• Teddi Prasetya
  • NLP Reflections
  • No Comments

“Jika ada yang katakan kesabaran ada batasnya, maka kemarahan dan kekecewaan pun ada batasnya pula.”

Demikian biasa terdengar. Sebuah kalimat yang tentu memiliki alasan. Atau menjadi alasan, untuk tidak merasa sabar. Dulu, aku berpikir bahwa kalimat ini amat perlu direvisi. Ya, mempelajari beragam ilmu dan meretas secuil hikmah saja telah mengajarkanku bahwa kesabaran sungguh tidak berbatas. Apatah lagi kala mendapati kisah-kisah orang yang menyejarah. Duh, betapa kesabaran mereka sedemikian luas, layaknya samudera, dibandingkan dengan kesabaranku yang sekolam kecil saja.


Namun sisi lain, kesabaran mungkin memang ada batasnya. Yakni batas yang kita ciptakan sendiri. Maka tadi kukatakan kalau kalimat ‘kesabaran itu ada batasnya’ kerapkali merupakan alasan untuk melampiaskan gejolak jiwa. Untuk melepas, kita tentu memerlukan pintu, sebuah pembatas. Dan sebab tak pernah ada pembatas fisik yang nyata, kita perlu menciptakannya sendiri dalam diri. Jadilah aku sepakat kalau kesabaran memang ada batasnya. Batas yang bisa kita buat, dan karenanya berarti bisa kita perluas sendiri.

Nah, sampai di sini sebuah tanya pun terbit. Jika kesabaran ada batasnya, dan ia kita ciptakan sendiri, bukankah berarti kemarahan, kesedihan, kegalauan, kecemasan, pun ada batasnya?

Ah, mengapa tidak? Bukankah semuanya sama-sama rasa belaka? Sama-sama tak punya batas-batas nyata. Lalu jika kita bisa berkata ‘kesabaranku telah habis’, kita pun bisa berucap ‘kemarahanku telah habis’, ‘kesedihanku telah usai’, ‘kegalauanku telah berakhir’.

Lebih jauh dari itu, kita bahkan bisa mengatakan ‘kemarahanku hanya akan sebatas ini saja’, ‘kesedihanku takkan melebihi batas ini’, ‘aku akan galau selama 10 menit saja’.

Mau coba, sekarang?

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply