• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Trebuchet MS”; panose-1:2 11 6 3 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>

Jika Anda terkejut dengan judul di atas, begitu pula yang saya rasakan ketika pertama kali mendengarnya dari dua orang ‘gila’ yang membangun model NLP. Betapa tidak, saya yang sudah merasa mengeluarkan effort yang cukup besar untuk mempelajari ilmu yang saya anggap berharga ini, rupanya berakhir dengan sebuah kesimpulan bahwa NLP adalah ‘kebohongan’.

Namun, sebuah pertanyaan menyelusup: jika ia adalah ‘kebohongan’, mengapa ia bisa memiliki efek yang begitu besar terhadap pengembangan diri saya? Apakah saya memang suka ‘dibohongi’? Atau, saya justru bisa lebih mudah berkembang dengan ‘dibohongi’?

Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah guyonan: 90% laki-laki suka berbohong, dan 90% perempuan suka dibohongi. Tentu, ini adalah sebuah generalisasi yang parah, namun Anda tentu sepakat bahwa ia tetap adalah fenomena yang menarik untuk dicermati.

Apa yang Anda rasakan ketika kekasih Anda mengatakan, “Kamu adalah orang terbaik yang pernah kutemui”?

Melayang? Melambung? Terbang tinggi?

Eit, sebelum kepala Anda benjol karena menabrak langit-langit, Anda tentu sepakat bahwa kalimat tersebut adalah ‘kebohongan’, bukan? Menggunakan Meta Model, Anda bisa mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan ‘baik’, ‘terbaik’ di antara siapa, berapa persisnya orang yang sudah ia temui, dan bagaimana dia bisa yakin bahwa besok atau lusa tidak ada orang yang lebih baik yang ia temui. Dan saya berani jamin, Anda akan menemui fakta yang sama sekali lain.

Namun mengapa itu tidak Anda lakukan, dan lebih memilih untuk menikmati perasaan melayang, melambung, dan terbang tinggi tadi?

Yak, tepat! “Untuk apa melakukan klarifikasi kalau kalimat tersebut membuat hubungan kami semakin mesra? Kalimat seperti itu toh menyenangkan saya, dan membuat saya semakin mencintainya.”

Apa pola yang bisa kita pelajari dari sini?

Aha! Ini rupanya yang dimaksud oleh ajaran agama yang mengatakan bahwa sebuah ‘kebohongan’ dihalalkan ketika ia dilandasi niat baik untuk kebaikan pula.

Ya, NLP adalah sebuah ‘kebohongan’. Bagaimana tidak? Anda kenal dengan reframing? Di bagian mana sebetulnya yang dinamakan dengan parts itu?

Atau, mungkin Anda ingat dengan phobia cure, pacing-leading, anchor? Bagaimana sebenarnya kita bisa memutar balik ‘film’ dalam pikiran kita? Bagaimana sebenarnya kita bisa secara nyata menyamakan ‘frekuensi’ untuk bisa membangun hubungan? Bagaimana pula sebenarnya kita bisa memasang sebuah ‘tombol’ dalam diri kita?

Kita telah ‘dibohongi’ oleh para trainer dan penulis NLP. Mengapa ‘dibohongi’? Karena jika kita tidak mempercayainya, maka semua prinsip dan teknik NLP tidak bisa bekerja.

Tapi…

Omong-omong…

Bukankah kita menjadi lebih baik dengan menerapkan ‘kebohongan’ ini? Bukankah kita melakukan ‘kebohongan’ ini pun dengan niat baik untuk mencapai sesuatu yang baik pula? Bukankah ketika kita menerapkannya secara ekologis, maka tidak akan ada satu orang pun yang tidak merasakan kebaikannya?

Ah, saya tidak mau ambil pusing dengan ‘kebohongan’! Toh ketika saya percayai, maka ia tidak menjadi ‘kebohongan’ menurut saya. Ia justru menjadikan saya bisa memilik hubungan yang lebih harmonis dengan diri sendiri dan orang lain. Ia membantu saya mencapai apa yang saya inginkan dengan membuat saya lebih memahami cara pikiran dan perasaan saya bekerja. Ia mempercepat penyembuhan saya dari berbagai ‘penyakit’ fisik dan emosi.

Well, saya tidak tahu dengan Anda. Namun saya memilih untuk menjadikan NLP untuk saya percayai sejauh ini. Jika Anda juga menginginkannya, saya tidak bisa mengatakan Anda tidak akan mencapai apa yang Anda inginkan, karena demikian lah yang terjadi dengan saya, yang mencapai apa yang saya inginkan.

Mmm…omong-omong soal guyonan soal laki-laki suka berbohong dan perempuan yang suka dibohongi tadi, saya jadi ingat sesuatu yang lain. Saya pernah bertanya pada istri saya, “Mengapa ya seorang laki-laki bisa terbangkitkan hasratnya jika melihat perempuan dengan gaya berpakaian tertentu, tapi perempuan belum tentu mengalami hal yang sama jika melihat laki-laki berpakaian tertentu?” Dengan santai dan wajah iseng, istri saya menjawab, “Karena memang laki-laki paling banyak memproses informasi secara visual.”

“Lah, memangnya perempuan dengan apa?” tanya saya penasaran.

“Dengan auditorial, makanya perempuan suka dirayu,” jawabnya santai sambil tersenyum.

Hmmm…lagi-lagi sebuah generalisasi yang bercampur dengan distrosi dan delesi. Tapi ada yang menarik dari guyonan ini. Kalau pun ia benar adanya, maka berarti laki-laki memang tanpa disadari telah menemukan ilmu pacing jika ia berhasil ‘membohongi’ kekasihnya yang ternyata memang suka ‘dibohongi’.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply