• Teddi Prasetya
  • NLP Advance
  • 1 Comment

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Artikel ini adalah proses chunk down dari artikel gubahan Pak Ronny mengenai proses latihan modeling yang dilakukan oleh para peserta program Licensed Master Practitioner of NLPTM selama 7 hari.

Yap, asyik sekali bertemu dengan orang sekelas Pak Yan Nurindra. Orang seperti Pak Yan inilah yang pantas menyandang sebutan expert, yang tidak hanya tahu, paham, dan bisa, juga kesemuanya itu telah terintegrasi dari dalam dirinya. Ibarat masakan, cara Pak Yan melakukan hipnosis itu memang sudah punya komponen utama yang membuat masakan tersebut enak disantap. Maka kalau dibedah satu per satu komponennya, barangkali kita sudah tidak menemukan lagi pola-pola yang eksplisit. Tidak heran, wejangan yang awal-awal kami dengar pada sesi demo tersebut adalah,“Hipnosis itu seni”.

“Wah, repot ini kalau sudah pakai kata ‘seni’.”

“Loh, kok repot segala?”

“Ya repot, sebab itu artinya sudah sulit untuk disistematisasikan.”
“Ah, sulit itu kan hanya pelanggaran Meta Model modal operator saja.”

Maka kami pun menuruti saran guru kami, untuk mulai memasang structure mode onalias mode state untuk lebih memperhatikan struktur sebuah perilaku. Segala ilmu NLP sudah siap untuk digunakan dalam proses memodel ini. Sama siapnya dengan Pak Yan sebagai sang model yang siap manggung di catwalk, eh, hypnosiswalk.

Tidak sampai 5 menit pertama, saya mulai kuwalahan untuk mendeteksi berbagailanguage patterntonality markinganchor, dll yang dilakukan oleh Pak Yan. Walhasil, saya mulai frustasi dan bertanya-tanya, “Apa iya Pak Yan secara sadar melakukan semua hal ini sekaligus dengan begitu mengalirnya?” Apalagi, saya juga menandai bahwa ada beberapa penggunaan kata Pak Yan yang sebenarnya kalau dipandang dari sisi language pattern justru kontraproduktif. Tapi toh, hasilnya tetap cespleng, aliasnggak ngaruh. Begitu mudahnya Pak Yan menggiring seseorang masuk dan keluartrance, sampai kadang-kadang saya jadi bingung sebenarnya mereka itu sedang trancemodel apa. Hehehe…

Rupa-rupanya, rasa gundah tersebut berujung pada sebuah pencerahan, “Hmm…pasti ada sesuatu yang lain nih. Sesuatu yang lebih esensial daripada berbagai struktur itu tadi.” Pasti ada hal yang lebih struktural daripada struktur itu. Halah, apaan sih maksudnya? Ya itu lah, ada hal yang lebih esensial gitu lho.

Maka sejenak saya amati kembali catatan-catatan saya. Wow! “Bener nih. Kayaknya ini kuncinya. Kunci bagaimana Pak Yan bisa mendemonstrasikan berbagai ‘teknik’ dengan begitu mengalir dan terintegrasi.”

Apakah itu?

State of mind.

Ah, masak cuma itu?

Iya, itu, tapi bukan ‘cuma’.

Kok bukan cuma?

Ya karena memang bukan cuma!

Maksud loh?

Begini ceritanya. Kan state itu adalah kondisi pikiran-perasaan. State dibentuk oleh pikiran-perasaan, begitu juga pikiran-perasaan membentuk state. Anda tentu pernah merasakan ketika melakukan sesuatu, yang rasanya “dapet” nih, dan hasilnya sempurna seperti keinginan Anda. Sementara pada kesempatan lain, Anda merasa “nggak dapet-dapet” nih, sehingga hasilnya pun kurang memuaskan. Nah, itulah fungsi state. Sebuah state memiliki daftar perilaku, belief, value, dll yang cocok dengannya. Ibarat sebuah kaset, state memiliki repertior lagu-lagu yang memang menjadi bagian dari album tersebut.

Saya rasa-rasakan, tampaknya memang demikian. Ada sesuatu state yang khas ketika Pak Yan sedang berdemo. Dan, hal ini tercermin dari kata-kata yang beliau ucapkan.

“Anda harus merasa diri Anda adalah seorang master. Master yang luar biasa.”

Wuih, udah lah master, yang luar biasa lagi. Kayak apa tuh?

Ya kayak Pak Yan itu lah.

Saya pun teringat sebuah kisah di dalam komik tentang seorang guru Aikido. Setelah mendemokan sebuah teknik untuk melepaskan diri dari cengkeraman secara sistematis, di akhir kelas sang guru juga mendemokan teknik yang sama yang dapat dilakukan setelah seseorang mencapai tahap master. Yaitu….tanpa teknik! Cukup menggoyangkan badan, dan sang pencengkeram pun terpelanting.

Nah, jadi masuk akal sekarang, bagaimana Pak Yan bisa melakukan berbagai teknik dengan leluasa. Beliau tentunya sudah “dapet” banget dengan state menghipnosis ini. Maka teknik seolah keluar begitu saja sesuai dengan situasi dan kondisi.

Lalu, saya pun mengalihkan fokus modeling saya pada state Pak Yan tersebut. Dan, perhatian saya pun tertuju pada beberapa kalimat Pak Yan yang menarik seperti, “Sebenarnya proses kita ini kayak berkenalan dengan bawah sadarnya dia.”

Berkenalan? Kayaknya ada sesuatu yang unik nih dari kata ini. Maka saya coba rasa-rasakan kata tersebut dengan membayangkan diri saya sedang melakukan apa yang Pak Yan lakukan.

Nah…nah…ternyata memang ada yang unik. Kata berkenalan ternyata memunculkan perasaan seperti sedang berinteraksi alias mengobrol dengan seorang teman. Wah, unik benar ini memang. Bukankah ini terjemahan bebas dari rapport yang sering dibicarakan itu? Selama ini saya berpikir rapport sebagai sesuatu yang ‘formal’. Namun dengan mempelajari apa yang Pak Yan lakukan, rapport jadi sesuatu yang sangat mengalir dan informal, ya berkenalan ini.

Saya pun tiba-tiba teringat pertanyaan Pak Yan kepada Pak Ronny tentang sebuah konsep trance, “Trance is learning about trance”. Yang namanya trance itu sebenarnya adalah sebuah proses untuk belajar mengalami trance. Di sini lah saya pun jadi mulai paham cara kerja Pak Yan saat mendemokan proses hipnosis. Pak Yan tidak sedang mengendalikan seseorang untuk mengalami trance. Pak Yan sebenarnya sedang mengajari seseorang untuk mengalami trance. Yang namanya guru kalau mengajari, ya tentu akan senantiasa fleksibel ketika muridnya belum berhasil. Dan hal ini secara jelas didemonstrasikan oleh Pak Yan kepada salah seorang peserta yang baru bisa mengalami trance secara penuh setelah beberapa kali berganti teknik. Tidak ada yang berubah dari ekspresi wajah Pak Yan. Persis seperti seorang guru yang dengan sabar membimbing muridnya untuk mempelajari sesuatu.

Nah, di titik ini lah saya juga semakin memahami soal state berkenalan itu. Kita sebagai hipnotis, mestilah menganggap klien sebagai teman. Jadi ketika melakukan hipnosis, ya seperti layaknya seorang teman sedang mengajari temannya saja. “OK, sekarang begini caranya. Udah bisa? Bagus. Loh, kok belum bisa? OK, sekarang lakukan yang ini. Nah, betul itu.”

Kalau sudah begini, maka menerapkan presuposisi, “There is no failure, only FEEDBACK,” jadi mudah. Tidak perlu takut dengan yang namanya gagal menghipnosis, karena gagal itu TIDAK EKSIS. La wong sama teman sendiri kok. Ya tinggal kita ajari saja cara yang lain. Gitu akan kok repot…

Sebuah masukan pun hadir dari Pak Ronny, mengenai soal state of mind ini. Menurut Pak Ronny, state of mind-nya Pak Yan itu seperti mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa, “Ah, wis apal aku”. Yang artinya kurang lebih, “Ah, saya sudah hafal semua!” Dengan masuk pada state ini, jelas saya Pak Yan bisa begitu percaya diri dalam melakukan setiap langkahnya.

Kesimpulan sementara, jika mau menggunakan cara Pak Yan dalam menghipnosis, akseslah state ketika Anda merasa sangat percaya diri melakukan sesuatu akibat merasa sudah hafal persis seluk beluknya. Setelah itu, gabungkan dengan statemengobrol bersama seorang teman, dimulai dari berkenalan hingga mengajarinya mengalami trance.

Hmm…ini saja sudah asyik banget kalau dipraktikkan. Bagaimana dengan yang lain ya? Tunggu ketika saya sudah melakukan modeling lagi kepada Pak Yan ya.

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

1 Comment