• Teddi Prasetya
  • Hypnosis
  • 6 Comments

Dipresentasikan pada “Indonesia Hypnosis Summit”, 28 April 2012

Sekian banyak penggunaan istilah spiritual, mengapa mengajukan satu lagi?

Ya, memang begitu banyak hal kini dikaitkan dengan soal-soal spiritualitas. Dan hampir setiap konsep pengembangan diri yang masuk ke Indonesia, memiliki versi spiritualnya. Beberapa orang menganggap fenomena ini latah belaka, atau sekedar marketing model. Well, mungkin ada yang demikian. Tapi saya ingin mengajak Anda untuk melihat dari sisi yang lain. Sisi bahwa ada kebutuhan akan hal itu. Kebutuhan untuk berspiritual, untuk keluar dari ‘sekedar’urusan-urusan material.

Era tahun 2000an boleh dikata sebagai era pengembangan diri. Seminar, pelatihan, buku-buku setema begitu marak hadir. Mulai dari yang ilmiah berdasar riset, hingga yang bercerita tentang pengalaman pribadi. Beberapa di antaranya begitu laris manis selama hampir 10 tahun lebih. Beberapa yang lain hilang dan timbul.

Tema yang paling banyak muncul tentu saja adalah yang berhubungan dengan kesuksesan material. Ya, sukses di era ini, memang tidak bisa dipisahkan dari makna soal material. Jika saya sebut bahwa saya mengenal seseorang yang sukses, maka banyak orang mungkin akan kecewa kala yang saya sebutkan ternyata adalah orang yang tidak memiliki rumah atau kendaraan pribadi. Maka berterbaran lah pakar yang berbicara soal kesuksesan, yang mana soal material menempati porsi terbesar dalam programnya, lalu dibumbui dengan beberapa hal terkait hubungan sosial/emosional dan spiritual.

Tapi ada yang menarik saya temukan belakangan. Tepatnya, ketika saya mendapati beberapa pembicara soal finansial, kemudian mulai memasukkan unsur spiritual dalam program-programnya. Bahkan dalam sebuah wawancara di televisi, sang pembicara tak lagi terlalu menggebu bicara soal finansial, dan mulai membahas soal kontribusi pada kehidupan. Sungguh saya tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu, namun saya mendapati bahwa ini adalah sebuah sinyal akan perkembangan baru dalam ranah ilmu-ilmu pengembangan diri.

Paradoks

Kadang saya iseng bertanya pada sobat-sobat belajar saya di kelas.

Siapa di antara Anda yang ingin kaya?

Semua mengangkat tangan.

Siapa di antara Anda yang percaya akan adanya Tuhan dan Dia Maha Kaya?

Semua mengangkat tangan.

Siapa di antara Anda, yang ketika ingin kaya, maka langkah pertama yang diambilnya adalah mendekati Dia, Yang Maha Kaya?

Tidak satu pun mengangkat tangan. Dan tak lama kemudian mereka tertawa, bersama dengan senyum iseng saya. Hehe…

Ada paradoks di sini. Sungguh amat sedikit orang yang tidak memercayai adanya Tuhan, berikut kekuasaanNya. Namun ketika bicara urusan mendekatkan diri, seolah Tuhan menempati urutan kesekian setelah berbagai usaha yang melelahkan. Buktinya sungguh melimpah. Coba telusuri literatur tentang kesuksesan yang marak belakangan ini, berapa banyak yang menempatkan kedekatan dengan Tuhan sebagai langkah pertama. Setidaknya sampai hari ini, mungkin masih bisa dihitung dengan jari.

Bagaimana dengan hipnoterapi?

Ah, mungkin malah semakin langka. Berapa banyak literatur yang membahas tentang terapi psikologis, mendahulukan pembahasan untuk kembali pada Tuhan? Silakan hitung sendiri. Anda mungkin bahkan tidak memerlukan tangan kedua Anda. Hehe…

Hipnosis dan Spiritualitas

Hipnosis adalah sebuah bentuk komunikasi. Setiap komunikasi selalu memiliki efek hipnotik, yang tentu tergantung pada kecakapan komunikatornya.

Spiritualitas, dalam bahasan ini, saya persempit menjadi soal kondisi ketersambungan dengan Tuhan. Sebuah penghayatan akan ritual, sehingga menghasilkan perubahan psikologis yang signifikan.

Ah, bukankah spiritualitas tidak ada hubungannya dengan agama? Mengapa membahas ritual?

Memang ada orang yang mengatakan demikian. Bahkan, ada yang meyakini adanya spiritualitas tanpa agama. Sembari menghargai pendapat tersebut, saya ingin bercerita bahwa membahas spiritualitas tanpa membahas agama sungguh tidak efisien. Sebab tidak ada spi-ritual, tanpa ritual. Dalam bahasa lain, spiritual, selalu membutuhkan ritual. Silakan simak gerakan-gerakan yang mengatasnamakan spiritual tanpa agama, tetap saja ia menyusun ritual layaknya agama. Nah, jika demikian, mengapa repot menyusun ritual baru, jika sejatinya setiap agama telah mengajarkan ritual pula? Bahkan, ritual dalam agama telah berumur ribuan tahun, yang terbukti menghadirkan banyak sosok-sosok besar dalam sejarah.

Maka dalam penelusuran ini, saya memang mempersempit pembahasan spiritual pada spiritualitas dalam beragama. Yakni, bagaimana kita bisa menjalani ritual yang diajarkan oleh agama dengan penuh penghayatan, sehingga menghasilkan efek positif yang diharapkan.

Sebuah Wanti-wanti

Ya, saya wanti-wanti. Saya bukanlah ahli agama. Pun saya juga bukan seorang peneliti yang menggunakan metodologi ilmiah. Maka apa yang saya paparkan disini lebih bersifat experience sharing, yang sangat wajib divalidasi kembali kepada ahlinya.

Saya wanti-wanti pula bahwa bukan berarti ketika saya membahas soal spiritualitas, lalu saya sendiri merupakan orang yang sudah berada dalam tahapan spiritualitas yang tinggi. Sama sekali bukan, bahkan masih jauh. Maka sekali lagi, silakan validasi apa pun yang Anda dapat dalam sesi ini kepada ahlinya.

Apa yang saya akan bagikan adalah bagaimana pemahaman kita tentang hipnosis dapat membantu kita memahami proses menjalani ritual. Dan sebab saya seorang Muslim, maka saya pun akan fokus pada apa yang saya temukan dalam Islam. Anda yang beragama lain, silakan mengambil model proses yang saya lakukan, yang mungkin bisa Anda dapatkan dalam keyakinan Anda.

OK, mari kita mulai.

Menghayati Ibadah

Ibadah ritual adalah ibadah yang sudah ditetapkan bentuk dan kadarnya pelaksanaannya. Kaidah dalam agama Islam untuk ibadah ini: lakukan hanya apa-apa yang diperintahkan. Jangan ditambahi, jangan dikurangi. Lakukan persis. Contoh ibadah jenis ini adalah shalat, zakat, puasa, haji, dzikir, dst.

Maka apa yang saya lakukan dalam menelaah ibadah jenis ini adalah memahami dulu aturan persis dari setiap ibadah, kemudian menelusuri bagaimana para ahli sampai pada tahapan penghayatan yang tinggi saat menjalankannya. Tidak perlu melakukan modifikasi apapun, sebab ia harus diyakini sempurna. Kita lah yang perlu memahami letak kesempurnaannya.

Salah satu contoh adalah penelusuran saya terhadap ibadah shalat. Shalat yang dihayati, disebut sebagai shalat yang khusyuk. Hanya shalat yang seperti ini lah yang diyakini akan memberi manfaat, lain tidak.

Lalu apa sebenarnya khusyuk itu? Para ahli agama memiliki penjelasan tersendiri. Kaidah mudahnya adalah bahwa seseorang tidak akan mendapatkan lebih daripada apa yang ia sadari dalam shalatnya.

Ah, sadar? Bukankah Anda mulai bisa melihat kaitannya dengan hipnosis?

Ya, hipnosis seringkali didefinisikan sebagai proses perpindahan kesadaran dari eksternal ke internal. Dari kesadaran terhadap hal-hal di luar diri, ke kesadaran terhadap hal-hal di dalam diri. Maka setiap kali seseorang fokus untuk menyadari apa-apa yang ia sedang pikir dan rasakan di dalam dirinya, ia sedang mengalami hipnosis, atau trance.

Namun mengatakan bahwa khusyuk itu hanya trance, jelas merupakan perkataan yang terburu-buru. Sebab kaidahnya jelas, khusyuk ialah kesadaran terhadap apa yang terjadi dalam shalat. Jadi seseorang yang khusyuk, adalah seseorang yang menjalani seluruh proses shalat secara sadar, penuh penghayatan. Tidak satu pun bacaan maupun gerakan yang terjadi secara otomatis, layaknya pesawat menggunakan auto pilot. Ia harus dilakukan dengan sadar, sesadar-sadarnya. Dengan kata lain, seseorang yang khusyuk, adalah ia yang mengalami trance terhadap bacaan dan gerakan shalat. Sehingga segala pikiran dan perasaan yang muncul pun, adalah yang terkait dengan bacaan dan gerakan tersebut. Dan sebaliknya, orang yang tidak khusyuk, adalah ia yang menjalankan shalat, namun bacaan dan gerakannya tidak menghadirkan trance yang tidak nyambung.

Di titik inilah, saya baru memahami sebuah ajaran yang mengatakan bahwa shalat bisa mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Sebab setiap bacaan shalat yang dihayati, sejatinya adalah sugesti yang kokoh untuk mengarahkan perilaku kita hanya pada hal-hal yang baik saja. Sisi lain, seseorang yang shalat namun masih mengerjakan perbuatan buruk, amat perlu mencermati kembali shalatnya.

Meluruskan Niat

Saat memahami sampai di titik ini, pikiran saya segera meluncur untuk fokus pada soal niat. Sebab inilah faktor kunci yang amat kritis. Jika soal perilakunya sih sudah jelas. Apapun, asal tidak dilarang, bisa jadi ibadah. Masalahnya, jika ia tidak diniatkan sebagai ibadah hanya kepada Tuhan, seketika ia kehilangan nilainya.

Singkat cerita, agama mengajarkan untuk terus meluruskan niat. Terus diluruskan, sebab kecenderungan niat memang bengkok, atau melenceng kesana kemari. Kadang ada rasa sombong, iri, dengki, marah, dendam, yang menjadikan niat tidak benar-benar lurus untuk pengabdian pada Tuhan. Dan jika hipnosis terbukti banyak membantu seseorang menyelesaikan trauma atau fobia, mengapa tidak kita gunakan ia untuk mengatasi masalah kesombongan, kedengkian, rasa ingin dipuji, gila hormat, dsb? Kesemuanya mungkin bukan masalah yang secara kasat mata mengganggu, seperti layaknya masalah trauma. Tapi ia jelas akan menggerogoti nilai ibadah kita.

Niat, bukanlah sesuatu yang diucapkan sekali, sudah itu mati. Niat, adalah sebuah konsistensi kondisi, alias state dalam bahasa NLP. Niat, adalah sebuah kondisi menyengaja dalam diri, yakni suatu proses pengaksesan kondisi pikiran-perasaan yang tepat untuk memunculkan perilaku yang diinginkan. Dan selayaknya sebuah state, ia jelas tidak statis, melainkan dinamis, keluar dari yang satu berganti menjadi yang lain.

Semisal, kita ingin bersedekah. Kita pun mengakses kondisi ikhlas, yakni kondisi dimana pikiran dan perasaan tertuju semata hanya mengharapkan ridha Allah. Jika terbersit sebuah keinginan untuk dilihat, baik itu dalam bentuk film dalam pikiran atau suara, kita pun segera mematikan atau menggantinya. Dengan demikian, perilaku sedekah kita pun menjadi bersih. Mengeluarkan uang terbaik yang kita miliki, lalu melakukannya dengan diam-diam.

Cukupkah?

Jelas tidak. Sebab sudah berperilaku seperti itu pun, seringkali niat ini berubah. Misalnya, ketika seseorang tiba-tiba melihat dan memuji apa yang kita lakukan. Sebuah suara barangkali muncul, “Wah, hebat juga ya, aku bersedekah seperti itu.” Jika kita jeli, seketika kita pun awas, dan segera mematikan suara tersebut, mengubah senyum bangga menjadi wajah penuh harap agar Allah masih sudi menerima sedekah kita tadi.

Demikianlah, niat adalah sebuah state. Sebab ia state,maka ia menaungi rangkaian perilaku yang ada di dalamnya. State senang akan memunculkan perilaku senyum tulus dengan lebih mudah, dibanding state sedih. State percaya diri akan menghadirkan perilaku bicara meyakinkan dengan lebih cepat dibanding state ragu-ragu.

Ah, bukankah jadi lebih jelas mengapa agama ajarkan kita untuk memulai sesuatu dengan meluruskan niat? Sebab tanpa niat yang lurus, perilaku tulus pun sulit untuk muncul. Alih-alih tulus, yang ada adalah perilaku hitung-hitungan. Tidak memberi jika pujian sedikit. Tidak mengajar jika honor kecil. Dan seterusnya.

Sementara niat yang tulus, menghadirkan segenap pikiran hanya soal meraih ridha Allah, melahirkan segenap rasa yakin akan pembalasan Allah, akan menghadirkan perilaku yang murni, apapun respon yang didapat. Dicaci ketika menasihati, kita justru tersenyum, sebab  yakin bahwa cacian kan berbuah pahala. Rugi ketika menerima kembali barang dagangan yang dikembalikan pembeli karena cacat, kita justru lega, sebab dihindarkan dari perhitungan di Hari Akhir kelak.

Manajemen Niat, Manajemen State

Maka manajemen niat, adalah manajemen state.

Dan berbekal NLP, ia adalah proses mengelola representasi internal alias film dalam pikiran, dan gerakan tubuh.

Ingin mendapat ilmu yang berlimpah? Niatkan untuk belajar dengan penuh takzim pada seorang guru.

Caranya?

Selidiki apa yang sedang diputar dalam pikiran. Dan ganti gambarnya dengan gambaran positif tentang sang guru, ilmunya yang luas, manfaatnya yang banyak. Putar suara dalam pikiran tentang nasihat untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Kecilkan suara-suara sumbang orang lain tentang sang guru, yang teringat. Dan rasakan diri ini begitu takzim, sehingga memudahkan ilmu baru masuk.

Takkan hadir ilmu, pada diri yang memelihara kesombongan.

Ingin bekerja dan mendapat rezeki berlimpah nan halal? Niatkan untuk bekerja tanpa pamrih.

Caranya?

Selidiki film yang kita putar dalam pikiran. Jika muncul pikiran tentang mendapat keuntungan lewat cara yang tidak halal, ganti segera! Munculkan ingatan tentang orang-orang jujur yang sukses, dan betapa berkah hidup mereka. Jika muncul bisikan-bisikan untuk bekerja seadanya, malas-malasan, kecilkan suaranya! Munculkan suara penyemangat, nasihat pembangkit inspirasi, hingga terasa semangat menggelora untuk persembahkan yang terbaik.

Selalu ada hasil, pada tiap kesungguhan.

Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Umar ra, pernah berujar, “Seandainya ada satu saja sujudku yang diterima, niscaya itu sudah cukup buatku.”

Wah, sahabat Nabi sekelas beliau saja tak yakin bahwa sujudnya yang buanyak itu diterima? Bagaimana dengan kita?

Inilah bukti bahwa niat harus terus diluruskan, dikelola. Ini pulalah  sebab mengapa kita diajar untuk berdoa agar hati yang memang tabiatnya senang berbolak-balik ini senantiasa diteguhkan di jalan Tuhan.

Menyelami Doa

Orang yang beriman itu berdoa. Ianya tak pernah putus harapan, sekaligus besar kecemasan.

Demikian nasihat yang pernah saya dengar satu kali. Begitu lama, hampir seumur hidup saya hingga kini rasanya, saya memahami doa semata hanya sebuah permohonan. Sebuah keinginan yang diucapkan, lisan ataupun batin, dengan harapan Tuhan mengabulkannya.

That’s it. Setelah itu berusahalah kita untuk menyambut dan menikmati jalan yang telah Tuhan siapkan guna terwujudnya doa itu. Ini tidak salah. Benar sekali. Hanya ada hikmah lain yang baru saya temukan pemahamannya beberapa tahun belakangan ini.

Hadirnya pemahaman saya tentang song of my life dan words that change life, menjadikan doa sesuatu yang sama sekali lain. Ia bukanlah sekedar sebuah permohonan yang diucapkan. Ia adalah sebuah cara untuk menjadikan setiap nan dimohonkan meresap dalam tiap sel tubuh, menjelma pikiran, menggugah perasaan.

Ingatan saya pun melayang ke setiap saat saya mengucapkan sebuah kalimat yang membesarkan nama Tuhan, sembari mengangkat kedua tangan saat memulai shalat. Betapa kemudian diri ini seketika terasa begitu kecil, tak berarti. Semakin kecil hingga tak terlihat bagai butiran debu. Sejurus kemudian hilanglah suara sekitar. Yang ada hanyalah suara diri yang terus mengucap doa, hingga getarannya yang merasuk ke dalam qalbu.

Ah, diri ini begitu kecil. Dan sebab kecil, apatah lagi berbagai masalah nan dikeluhi? Ia begitu remeh, sebab sang diri pun teramat remeh.

Dan, demi merasakan keremeh temehan ini, entah dari mana sebuah perasaan damai menyeruak, menghadirkan ketentraman. Rasa nyaman akibat yakin akan ke Maha Kuasaan Tuhan, ke Maha Besar an Tuhan. Ia begitu besar, kita begitu kecil. Sungguh tak terbatas kuasaNya, yang hanya setitik saja Ia karuniakan pada kita, hilanglah segala masalah, sirnalah segala gundah.

Maka rasa nyaman ini pun terasa semakin menyebar ke seluruh tubuh, ke tiap sel dalam diri. Ia seolah mempersiapkan tiap jalinan saraf untuk menghadirkan energi dan semangat baru dalam menyambut jawaban yang telah diberikan Tuhan pada diri.

Nah, saya tidak tahu bagaimana pengalaman Anda dalam berdoa selama ini. Adakah ia terasa begitu menggetarkan hati dan jiwa? Atau ia hanya rapalan kalimat semata?

Maka kini, tentu Anda ingin memilih sebuah doa yang ingin Anda rasakan kenikmatan di dalam mengucapkannya. Anda boleh mempersiapkan diri, baik duduk, berdiri, atau posisi lain yang sesuai. Suatu posisi yang Anda tahu, akan memudahkan Anda untuk mengalami penghayatan maksimal.

Anda boleh membuka atau tutup mata Anda, sekarang. Sementara lisan mulai melafalkan doa, apakah hal yang pertama kali muncul dalam pikiran? Adakah hal ini memperkuat atau melemahkan doa? Jika melemahkan, maka selayaknya Anda sedang menonton sebuah film DVD, Anda boleh menghentikan atau mematikannya segera. Sedang jika ia memperkuat, Anda tentu dapat menjadikan ia lebih berwarna, besar, dekat, bersuara stereo, dan seterusnya.

Dan di bagian tubuh mana saja kah sensasi unik mulai Anda rasakan? Seperti apakah gerakannya? Kemanakah ia mengalir, menyebar, membesar, hingga melingkupi seluruh tubuh Anda.

Aha! Bukankah berdoa seperti ini begitu nikmat?

Maka mengapa tidak Anda biarkan tubuh dan pikiran Anda mempelajari sensasi ini, sehingga dapat Anda manfaatkan kembali kapanpun Anda membutuhkannya?

Alami, nikmati.

Nah, mengapa menurut Anda otot seseorang yang rajin berolahraga lebih keras? Sebab ia menjalani latihan begitu rutin hingga kini tak lagi terasa berat, melainkan justru segar.

Demikianlah pula dengan berdoa seperti ini. Ia kan jadikan setiap jalinan saraf dalam tubuh sebuah cetak biru kesuksesan nan kita sambut.

Bertuhan itu berdoa, sebab Tuhan telah menitipkan kita segenap hardware kesuksesan. Yang dengan berdoa penuh kesungguhan, hardware bernama diri ini telah siap untuk menyambut keajaiban yang telah Ia siapkan.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

6 Comments