Indonesia NLP Society > Article > Uncategorized > NLP sebagai Metode Berpikir Ilmiah
  • Teddi Prasetya
  • Uncategorized
  • No Comments

Makalah “Indonesia NLP Conference 2022”

NLP sebagai Metode Berpikir Ilmiah

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

“Saya tertarik meneliti tentang NLP, apakah mungkin?”

“NLP itu, apakah bisa dijadikan tema tesis saya?”

Demikian kira-kira beberapa pertanyaan yang cukup sering saya dengar sejak lama. Nyatanya, sobat-sobat di Indonesia NLP Society bukan saja sudah pernah melakukan riset berbasis NLP, tapi level riset itu kiranya sudah terbentang dari level skripsi, tesis, hingga disertasi. Bahkan ada riset yang dilakukan oleh seorang dosen dalam rangka menjalankannya perannya sebagai peneliti sekaligus untuk mencari solusi atas permasalahan riil di mahasiswanya. Apalagi jika kita sedikit saja browsing dengan kata kunci seperti ‘research on NLP’, misalnya, akan mudah kita temukan situs yang sudah melakukan kompilasi ratusan jurnal yang pernah terbit terkait NLP. Jadi riset tentang NLP bukan saja mungkin, tapi memang sudah terjadi. 

Lalu sebenarnya ada apa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas? Mengapa ia muncul? Apa yang menjadi latar belakangnya? 

Saya mendapati ada 2 hal. 

Pertama, yang bertanya demikian, biasanya belum cukup mendalami NLP. Baru pernah dengar, baru ikut program pendek bahkan pengenalan, baru membaca 1-2 buku itupun yang praktis dan pengantar adalah beberapa latar belakang penanya. Maka menarik ketika ada seorang anggota di INLPS ingin melakukan riset tentang NLP untuk tesisnya, dosen pembimbing yang kebetulan kenal dengan pegiat INLPS menganjurkan ia untuk belajar dulu sebelum melakukan penelitian. Sebab sejatinya setiap obyek penelitian memang dikenali, didalami, diselami fenomenanya agar ia bisa hadir di dalam kesadaran kita sebagai peneliti. Hadirnya ia dalam kesadaran akan memicu keyakinan kita, apakah akan maju terus atau mundur. Dalam rangkaian penelitian proses ini biasanya disebut sebagai studi pendahuluan atau preliminary study. Jika mencari jodoh saja butuh pengenalan, mengapa riset tidak? 

Kedua, yang bertanya demikian, biasanya juga lemah dalam penguasaan tentang metode penelitian, dan apalagi pemahaman tentang filsafat ilmu. Sebab yang cukup memahami metode penelitian (cukup saja, tidak harus ahli) tahu bahwa penelitian dimulai dari pengamatan pada fenomena, yang dari situ bisa dirumuskan permasalahan atau pertanyaan penelitian. Jadi modal dasar penelitian itu adalah pertanyaan. Maka kalaupun ada yang skeptis terhadap NLP, maka pertanyaan skeptisnya itu pun bisa menjadi disertasi. “Benarkah fast phobia cure bisa menyembuhkan fobia dalam 30 menit sebagaimana banyak diiklankan para praktisi NLP? Apakah Disney Creativity Strategy memang bisa membuat seseorang menjadi lebih kreatif?” Dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan valid. Sebab jika tidak dijawab maka hanya akan menjadi spekulasi dan perdebatan tanpa henti. Bahkan, ada sebuah disertasi yang pertanyaan penelitiannya itu ‘cuma’, “Apakah NLP itu?” Kok bisa? Ya karena memang ada fenomena yang jadi dasar, bahwa definisi NLP dan keberadaan NLP itu sendiri ada yang mempertanyakan. Dari pertanyaan yang kritis ini barulah dijalankan proses-proses selanjutnya. 

Implikasi dari yang kedua ini terutama yang menurut pengamatan saya paling menyumbang pada ragu-ragunya para peminat riset NLP. Sebab jika dicermati, pada dasarnya semua hal bisa dipertanyakan, dan karenanya bisa diteliti. Bukankah iman saja, yang jelas-jelas sesuatu yang metafisis, kenyataannya menjadi obyek penelitian sejak dahulu? Memang, keraguan lain yang saya temui adalah ungkapan seperti, “Katanya NLP itu nggak ilmiah ya.” Karena mendengar hal ini, mundur lah niatnya. 

Saya selalu tersenyum mendengar hal serupa ini, sebab lagi-lagi ini hanyalah ekspresi dari 2 poin di atas: belum memahami NLP dan belum memahami metode penelitian. Sebab keilmiahan itu adalah soal proses. Jika memahami metode ilmiah, maka pernyataan (atau pertanyaan) yang muncul harusnya adalah, “Apakah teknik-teknik dalam NLP sudah terbukti efeknya secara ilmiah?”, misalnya. NLP sebagai obyek sah-sah saja untuk ditelaah secara ilmiah. La wong, fenomena lain yang lebih absurd saja bisa kok jadi obyek penelitian. 

Lalu, dari sini, apa solusinya bagi peminat penelitian tentang NLP? Mari kita coba telaah beberapa aspek. 

Meta Model sebagai Modal Penelitian

Sebagai pembelajar NLP, sebenarnya ada sebuah model yang amat baik menjadi modal untuk melakukan penelitian. Namanya adalah Meta Model, atau kadang disebut juga dengan Precision Model. Meta Model adalah model pertama yang lahir dari NLP, bahkan sebelum nama NLP itu sendiri ada. Bermula dari pengamatan terhadap beberapa psikoterapis handal pada masanya, para rekan pendiri NLP menemukan bahwa salah satu teknik yang kerap mereka gunakan saat memfasilitasi klien dalam konseling dan psikoterapi adalah dengan mengajak mereka untuk berpikir secara presisi. Sebab jika diamati, permasalahan yang dialami klien sering diungkapkan dalam format kalimat yang penuh dengan ambiguitas. Memahami bahwa penggunaan bahasa adalah representasi dari skema dalam pikiran, maka mengajak klien untuk mencermati bahasa yang ia gunakan akan memungkinkannya untuk mengambil jarak dengan pola dalam pikirannya, kemudian melakukan penyesuaian. Pada titik inilah proses perubahan mulai terjadi. Kaidah yang kerap digunakan dalam NLP, “The map is not the territory”, adalah filosofi dari pendekatan ini. Karena map dalam pikiran klien bukanlah wilayah yang sebenarnya, sedangkan manusia merespons terhadap map-nya, maka mengevaluasi map dan mengubahnya adalah jalan pertama untuk berubah. 

Sebagai ilustrasi, klien yang mengatakan, “Istri saya tidak pernah peduli pada kebahagiaan saya,” sebenarnya sedang menggunakan pola yang dalam Meta Model disebut Universal Quantifier (tidak pernah) dan juga Unspecified Verb (peduli). Pernyataan seperti ini tentu tidak mungkin valid. Apakah mungkin seseorang menjadi istri jika selama masa pernikahan tidak pernah peduli? Maka terapis berbasis NLP biasanya akan bertanya, “Tidak pernah? Sama sekali sepanjang pernikahan?” dan mungkin dilanjutkan dengan, “Perilaku peduli seperti apa yang sebenarnya Anda harapkan?”

Dalam perkembangannya, Meta Model tentu tidak saja bisa digunakan dalam ranah terapi, namun bahkan bisa dipakai dalam keseharian. Sebab pola kalimat ambigu yang mengandung banyak delesi, generalisasi, dan distorsi memang banyak kita gunakan sehari-hari, dan menjadi sumber dalam miskomunikasi. 

Bukan pada tempatnya kita membahas berbagai variasi pertanyaan dalam Meta Model dalam konteks terapi. Namun yang jelas, Meta Model sebagai kerangka kerja berpikir secara presisi, mengandung banyak pola yang memungkinkan kita untuk berpikir secara mendalam. Sebuah keterampilan yang amat dibutuhkan dalam penelitian. 

Misalnya, dalam pengamatan terhadap fenomena yang potensial untuk diteliti. Sebagai contoh, dalam riset yang dilakukan oleh Dian Kinayung, fenomena yang pada awalnya teramati adalah adanya banyak mahasiswa yang menyelesaikan skripsi melewati batas waktu, bahkan hingga berakhir DO. Menggunakan Meta Model, kita tentu dapat dengan mudah mengenali perlunya berpikir lebih presisi atas proposisi tadi. Pertama, karena kata ‘banyak’ itu merupakan unspecified noun, maka kita perlu bertanya, “Berapa banyak tepatnya yang disebut banyak itu?” ‘Banyak’ juga bisa dianggap sebagai comparative deletion, sehingga kita bisa bertanya, “Banyak dibandingkan dengan apa atau siapa?” Belum lagi secara keseluruhan proposisi tadi bisa juga digali presuposisinya, “Ada apa dengan kondisi ini? Memangnya ada apa jika banyak yang menyelesaikan melewati batas waktu?” 

Berbagai pertanyaan ini sejatinya lahir dari praktisi NLP yang mendalami betul penggunaan Meta Model dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jika diperhatikan, begitu banyak kemungkinan fenomena yang bisa dipilih menjadi fokus penelitian. Sebab tidak ada satu pun hal yang ada di sekitar kita yang tak bisa dipertanyakan, jika ia dilihat dengan jernih. 

Sudut lain dalam mencari fokus penelitian juga bisa berasal dari dalam kajian NLP sendiri. Misalnya, seperti sempat saya sebutkan tadi tentang teknik dalam NLP bernama Disney Creativity Strategy. Kita bisa bertanya secara kritis menggunakan Meta Model, “Siapa kah perumus teknik ini? Bagaimana ia dirumuskan? Apa pemikiran yang melandasinya? Jika ia bisa diteropong dengan menggunakan teori yang sudah ada, apa saja kah teorinya? Apa saja dampak yang dikatakan hasil dari teknik ini? Bisa digunakan untuk apa saja? Seperti apa datanya? Teknik ini tidak bekerja dalam konteks apa? Apa saja batasan dari teknik ini?” Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini satu per satu saja kemungkinan sudah bisa menghasilkan karya ilmiah yang cukup untuk standar skripsi atau bahkan tesis magister. 

Mungkin muncul sebuah pertanyaan: bukankah pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan dalam pelajaran berpikir kritis saja? Bukankah sudah banyak dipelajari di kampus-kampus? 

Ah, ini pun sebuah peluang penelitian! Studi komparasi Meta Model dengan bentuk-bentuk pertanyaan dalam berpikir kritis. Atau, meneropong pertanyaan-pertanyaan Meta Model dari sudut pandang logical fallacy. 

Kuncinya menurut saya adalah: rasa ingin tahu. Dan ini lahir dari rasa tidak mau menerima begitu saja. Sudut pandang ilmiah adalah sudut pandang skeptis. Semisal, sebagai pembelajar dan praktisi NLP kita mendapatkan manfaat dari Well-Formed Outcome (WFO). Jangan terima begitu saja. Bertanyalah, “WFO ini apa sebenarnya? Mengapa ia bisa saya rasakan manfaatnya? Apakah orang lain juga merasakan yang sama? Seberapa banyak? Dari mana asalnya WFO ini? Apa dasar pemikirannya? Apa filosofi yang mendasarinya? Ia bisa digunakan untuk apa lagi? Ia tak cocok dipakai dalam konteks apa?” Jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, mencari referensi, mencari dasar pijakan rasional dan empiris yang kokoh, lalu tuliskan hasilnya. Niscaya akan lahir sebuah (atau bahkan beberapa buah) karya ilmiah yang berbobot. 

 

Referensi:

 Qisthi, Rania Chairunnisa. 2021. Neuro-Linguistic Programming Method to Overcome Communication Barriers in Higher Education. Universiti Putra Malaysia (tidak dipublikasikan).

 Kusmadi Sitohang, – (2019) PENGEMBANGAN PEMROGRAMAN NEUROLINGUISTIK BERBANTUAN LITERASI INFORMASI DALAM PEMBELAJARAN BERPIDATO SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS. S2 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.

 Anggorowati, Rita. 2022. Model Kepemimpinan Authentic dengan Moderator Neuro-Linguistic Programming dalam Peningkatan Motivasi, Iklim Organisasi, dan Kinerja Guru. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses di: http://repository.upi.edu/73171/ 

 Kinayung, D., Damayanti D. 2021. Penerapan NLP Coaching untuk Meningkatkan Career Decision Making Self Efficacy (CDMSE) pada Mahasiswa Akhir. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan (tidak dipublikasikan): Yogyakarta

 https://anlp.org/current-research-in-nlp-journal 

 Grimley, Bruce. What is NLP? The development of a grounded theory of Neuro-Linguistic Programming (NLP), within an action research journey. Implications for the use of NLP in coaching psychology. International Coaching Psychology Review, Vol. 11, 2 September 2016, hal. 54-66.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply