• Teddi Prasetya
  • NLP Practice
  • 7 Comments

Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan

Ted, nggak salah tuh?

Apanya yang salah dan enggak?

Ya itu, mau sharing tentang NLP dan slimming.

Emang apa yang salah?

Kok tiba-tiba menclok ke dunia per-slimming-an?

Nggak menclok kok.

Terus?

Hanya berbagi pengalaman. Tahun 2008 kan tahun berat badan tertinggi tuh, 72 kg. Nah, di pertengahan 2009 turun hingga 68. Terus turun hingga mencapai titik stabil di 61. Bahkan pernah 59. Semuanya tanpa diet.

Hah! Yang bener tuh? Tanpa diet?

Bener. Makan enak, aktivitas biasa. Tubuh seperti mengatur sendiri kapan harus berhenti, kapan harus menambah.

Waaaah, mau donk dibagi pengalamannya!

Nah, ini baru mau ditulis.

Demikianlah obrolan singkat saya dengan seorang kawan yang mendengar bahwa saya akan berbagi pengalaman di NLP Talks dengan judul “Slim WithOut Pain”. Karena selama ini saya banyak dikenal sebagai praktisi NLP untuk urusan bisnis dan pendidikan, maka kawan saya ini jadi penasaran ketika mengetahui saya seolah berpindah haluan ke soal-soal kesehatan.

Well, bagi saya, saya tidak sedang berpindah haluan. Sebab haluan saya ya memang satu: aplikasi NLP di semua bidang. Dan karena obyek NLP adalah manusia, maka saya berani mengatakan bahwa dimana ada manusia, di situ lah NLP bisa berperan aktif.

Lalu, apa sebenarnya yang akan saya bagikan?

Sederhana kok. Saya sendiri heran dan masih terus memodel apa yang terjadi dalam diri saya. Kok bisa-bisanya berat badan saya turun ke titik yang saya inginkan, tanpa ada program khusus. Karena saya menganggap hal ini sebagai salah satu hal yang ekselen, maka alarm NLP saya pun menyala keras, “Woooi, model woooi! Jangan dianggurin aje tuh!” Begitu lah kira-kira alarm tersebut memperingatkan saya.

Tentu saja masih banyak orang lain yang mengalami perubahan jauh lebih dramatis daripada saya. Maka dari itu saya juga masih terus mencari dan mengembangkan model ini, sembari melakukannya pada diri sendiri.

Saya pun mengingat-ingat kembali perjalanan saya sejak akhir tahun 2008, ketike berat badan saya mencapai titik tertinggi sepanjang saya hidup hingga saat ini: 72 kg. Wah, sungguh repot. Tubuh terasa berat, celana dan baju kesempitan semua, turun tangga latihan gempa ngos-ngosan, pokoknya nggak nyaman sama sekali lah.

Entah apa yang terjadi ketika itu, berat badan saya pun turun hingga mencapai 68 kg. Titik yang membuat saya PD, bahwa saya pasti bisa mencapai berat badan ideal, sesuai dengan tinggi badan saya. Sungguh aneh, sebab merasa tidak mengelola kegiatan makan saya secara sadar. Saya tetap makan makanan-makanan favorit saya, saya tetap beraktivitas seperti biasa, benar-benar tidak ada program khusus.

Namun, memang ada sesuatu yang berubah dalam pola makan saya.

Ya, tubuh saya seperti mengatur dirinya sendiri. Saat sedang kelaparan di pagi hari, misalnya, saya makan cukup banyak. Nah, biasanya, meskipun sudah makan cukup banyak, jam 10 perut saya sudah mulai keroncongan lagi tuh. Maka turun lah saya ke koperasi kantor untuk mencari beberapa potong cemilan.

La sekarang ini beda sekali. Jika saya sudah sarapan cukup banyak, maka otomatis perut saya aman sampai siang. Memang sesekali terasa keroncongan, tapi sekarang saya seperti memiliki sebuah tombol pause, dengan bertanya pada diri sendiri, “Kamu ini benar-benar lapar, atau mau nurutin nafsu makan doank?” Nah, kalau sudah begini, biasanya saya pun tersadar dan mengurungkan niat untuk makan cemilan lalu melanjutkan pekerjaan. Begitu pun yang terjadi saat satu ketika saya makan berlebihan akibat ada rekan-rekan kerja yang ulang tahun atau membawa cemilan sisa meeting di sore hari. Maka otomatis di malam hari nafsu makan saya bisa hilang sama sekali, atau setidaknya menurun drastis lah.

Sementara itu, saya juga menandai hal lain, yakni dalam soal pengaturan makanan. Jika saya merasa sudah makan atau minum terlalu banyak gula, maka secara otomatis saya jadi kepingin banyak minum air putih. Begitu pula saat saya terlalu banyak makan makanan berlemak, saya pun kemudian jadi kepingiiiiin banget makan sayur dan buah-buahan. Semuanya berlangsung secara otomatis tanpa saya sadari saat ia terjadi. Seolah ada program baru terinstal dalam diri saya untuk melakukan itu semua.

Ada apa ini?

Selidik punya selidik, saya pun menemukan beberapa kata kunci.

Pertama, saya sejak dulu percaya bahwa berat badan ideal itu kuncinya hanya 1: menyeimbangkan input dan output. Input adalah makanan, output adalah aktivitas. Kalau yang kita makan sesuai dengan apa yang kita keluarkan, berat badan kita ideal. Sementara kalau salah satu saja tidak seimbang, kita pun kegemukan atau kekurusan. Nah, konsep keseimbangan ini saya rasakan telah menjadi sebuah belief baru bagi saya dalam hal makanan. Maka tidak heran jika perilaku-perilaku seperti saya ceritakan tadi muncul begitu saja, sebab belief baru jelas memiliki repertoar perilakunya sendiri.

Kedua, kata ‘makan’ saya resapi memunculkan makna yang berbeda pada saya saat ini. Saya ingat ketika saya masih gembul dulu, saya rupanya masih menggunakan mindset makan mahasiswa, yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Makan adalah untuk menghilangkan lapar, dan bikin kenyang. Jadilah saya gembul, sebab aktivitas fisik saya setelah bekerja jelas jauh menurun dibandingkan ketika kuliah. Kembali ke hukum keseimbangan, maka output saya kalah jauh dibandingkan input saya. Apalagi, kualitas makanan (baca: makanan berlemak) yang saya makan pun meningkat. Klop sudah, gembul mania.

Nah, sekarang ini, kata ‘makan’ rupanya memiliki makna yang multipel. Ia bermakna sumber energi, sehingga kalau bisa menggunakanya itu ya sehemat mungkin, namun dengan manfaat yang maksimal. Persis seperti para produsen kendaraan bermotor yang selalu terobsesi untuk menciptakan kendaraan berbahan bakar irit dengan tenaga yang besar. Maka makna ini menjadikan saya fokus untuk mencari makanan yang dapat memberi energi maksimal, tanpa perlu terlalu mengenyangkan perut. Sebab perut yang kenyang akan menambah beban tubuh, sehingga toh makanan yang saya masukkan sebenarnya justru lebih banyak digunakan untuk mengendalikan tubuh yang kelebihan beban ini.

Kata ‘makan’ juga bermakna ibadah, seperti halnya berbagai aktivitas lain. Seiring dengan pengembangan Spiritual NLP yang saya lakukan sejak awal 2009, saya menemukan bahwa kegiatan makan tidak akan berlebihan jika dilakukan sesuai dengan ajaran agama.

Kok?

Begini ceritanya. Yang sederhana saja deh. Doa makan saja. Berapa banyak orang yang membaca doa makan asal lewat? Padahal, doa makan adalah sebuah cara yang ampuh untuk menyiapkan tubuh menerima dan mengolah makanan. Saya merasakan bahwa membaca doa makan dengan penuh penghayatan rupanya memunculkan sensasi khidmat nan nikmat saat makan. Sensasi inilah yang kemudian menjadikan kegiatan makan tidak akan saya campur dengan kegiatan lain yang akan mengurangi kenikmatannya. Nah, klop banget nih dengan apa yang pernah saya dengar dari hasil penelitian (sayangnya, saya lupa sumbernya) bahwa kebanyakan orang obesitas karena sering melakukan kegiatan makan bersamaan dengan kegiatan lain seperti bekerja, menonton televisi, dll. Akibatnya, tubuh tidak benar-benar siap menerima makanan, plus tidak benar-benar maksimal dalam mengolah makanan yang masuk.

Sementara itu, dalam doa makan yang biasa saya ucapkan, terkandung makna bahwa kita meminta agar dihadirkan keberkahan dalam makanan yang kita makan. Wah, ini jelas doa yang serius nih. Diucapkan pada Tuhan pula. Maka kegiatan makan saya pun tidak menjadi kegiatan yang sepele lagi, sehingga berbagai adab makan seperti duduk dan mengunyah hingga lumat pun berjalan secara otomatis. Nah, saya lalu merasakan lagi, bahwa adab-adab ini rupanya juga menyiapkan tubuh untuk menerima makanan dan mengolahnya dengan lebih mudah.

Semenjak penemuan inilah, saya tidak pernah lagi main-main dengan doa yang saya ucapkan.

Ketiga, omong-omong soal menyeimbangkan menu, rupa-rupanya terjadi proses perubahan submodalitas dalam diri saya terkait dengan jenis makanan yang selama ini kurang favorit bagi saya. Ya, saya bukanlah penggemar sayuran. Dulu, saya hanya makan sayuran jika sudah mulai sembelit. Entah bagaimana mulanya, yang pasti saya mulai dapat merasakan kenikmatan makan sayur. Tidak saja lidah saya berkompromi, tapi saya benar-benar merasakan asyiknya. Apalagi yang namanya gado-gado. Wuih, kini bagi saya persis seperti makan pizza!

Begitu pula dengan minum air putih. Saya yang penggemar minuman manis nan berwarna, kini mampu meminum air putih dalam jumlah banyak dengan penuh kenikmatan. Ya, seperti ada proses amplify di kerongkongan saya saat merasakan kesegaran air putih, yang mengaliiiir terus hingga lambung. Wuih…segar deh pokoknya!

Oh, jadi begitu caramu jadi kurus?

Begitulah.

Mudah ya?

Siapa yang bilang sulit?

Iya juga sih. Terus, kalau buat menggemukkan badan, bisa juga?

Ya. Langkah-langkah di atas kan memang bukan soal menurunkan berat badan, melainkan mencapai berat badan yang ideal, tepat sesuai kebutuhan kita. Maka orang yang terlalu kurus tentu akan meningkat berat badannya hingga mencapai titik ideal itu.

Wah, asyik nih. Coba ah…

Demikianlah. Saya masih terus melakukan proses modeling, termasuk pada beberapa rekan yang doyan makan namun tetap langsing. Namun setidaknya 3 hal di atas sudah begitu nyata saya rasakan efeknya dalam diri saya. Di antara ketiganya, 2 yang pertama merupakan kata kunci yang penting. Hidup adalah soal menjaga keseimbangan. Keseimbangan dijaga, hidup pun tenang dan damai. Sementara ketika setiap hal sudah bermakna ibadah, maka tidak akan ada istilah merasa kurang sehingga perlu menambah yang tidak kita butuhkan.

Jadi, selamat memulai hidup baru!

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply

7 Comments

  • […] Kisah ini diceritakan oleh mas Teddi pada class Ericksonian Approach on Hypnosis […]

  • dhanti

    waaahh….patut dicoba banget nih ted…..thanks atas inspirasinya……

  • Farida

    Waaah, luar biasa banget nih sharingannya. Walopun baru baca, saya yakin metode in manstaaaaabs…. Memang apa yang kita percayai dalam pikiran itu perlu kita kelola secara positive, dan di sinergikan dengan kesadaran kita. Dengan demikian hasilnya optimal. Thanks berat ya Pak Teddi. Saya segera mencoba……..

  • ifliandry

    patut dicoba .. awalnya saya tidak perduli soal berat badan .. kadang malah ngeledekin temen2 yg diet .. mungkin karma kali ya .. sekarang saya jadi gembul ..hehehe .. secara penampilan sih gak apa2 .. tapi begitu berhadapan dengan celana sempit, baju sempit, badan jadi berat, mau duduk keganjel perut, main futsal seperti sambil bawa ransel… that’s it .. saya harus berubah … terima kasih pak Teddi atas ilmunya … btw buku “the art of enjoying life”-nya bapak, Ok punya. Saya dalam proses membacanya.

  • Y. Subiyanto HS

    Aku mau coba. Dari 68 ke 58. 10 kg lumayan. Soalnya kalau terlalu kempes, orang bilang, “kasihan, kena gula.” Kalau dengar orang komentar, payah jadinya.
    Apa iya, gemuk lambang kemakmuran. Yang jelas gemuk lambang bom waktu penyakit merenggut nyawa.
    Wasalam.
    Y. Subiyanto HS.

  • Iwan Mahmud

    Wah sharing yg mencerahkan….memang benar kemaren2 kita belajar berdoa sekedar ritual tanpa pengamalan sampai ke state bahwa ketika waktu makan y kita harusnya menikmati berkah makannya, bukan sambil aktivitas lainnya. Trims atas input belief baru tentang makan yang penuh berkahnya.

  • galuh

    sy termasuk yang sebelum ini kurang memaknai doa sebelum makan, jadi tertonjok.. makasih inspirasinya…