• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

Sebuah kenyataan umum di antara para praktisi NLP, ketika berbicara tentang komunikasi maka ada angka-angka yang hampir tidak pernah absen disebut-sebut: 7-38-55. Seolah telah menjadi pedoman baku, angka tersebut—biasanya—berbunyi kira-kira adalah bahwa dalam komunikasi kata-kata hanya memainkan peran sebanyak 7%, tonalitas alias cara pengucapan sebesar 38%, dan fisiologi alias bahasa tubuh sebesar 55%. Dan, inilah yang kemudian selalu dijadikan dasar untuk mengajarkan pentingnya mengemas sebuah pesan melalui tonalitas dan bahasa tubuh yang sesuai.

Sempat memang saya setuju dengan teori ini, sampai suatu waktu saya menemukan sebuah artikel lain yang juga ditulis oleh seorang praktisi NLP, Dr. C. E. “Buzz” Johnson. Tanpa ia bermaksud untuk mengkritik pemahaman yang didapat dari beberapa orang guru yang mengajarkannya, ia penasaran dengan fakta sebenarnya dari penelitian tersebut. Ia mengaku sedikit ‘curiga’ ketika mereka yang mengajarkan teori tersebut rupanya sulit untuk mengingat siapa persisnya yang melakukan riset dan akhirnya menemukan teori tadi.

Usut punya usut, ia pun menemukan Albert Mehrabian sebagai penemunya. Penyelidikan pun dimulai, sampai akhirnya ia mendapati bahwa tidak ada yang salah dengan angka 7-38-55 tersebut. Risetnya valid. Hanya memang penafsiran terhadap angka tersebut yang perlu diluruskan.

Dari salah satu buku yang ditulis oleh Mehrabian, Silent Message, ditemukan bahwa persentase tersebut sebenarnya hanya berlaku dalam proses komunikasi yang inkonsisten, atau dalam istilah NLP inkongruen. Bahkan, Mehrabian pun menegaskan bahwa ada banyak keterbatasan dalam komunikasi non verbal. Dalam sebuah kesempatan untuk berbicara secara langsung via telepon di tahun 1994, Dr. Johnson mendengar sendiri pernyataan dari Mehrabian bahwa penemuan tersebut memang tidak dimaksudkan untuk diterapkan dalam komunikasi sehari-hari.

Dalam riset tersebut, hanya ada satu kata yang digunakan, yaitu kata “maybe”. Tiga orang perempuan kemudian diminta untuk mengucapkan kata tersebut dengan mengubah-ubah nada suara sehingga seakan mengungkapkan 3 sikap yang berbeda. Rekaman tersebut kemudian diperdengarkan kepada 17 orang perempuan yang diminta untuk membayangkan si pengucap mengatakannya kepada orang lain kemudian menerka bagaimana kah sikap si pengucap tadi. Praktis, tidak ada respon balik dari si pendengar, yang memang hanya merupakan tokoh rekaan semata.

Eksperimen lain, 3 buah foto hitam putih dari 3 orang perempuan yang menampakkan wajah dengan 3 ekspresi sikap yang berbeda, ditunjukkan kepada 17 perempuan yang sama. Mereka diminta untuk melihat foto sembari mendengar rekaman suara tadi, untuk kemudian membayangkan tokoh dalam foto tersebut berbicara kepada orang lain. Kesimpulan dari 2 eksperiman tersebut adalah bahwa komponen ekspresi wajah ternyata lebih kuat dibandingkan suara dengan perbandingan 3:2

Penelitian pun berlanjut hingga beberapa tahun kemudian, salah satunya dengan menambahkan kata-kata yang direkam menjadi 3 macam kata. Yang menarik, Mehrabian mengakui adanya keterbatasan dalam metodologi penelitian yang digunakan. Tidak hanya itu, ia juga menekankan bahwa penemuan tersebut hanya dapat digunakan ketika tidak ada informasi tambahan mengenai si pembicara-pendengar.

Well, saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk membahas permasalahan metodologi jika sedang menggunakan mode NLP seperti ini. Sebab NLP memang bukan sebuah teori, ia adalah model. Dan praktisi NLP juga sejatinya bukanlah seorang teoritisi, melainkan modeler.

Namun demikian, belakangan saya menemukan sebuah ungkapan yang menarik dari Richard Bandler dalam audio book-nya, Charisma Enhancement. Intinya kurang lebih adalah sebagai berikut:

Ketika Anda berbicara di depan publik, penguasaan akan materi yang Anda bicarakan sebenarnya adalah hal yang utama. Ia lah yang akan menumbuhkan kepercayaan diri Anda, dan pada akhirnya memunculkan kongruensi dalam pembicaraan Anda.

Hmm…sedikit menyentil, bukan? Ketika saya pernah memahami bahwa penguasaan materi yang minim dapat ‘ditutupi’ dengan pembungkus yang menarik dari tonalitas dan fisiologi kita, justru Bandler menekankan pentingnya seorang pembicara benar-benar menguasai materi yang akan ia bicarakan.

Saya pikir-pikir dan rasa-rasakan, saya pun menyadari kebenaran model ini. Bukti gampangnya adalah bahwa kitab suci diturunkan dalam bentuk kata-kata saja. Meskipun, jika Tuhan mau, Ia tentu dengan mudah dapat menurunkannya dalam bentuk panduan tonalitas dan fisiologi ketika membacanya. Namun, keduanya menjadi tidak perlu, ketika kata-kata mulia dalam kitab suci tersebut, jika diucapkan dengan benar, akan mengantarkan kita kepada tonalitas dan fisiologi yang kongruen dengan sendirinya.

Well, sebagai penutup, saya ingin meminjam salah satu presuposisi NLP, everything is connected.  Kita tidak bisa tidak kongruen. Ketika kita tidak menguasai materi, maka kita akan kongruen, dengan tidak kongruen.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply