• Teddi Prasetya
  • Neuro-Linguistic Programming, NLP Reflections
  • No Comments

Ya. Bagaimana tidak? La NLP itu ilmu modeling. Berangkat dari ‘meniru’ keahlian orang lain. Maka melakukan modeling berarti mengakui adanya orang lain yang telah lebih dulu mengembangkan keahlian, dan bersedia belajar kepadanya. Dengan kata lain, jika toh sang praktisi menemukan sebuah teknik baru yang fenomenal, tetap ada orang lain yang lebih dulu memulainya. Ia ‘hanya meniru’.

Tentu, pekerjaan memodel bukan perkara ringan. Metodologinya pun tak sederhana. Tanpa tahu caranya, tak semua orang bisa merumuskan model yang bermanfaat. Model yang bahkan yang dimodel pun tak menyadarinya. Namun sebuah model, tetap lah hanya model. Ia tak bisa persis serupa aslinya. Persis seperti ucapan Milton Erickson dalam prakata untuk buku yang ditulis Bandler dan Grinder, “Meskipun apa yang ditulis dalam buku ini masih jauh dari apa yang saya lakukan, saya akui ia adalah deskripsp yang lebih baik daripada yang saya mampu jelaskan sendiri.”

Ada pujian, bahwa buku Patterns of the Hypnotic Techniques of Milton H. Erickson, MD itu mampu menjelaskan dengan lebik baik, tapi ada penekanan, bahwa ia baru lah secuplik kecil dari keahlian yang dipelajari.

Apa tah lagi, jika sang praktisi NLP sejatinya belum pernah melakukan modeling. Ia—seperti saya—baru sekedar belajar dari beberapa pelatihan, mengikuti sertifikasi (yang kerap tanpa ujian), dan membaca beberapa buku. Maka apa yang dipelajari hanyalah cuplikan dari cuplikan. Lalu di mana letak keangkuhan? Bagaimana tidak kondisi ini mengharuskan sang praktisi untuk menjadi lebih rendah hati?

Lebih-lebih dalam NLP, dipelajari bahwa cara untuk bisa melakukan leading, adalah dengan lebih dulu melakukan pacing. Menghargai model dunia orang lain, berusaha ‘masuk’ ke dalamnya untuk memahami (pacing), baru kemudian minta dipahami (leading). Bagaimana bisa seorang praktisi NLP tak rendah hati jika materi seperti ini yang dipelajari?

Di titik ini saya pun merenung. Jika saya tinggi hati, mungkin ada yang salah dengan cara saya belajar NLP. Sebab aslinya ilmu ini justru mengajarkan kesediaan untuk memiliki pikiran yang terbuka. Layaknya parasut, pikiran bekerja terbaik kala terbuka. Maka tak mengherankan jika presuposisi dasar NLP adalah ‘peta bukan wilayah’. Yang kau lihat, bukanlah yang kau lihat.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply