memenangkan, praktik nyatanya adalah dengan bersedia untuk memahami orang lain terlebih dahulu, sebelum kemudian minta dipahami.
  3. Synergize. Dan buah dari semua itu adalah terjadinya sinergi, yakni kerjasama yang kreatif, yang menghasilkan hal-hal yang lebih baik daripada ketika dikerjakan sendiri-sendiri. Sinergi lebih dari sekedar bekerja bersama-sama. Sinergi adalah proses mengolah kelebihan hingga menjadi sesuatu yang baru. Lawannya adalah kompromi dan konflik.

Nah, sementara itu, fitrah manusia kerap berubah, semangat naik turun. Maka perlu ada kebiasaan yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan seluruh kebiasaan tadi. Ia adalah:

  1. Sharpen the Saw. Orang-orang yang sukses berkepanjangan adalah ia yang tekun mengasah diri dalam 4 dimensi: spiritual, inteleksual, sosial, dan fisikal. Ia meluangkan waktu sejenak untuk menyegarkan diri, sebelum maju kembali.

Nah, hemat saya, 7 Habits ini lah setidaknya standar minimal manusia sehat itu. Maka seorang coach yang tidak mendapati kliennya menjalankan salah satu kebiasaan, dapat mengenali dan membantunya untuk dapat menjalankan kebiasaan itu kembali.

Contoh, aslinya seseorang itu proaktif, bertanggung jawab atas dirinya, mampu memilih pikiran-perasaan tanpa pengaruh lingkungan. Maka saat ia reaktif, seorang coach dapat memfasilitasi proses untuk mengajak klien menjadi proaktif kembali.

Dalam Kebiasaan 1, dipelajari materi tentang Lingkaran Pengaruh dan Lingkaran Kepedulian. Lingkaran Kepedulian adalah hal-hal yang hanya bisa dipikirkan namun tak dapat dipengaruhi. Orang yang reaktif banyak berfokus di sini. Sementara itu, Lingkaran Pengaruh adalah hal-hal yang dapat dipengaruhi secara langsung. Di lingkaran ini lah orang proaktif memfokuskan pikiran dan tindakannya. Maka melihat kliennya yang reaktif, seorang coach bisa bertanya, “Mencermati kondisi yang Anda ceritakan tadi, apa saja kah hal-hal yang bisa Anda lakukan, dan pengaruhi secara langsung?”

Materi lain dalam Kebiasaan 1 adalah bahasa proaktif dan bahasa reaktif. Bahasa reaktif, adalah kata atau kalimat yang ketika diucapkan akan membuat seseorang berada dalam kondisi pikiran dan perasaan yang tidak produktif. Sementara bahasa reaktif adalah kata atau kalimat yang kala diucapkan akan menjadikannya semangat, positif, dan fokus pada aktivitas yang bermanfaat. Maka coach yang mendapati kliennya menggunakan kalimat seperti, “Mau apa lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa, inilah saya!”, bisa bertanya membantu kliennya untuk menggunakan bahasa proaktif seperti, “Apakah kalimat barusan membuat nasib Anda lebih baik? Apa kalimat yang mungkin membuat Anda lebih bersemangat?”

Contoh lain, ketika seorang coach mendapati kliennya tidak mencapai target karena belum mampu mengelola aktivitas eksekusinya dengan baik (terkait kebiasaan 3). Maka ia bisa memfasilitasi kliennya dengan berkata, “Apa satu hal, yang Anda tahu, jika Anda kerjakan maka akan secara bertahap membantu Anda mencapai target Anda bulan ini?” Dengan bertanya hal ini, sang coach sedang membantu kliennya untuk menentukan big rock, alias aktivitas utama yang diperkirakan mengarahkan seseorang mencapai tujuan.

Begitu pula jika seorang coach mendapati kliennya hidup tak seimbang (terkait kebiasaan 7), ia bisa bertanya, “Mana kah dimensi diri Anda yang saat ini sedang Anda abaikan?”

Nah, kembali ke pertanyaan yang saya ajukan pada diri saya di awal artikel ini, akankah saya meng-coach seorang koruptor? Jawabnya tentu tidak. Sebab orang yang sangat efektif, yang keberhasilannya jangka panjang, menjalani hidupnya sebagai orang yang berkarakter, berpusat pada prinsip-prinsip hidup yang benar, yang akan mengantarkannya pada keberhasilan jangka panjang.

Sekian dulu ya. Sampai jumpa lagi di bahasan lain.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply to Wira Ramli Cancel reply

3 Comments