• Teddi Prasetya
  • Coaching Insight
  • No Comments

Coaching adalah sebuah proses dialog yang terfokus. Maka pertanyaan pertama yang selalu ditanyakan oleh coach pada klien adalah: apa tujuan yang ingin Anda capai? Dan sebagai coach, saya hampir tidak pernah menemui klien mampu menjawab dengan jelas dan spesifik di kesempatan pertama. Apalagi jika sesi itu adalah sesi perdana. Jauh lebih sering jawaban yang meluncur perlu diklarifikasi, dipertajam, digali, dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Dan ini adalah kondisi wajar.

Wajar?

Ya. Klien menjadi klien, sebab mereka perlu bantuan untuk memahami apa yang terjadi, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan. Jika klien sudah bisa menjawab apa yang menjadi tujuan dengan jelas, maka ia tak perlu coach. Justru masalah sering muncul karena kebelumjelasan ini.

Dalam khazanah terapi, saya teringat kalimat dari Milton Erickson, “Patient is a patient, because they are disconnected to their unconscious mind.” Seseorang menjadi pasien, sebab mereka belum menyadari apa yang terjadi pada pikiran asadar mereka. Klien coaching tentu bukan pasien klinis. Namun kondisinya mirip, yakni mereka kerap masih belum terhubung dengan potensi terdalam pada dirinya. Jadilah tugas coach adalah memfasiliitasi proses lahirnya kesadaran ini.

Maka dalam khazanah NLP, pertanyaan tentang tujuan bisa mencapai 5 jenis:

  1. Apa yang Anda inginkan?
  2. Seperti apa kelihatan, kedengaran, terasanya, jika tercapai?
  3. Mengapa Anda menginginkannya?
  4. Kapan?
  5. Di mana?
  6. Bersama siapa?

Dan sungguh bukan perkara mudah untuk menjawab kelima pertanyaan ini. Ya, jika mudah, tentu klien sudah bisa melakukannya sendiri sejak lama. Kenyataannya, jarak antara tahu dan mampu memang seringkali cukup lebar. Dan untuk klien menjawab kelimanya, seorang coach seringkali perlu memiliki ketekunan yang luar biasa.

Mengapa bisa begitu ya?

Salah satu sebab yang saya temui adalah, ketika diajukan pertanyaan tentang tujuan, jawaban klien adalah tentang apa yang ia ingin tinggalkan. Dan ini wajar, sebab apa yang ingin ditinggalkan adalah sesuatu yang riil, sementara apa yang ingin dicapai masih belum terjadi. Sebab kedua, klien menjawab dengan sebuah tujuan, namun bukan benar-benar yang bermakna bagi dirinya, yang karenanya akan membuatnya berjuang untuk mencapainya. Untuk itulah, sebelum mendetilkan lebih lanjut, pertanyaan nomor 3 wajib diajukan dan direnungkan: alasan.

Ya, manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh alasan. Oleh makna. Maka meski sebuah tujuan sejatinya menantang bagi orang lain, jika tak bermakna bagi klien, ia takkan benar-benar bergerak. Dan kondisi ini, kondisi belum menemukan makna ini, kerap saya temui pada klien-klien saya. Bukan mereka tak tahu apa yang mesti mereka tuju. Bukan mereka tak mau menjadi lebih baik. Bukan mereka tak tahu bagaimana mencapai sebuah tujuan. Namun yang belum mereka temukan—atau rumuskan—adalah alasan, makna.

Hanya ketika sebuah alasan sudah cukup memadai lah klien akan mudah menjawab lebih detil: kapan, di mana, bersama siapa. Lalu keluar dari kondisi kemarin, dan menatap ke depan.

Nah, salah satu pertanyaan pamungkas yang saya pelajari dari guru saya, L. Michael Hall, untuk menantang klien benar-benar memikirkan tujuan dan maknanya adalah: Apa tujuan yang benar-benar, amat sangat, sedemikian kuat, Anda inginkan?

Author: Teddi Prasetya

Leave a Reply